Kisah Masuknya Islam ke Merauke

Kisah Masuknya Islam ke Merauke

Kisah Masuknya Islam ke Merauke
potret Ibu dan Anak masyarakat Suku Kokoda, Papua Barat. Foto: Dokumentasi Pribadi Umi Nuchayati

Tidak ada sumber sejarah pasti mengenai detail masuknya Islam di wilayah Papua Barat. Untuk itu, ada banyak versi, atau sekurang-kurangnya ada 7 versi yang menjelaskan jalur penyebaran Islam di Papua Barat, yaitu jalur Aceh, Jawa, Bacan, Banda, Tidore/Ternate dan Papua sendiri.

Dari semua jalur ini, masuknya Islam pertama kali melalui Kesultanan Bacan pada abad ke XV merupakan jalur yang paling logis dan tepat. Hal ini dapat dilihat secara geografis dan ekonomis, bahwa letak Kesultanan Bacan berada di Maluku Utara dan lebih dekat dengan pulau Papua (Kepulauan Raja Ampat), dibandingkan dengan tiga Kesultanan lainya di Maluku (Tidore, Ternate dan Jailolo).

Daerah-daerah yang penduduknya memeluk agama Islam ketika itu adalah Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Baru kemudian pada abad ke XVI Islam mulai dianut oleh masyarakat Semenanjung Onim (Fakfak), Kaimana, Teluk Bintuni dan Baboo (Manokwari). Ini juga tidak lepas dari pengaruh Kesultanan Bacan yang saat itu dipimpin oleh Raja/Sultan Zainal Abidin.

Pada saat itu, bagian Selatan Papua (seperti Timika, Asmat dan Merauke) dan suku-suku pedalamannya memegang teguh kepercayaan masing-masing (agama adat). Perlu dicatat, bahwa saat itu dakwah Islam belum sampai di wilayah selatan Papua. Dalam kepercayaan itu, sebagian mereka ada yang mempercayai satu Tuhan dan sebagian lain mempercayai banyak tuhan atau dewa-dewa.

Bahkan setiap suku mempunyai Tuhan berbeda-beda, suku Biak Numfor misalnya mengenal Tuhan yang Maha Tinggi dengan sebutan Manseren Nanggi, orang Moi menyebut tuhannya dengan Fun Nah, suku Segere menyebut Fun Naha, orang Waropen menamakan dengan Naninggi, Wandamen menyebut Syen Allah, suku Asmat dengan Mbiwiripisty, orang Me menyebut-Nya Ugatame, dan suku Marind dengan sebutan Dema.

Tuhan-tuhan kepercayaan yang disebut “Tuhan Adat” inilah yang membuat agama lain sangat sulit masuk dan diterima oleh masyarakat Papua. Di samping ada faktor lain yang juga menghalangi seperti adanya pengayauan (pembunuhan) yang sering dilakukan oleh suku Marind-Anim.

Sekedar catatan, ada berbagai macam motif yang mendasari tradisi pengayauan ini. Pertama, untuk menambah kesaktian. Mereka percaya bahwa ada kekuatan supranatural yang terdapat di dalam jiwa orang yang dikayau. Pusat kekuatan tersebut terletak di tengkorak kepala. Kedua, sebagai mas kawin. Dengan mas kawin kepala seorang musuh menunjukkan sang lelaki mampu melindungi keluarganya kelak. Pengayauan inilah yang membuat Belanda harus bekerja keras untuk bisa menguasai Mereuke.

Setelah berdarah-darah upaya untuk menguasai Mereka, akhirnya Belanda mampu mengontrol sepenuhnya dan melarang kegiatan pengayauan. Merauke wilayah ini mengalami kemajuan keamanan bagi para pendatang. Lama kelamaan tempat tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat cepat sehingga menjadi sebuah “kota”. Maka dalam hal ini, Belanda termasuk berjasa karena telah menjadi perantara dalam menciptakan suasana damai sehingga para pendatang bisa datang ke Merauke dengan aman, bebas dari ancaman pengayauan.

Rentetan upaya Belanda yang harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa berkuasa memberikan gambaran bahwa keganasan dan keangkeran Marind-Anim sangat menakutkan, sehingga mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk mendirikan pemerintahannya. Setelah suasana kondusif ini, pendatang mulai bermunculan dan orang asing semakin berdatangan.

Islam masuk ke Merauke setelah Belanda menguasai Merauke. Meski begitu tidak ada data sejarah akurat yang menyebutkan kapan masuknya Islam dan siapa yang membawanya? Selama dua tahun lebih menetap dan mencoba menelusuri jejak Islam di Merauke, penulis tidak menemukan satu pun naskah yang mencatatnya. Hemat penulis, hal ini terjadi antara lain karena; pertama, suku Marind-Anim adalah salah satu suku yang belum mengenal budaya tulisan.

Memang pada zaman dahulu mereka telah mengenal pendidikan adat untuk anak laki-laki sejak umur 10-20 tahun di dalam sebuah rumah yang disebut Gotad, namun hal itu tidak banyak berpengaruh, sebab pengajarannya sama sekali tidak menggunakan tulisan melainkan hanya secara lisan dan praktik langsung di lapangan. Materi pengajaran meliputi kepercayaan kepada Dema, tempat-tempat sakral, hukum-hukum adat, pernikahan dan batas wilayah adat.

Sehingga karena faktor ini, Merauke sangat sulit menerima ajaran agama, termasuk Belanda yang harus baku hantam untuk bisa menyebarkan agama Kristen. Kedua, belum adanya dakwah Islam yang masuk sehingga akhirnya Belanda sepenuhnya mampu mengontrol wilayah selatan dan dengan mudah menyebarkan ajaran agama Kristen di daerah yang terkenal sebagai kota rusa ini.

Awal Mula Islam Merauke

Setelah menghabiskan waktu dua tahun lebih, akhirnya penulis mendapatkan sumber akurat yang menjelaskan awal dan penyebaran Islam di Merauke. Islam tersebar di Merauke tidak terjadi secara sporadis seperti yang dilakukan Belanda dengan kekuasaannya, akan tetapi terjadi secara personal yang tidak murni didasarkan pada gerakan dakwah. Islam mendarat di Merauke dibawa oleh dua tokoh yang bernama Sarimun dan Winoto. Dari dua orang inilah kemudian lahir keturunan muslim asli Papua.

Sarimun adalah seorang mandor perkebunan kapas dari Banten. Ia adalah seorang murid dari Perguruan Harimau di Banten dan mempunyai musuh dari Perguruan Buaya dari Jawa Timur yang bernama Winoto. Permusuhan mereka sangat sengit dan beberapa kali mereka melakukan pertarungan.

Beberapa tahun kemudian Sarimun mendengar kabar tentang kaburnya Winoto ke daerah Indonesia Timur. Sejurus kemudian Sarimun memburu keberadaan Winoto, ia pun minta dipindah-tugaskan ke wilayah timur. Tibalah Sarimun ke wilayah Bandaneira (Maluku) dengan memboyong istrinya, Fatimah, dan anak semata wayangnya, Hamzah.

Dua tahun kemudian Fatimah melahirkan anak kedua yang diberi nama Abid. Abid kemudian ditinggal di Banda dan diangkat sebagai anak angkat oleh seseorang, sementara Sarimun beserta anak dan istrinya berangkat menuju Okaba Merauke karena mendengar kabar Winoto berada di sana. Lagi-lagi Sarimun meminta dipindah-tugaskan dan kebetulan Belanda sedang membangun perkebunan di Okaba dan sedang menyiapkan pertanian padi di wilayah Kurik.

Sampai di Okaba, Sarimun pun bertemu dengan Winoto. Dari pertemuan itu mereka membuat perjanjian damai dan tidak saling mengganggu. Bahkan mereka berjanji agar anak cucu mereka saling berhubungan baik. Winoto kemudian mendirikan perguruan silat, dan begitu pula Sarimun.

Di sini Winoto menikah dengan perempuan asli suku Marind-Anim yang menjadi muallaf. Dari hasil pernikahan inilah Winoto dikaruniai 18 orang anak. Sementara Sarimun menikah lagi dengan perempuan asli Marind yang telah bersyahadat dan dirubah namanya menjadi Halimah. Hasil dari pernikahan ini Sarimun diberi 4 orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Setelah Hamzah menikah dengan Hatijah, seorang wanita peranakan Marind dan Timor. Pernikahan Hamzah dengan Hatijah dikaruniai sepuluh orang anak. Berawal dari dua orang inilah Islam mulai dikenal di daratan Merauke.

Menurut cucu kelima dari Sarimun, Saban, penulis biasa memanggilnya paman Saban, bahwa kakeknya datang ke Okaba sebelum tahun 1905, yaitu lima tahun lebih awal sebelum missionaris Vartenten menginjakkan kaki di Okaba. Di Okaba, Sarimun dikenal dengan sebutan Saja. Awal mula orang-orang menyebutnya demikian karena setiap ada masalah, keributan atau konflik mereka menyerahkan kepada Sarimun untuk menyelesaikannya. Orang-orang selalu menjadikannya sebagai rujukan dengan perkataan dia saja, saja, akhinya ia pun terkenal dengan panggilan Saja.

Di Jawa, penyebutan ini sama seperti penyebutan kiyai. Di Jawa, ketika masyarakat dihadapankan pada suatu persoalan, mereka akan menemui seseorang yang dimuliakan dan dituakan karena ilmunya agar dicarikan jalan keluarnya. Dengan menjadikan rujukan itu, orang Jawa sering menyebutnya iki ae..iki ae.. (ini saja…ini saja), akhirnya lama kelamaan istilah tersebut menjadi kyai sebagaimana kita kenal saat ini. Jadi kyai adalah gelar yang disematkan masyarakat kepada seseorang yang dianggap berilmu agama yang telah memberi sumbangsih kepada masyarakat. Maka Sarimun yang dipanggil dengan Saja adalah seorang kiai di tanah Jawa.

Sebenarnya jauh sebelum Sarimun dan Winoto datang, 160 tahanan yang dibawa Belanda ke Merauke pada 1902 banyak yang beragama Islam namun jejak aktifitasnya tidak dapat ditelusuri, hanya seorang Teuku Rhi Bujang Selamat atau Teuku Bujang Salim seorang dai sekaligus aktivis politik yang diasingkan Belanda ke Merauke pada 21 April 1922.

Bujang Selamat lahir tahun 1891 di Nanggroe Nisam Kecamatan Keude Amplah, Kabupaten Aceh Utara. Setelah menyelesaikan studi Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan kemudian kembali ke Aceh pada 1912. Setahun kemudian ia ditunjuk menjabat sebagai Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam. Selama menjabat ia sering melakukan aktifitas di bidang politik dan keagamaan. Aktifitasnya itu mengundang kekhawatiran pihak Belanda. Akhirnya pada 8 Februari 1921, ia dipecat dari jabatan itu dan diasingkan ke Meulaboh. Selanjutnya ia dibuang ke ujung Timur Indonesia, Merauke.

Selama pengasingan di Merauke, Bujang Selamat juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu. Ia bahkan memiliki seorang murid seorang tentara KNIL bernama Rimbo. Atas dasar tersebut Belanda kembali membuang Bujang Selamat ke Boven Digul, Tanah Merah pada 5 April 1935. Di sana ia bertemu dengan Digulis Muslim seperti Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, H. Muhtar Lutfi, Ilyas Jacob, M. Kasau dan lain-lain.

Setelah melalui perjalanan panjang pengasingan dari satu tempat ke tempat lain termasuk dibuang ke Mackay, Australia, 5 Juni 1943, pada 31 Juli 1950 Bujang Selamat pulang ke kampung halaman Krueng Geukuh, Nanggroe Nisam. Sembilan tahun berselang, Rabu, 14 Januari 1959 Bujang Salim menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan 15 orang anak, 8 anak dari isteri pertama (cerai) dan 7 orang lagi dari isteri kedua di Merauke.

Pada periode selanjutnya disebabkan keamanan wilayah Papua bagian selatan dari tradisi pengayauan, penyebaran Islam dilakukan oleh pendatang-pendatang Muslim dari Jawa, Padang, Buton, Makasar, Ternate serta wilayah lainnya. Maka berdasarkan data ini, Islam masuk di daratan Merauke berasal dari Sarimun dan Winoto, dua musuh bebuyutan yang kemudian berdamai di Papua, yang dari keduanya muncullah generasi muslim pribumi Papua.

Estafet penyebaran Islam ini kemudian dilanjutkan oleh Bujang Slamet, seorang dai dari Aceh yang berhasil membentangkan Islam di Papua, khususnya Merauke. Inilah kisah masuknya Islam di Merauke yang penulis dapatkan dari penuturan cucu Sarimun yang masih hidup. Semoga bermanfaat! (AN)

Wallahu a’lam.

 

Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalah Nabawi Edisi 113/Muharram-Shafar 1437 H