Seorang menteri bernama Rauh bin Zinba’ –salah satu wazir (mentri) Abdul Malik bin Marwan- menangis tersedu-sedu saat tiba bulan Ramadhan. Apa gerangan yang membuatnya menangis? Padahal ia adalah kelompok elit dan hidup berkecukupan dengan harta yang berlimpah. kisah bulan puasa
Kejadian tersebut rupanya terjadi saat Rauh bin Zinba’ bersafar untuk keperluan ibadah haji. Saat itu beliau singgah di suatu oase antara Mekah dan Madinah. Untuk mengisi waktu istirahat, beliau pun meminta pembantunya menyiapkan bekal makanan yang sudah mereka bawa dari rumah untuk bekal perjalanan mereka. Sang pembantu pun menyiapkan berbagai macam lauk pauk makanan untuk dimakan.
Rauh bin Zinba’ pun segera memakan berbagai macam hidangan lauk pauk tersebut dengan penuh gembira. Namun kemudian, lewatlah seorang penggembala kambing di hadapannya saat ia sedang menyantap makanan tersebut. Si badui, sang penggembala kambing itu pun dipanggil oleh Rauh bin Zinba’. Rupanya Rauh bin Zinba’ merasa iba dengan si Badui. Ia pun memerintahkan si Badui untuk segera ikut makan bersamanya.
Namun saat itu si Badui menolak tawaran yang sangat istimewa. Rauh bin Zinba’ pun merasa kecewa dan terheran-heran. Ia pun bertanya-tanya mengapa si Badui itu enggan makan bersamanya, padahal makanan yang ia tawarkan sangat lezat. Si Badui itu pun menjawab, “Maaf tidak bisa, Tuan. Saat ini aku sedang berpuasa.”
Menteri Rauh bin Zinba’ pun tetap merasa heran dan bertanya, “Di hari sepanjang dan sepanas ini mengapa kamu tetap berpuasa?”
Si Badui itu tetap tidak tergiur dengan tawaran makanan dari Rauh bin Zinba’. Bahkan ia tetap teguh menjalankan ibadah puasa sembari menjawab berbagai pertanyaan Rauh bin Zinba’ dengan sangat mantap, “Apa aku akan mengelabui hari-hariku hanya untuk memakan makananmu?”
Sebagaimana ditulis Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayah (9/67)— yang menyenandungkan untaian syair, “Wahai penggembala! Engkau begitu pelit dengan hari-harimu. Sementara Rauh bin Zinba’ dermawan dengan hari-harinya.”
Maksud dari syair tersebut adalah si penggembala ternyata begitu menjaga hari-harinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Sedangkan Rauh bin Zinba’ justru malah menghambur-hamburkannya. Setelah menolak tawaran makanan dari Rauh bin Zinba’, Si Badui kemudian berjalan agak jauh untuk mencari tempat singgah untuk beristirahat. Melihat hal tersebut, Rauh bin Zinba’ pun menangis tersedu-sedu di bulan puasa itu.
Menteri Rauh bin Zinba’ kemudian menyuruh pembantunya untuk membereskan makanan yang sudah disediakan untuknya. Menteri Rauh bin Zinba’ beserta pembantunya pun kemudian menginggalkan lokasi tersebut dengan perasaan sangat kecil. Sedangkan si Badui sang penggembala tetap mantap dengan keimanannya dan bersabar menjalankan ibadah puasa.
Pertemuan dua insan dari kalangan elit pemerintahan dan kalangan rakyat jelata itu pun menarik untuk kita petik hikmahnya. Pertama, orang berpuasa sebenarnya tidak gampang tergiur dengan iming-iming berbagai hal yang bersifat duniawi. Kedua, orang yang mengisi hari-harinya dengan berpuasa sebenarnya sudah memanfaatkan waktu yang ia miliki dengan hal-hal bermanfaat. Ketiga, puasa bisa menanamkan kesadaran pada jiwa manusia bahwa sesungguhnya kepentingan Allah harus lebih bisa diprioritaskan dibandingkan dengan kepentingan apapun.
Menteri Rauh bin Zinba’ seolah-olah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari si penggembala. Dalam kondisi sesempit dan semelarat apapun, umat Islam hendaknya memprioritaskan Allah dan akhirat daripada urusan dunia. Semestinya, menteri Rauh bin Zinba’ yang berkecukupan bisa lebih gencar beribadah daripada si penggembala. kisah bulan puasa
Wallahu a’lam.