Ekspresi kecewa atas keputusan seorang muslimah dewasa melepas jilbab yang berwujud lewat cibiran adalah hal yang buruk.
Gita Savitri, seorang artis YouTube yang digandrungi remaja muslimah tanah air, berkisah soal masa lalunya yang sempat merasa muak dengan agama. Gita sempat memutuskan melepaskan jilbabnya hingga kemudian memilih menggunakannya kembali. Menjadi muslimah di Jerman membawanya kepada sebuah perjalanan spiritual tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memegang prinsip hidup.
Salah satu hal yang menarik dari cerita Gita, ketika ia merasa gamang dan jauh dari agama, ia dibikin semakin tidak nyaman karena respons orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak membantu. Ia menjadi semakin merasa jauh dan jauh. Barulah ketika ia berpikir ulang soal pilihan-pilihan dalam agamanya, ia kembali memakai jilbabnya.
Saya, sebagaimana Gita, percaya bahwa proses keimanan setiap orang berbeda-beda. Banyak orang yang mendapatkan keyakinan dan kemantapan atas agamanya sedari kecil—lewat medium keluarga, lingkungan, madrasah, atau sekolah. Namun tidak bisa kita nafikan beberapa kisah manusia yang harus menjajal keluar-masuk beberapa agama baru kemudian bisa mendapatkan kemantapan bahwa Islam adalah agama yang tepat. Allah mempunyai banyak ragam skenario untuk mengantarkan hidayah kepada hambanya.
Sama halnya dengan contoh di atas, punya kemantapan untuk memakai jilbab pada gilirannya juga merupakan proses keimanan dan keislaman seorang muslimah. Proses itu bisa lama bisa juga sebentar. Bisa saja terjadi sewaktu masih kecil atau remaja atau dewasa atau ketika sudah masuk usia senja. Proses itu, karena mencakup soal keyakinan, terkadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemahaman seseorang terhadap hukum fiqih. Mau sepintar apa pun seseorang atas ilmu fiqih, dalam hal ini soal hukum perempuan menutupi aurat, tidak lantas menjamin iman seseorang tidak akan bisa goyah.
Yang harus dipahami adalah alasan seseorang mendapatkan keyakinan dan kemantapan dalam beragama pastilah berbeda-beda. Tak terkecuali soal pilihan berjilbab atau tidak. Bisa jadi karena faktor lingkungan atau pendidikan, namun tidak sedikit yang memang melewati masa pergolakan iman yang berdarah-darah untuk sampai pada keputusan berjilbab—ataupun tidak.
Sialnya adalah ketika, misalnya, seorang perempuan memutuskan melepas jilbab karena kehilangan respect dengan tingkah laku orang-orang di agamanya, tapi ia tidak punya cukup kawan untuk berbagi keresahan. Alih-alih mendapat bantuan dan rangkulan, saudara seiman di sekitar yang menyayangkan keputusannya malah membenci dan mencaci. Ketika orang ini adalah figur publik, masalah semakin besar karena yang akan merespons bukan hanya kawan dan keluarga, tapi juga orang-orang lain yang tidak dikenal yang jumlahnya bejibun. Tahulah bagaimana garangnya netizen kita ketika membahas soal agama.
Membayangkan diri menjadi orang seperti contoh di atas pasti rasanya menyebalkan. Bahkan, sangat mungkin muncul perasaan semakin ogah dengan sesuatu yang berbau agama. Mendapat makian dan cacian dari saudara seiman, pada gilirannya hanya akan menjadi hambatan untuk seseorang yakin agamanya membawa ketentraman.
Sudah terlampau banyak contoh orang-orang yang merasa kehilangan respect dengan agama hanya karena tingkah laku orang-orang di dalamnya, bukan karena agama itu sendiri. Inilah alasan mengapa Walisongo menghadirkan Islam di Nusantara bukan lewat cara-cara mendikte keyakinan apalagi makian. Mereka menghadirkan Islam lewat kesenian dan budayaan, lewat perangai santun, dan segala hal sebagai cerminan nilai-nilai Islam.
Zaman dulu orang-orang punya busana kedaerahan masing-masing. Tidak sedikit dari busana itu yang membiarkan aurat perempuan terbuka. Di Jawa, misalnya, kebanyakan perempuannya hanya menggunakan kemben untuk atasan dan jarit untuk bawahan. Alih-alih menyuruh menggunakan jilbab atau kerudung dalam keseharian, para ulama lebih memilih untuk mengajarkan hidup dan bertingkah laku dengan nilai-nilai Islam terlebih dahulu.
Inilah alasan mengapa istri dan putri para kyai zaman dulu banyak yang jilbabnya hanya berupa serupa selendang disampirkan di kepala—seperti yang sering digunakan putri-putri Gus Dur kini—namun tidak diragukan soal keilmuannya dan keislamannya. Keislaman pada gilirannya tidak bisa sekadar dilihat dari bentuk luarnya.
Saya cukup hormat kepada beberapa orang yang secara ekspresi keislamannya dalam hal berbusana biasa saja, namun mampu memberi teladan dan inspirasi soal bagaimana seharusnya muslim bersikap . Tidak mesti berjidat hitam, tidak mesti berjilbab lebar, namun nilai-nilai keislamannya tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya meyakini bahwa setiap orang punya proses keimanan dan keislaman yang berbeda-beda mampu mengantarkan kita pada penghargaan setiap keputusan seseorang atas keyakinannya. Bahwa setiap orang memang berproses, setiap orang tidak mak bedunduk mantap dengan pilihan-pilihan dalam beragama, bukan?
Aziz Dharma, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.