Kisah Kuliner Manna dan Salwa dalam Surat al-Baqarah ayat 57

Kisah Kuliner Manna dan Salwa dalam Surat al-Baqarah ayat 57

Manna dan salwa, dua makanan terbaik, terlezat, yang dikaruniakan oleh Allah SWT spesifik pada Bani Israil tatkala mereka tersesat di padang pasir Tih.

Kisah Kuliner Manna dan Salwa dalam Surat al-Baqarah ayat 57

Ada suatu periode, tepatnya 40 tahun, di mana Bani Israil mendapatkan dua sekaligus kenikmatan kulinari: manna dan salwa. Dua makanan terbaik, terlezat, yang dikaruniakan oleh Allah SWT spesifik pada Bani Israil tatkala mereka tersesat di padang pasir Tih.

Kata manna dan salwa disebutkan dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 57,

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

Menurut tafsir Al Mishbah, lokasi padang pasir ini antara negeri Syam (Palestina), Suriah, Lebanon, dan Mesir. Ketersesatan mereka itu dikarenakan keengganan untuk memerangi sekelompok orang durhaka di Syam.

Ada satu lagi sebenarnya, karunia dari Allah selain nikmat kulinari itu: naungan awan selama di padang pasir, sehingga teriknya bisa tertahankan. Namun kita hanya akan membahas bagaimana nikmatnya manna dan salwa ini saja.

Manna rasanya selezat madu. Sedikit bercampur dengan asam, ia berbentuk bulir-bulir merah bertekstur seperti gandum basah. Ia menempel dedaunan pada malam hingga pagi hari, dan orang bisa dengan mudah membawa kain-kain lebar untuk dibentangkan di bawah dedaunan itu tatkala buliran mann jatuh saat pohonnya digoyangkan.

Saya ingat waktu masih kecil, berjalan-jalan pagi hari bersama dengan teman selepas malam yang basah karena hujan. Ketika berada di bawah pohon, spontan, agar tidak didahului oleh teman, menggoyang-goyangkan pohon yang tentu saja membuat sebagian besar airnya jatuh membasahi baju teman tadi. Begitulah, manna yang lezat dan baik itu dikumpulkan dari pohonnya.

Adapun salwa, ia sejenis burung puyuh yang terbang rendah dan mudah ditangkap dan kemudian disembelih. Sengaja kumpulan burung ini dalam jumlah banyak dilewatkan lintasan terbangnya ke padang pasir Tih. Dua makanan terbaik inilah yang mengiringi dan mengenyangkan mereka selama berjibaku mempertahankan hidup di alam terik padang pasir.

Manna ini juga terlampau berharga, sehingga ia layak disandingkan dengan lempengan papan 10 ayat (the ten commandments) dan tongkat Nabi Musa di dalam Tabut: kotak peti sakral yang selalu dibawa tatkala mereka berperang. Peti ini sempat dirampas oleh musuh tatkala Bani Israil kalah dalam suatu perang. Namun kemudian secara gaib diambil, dibawa, lantas dihantarkan oleh malaikat kepada Thalut.

Adalah sifat yang dimiliki oleh Bani Israil, walaupun mereka telah dikaruniakan nikmat kulinari manna dan salwa, mereka malah menginginkan makanan yang berkasta lebih rendah. Tersebut dalam Qur’an surat Al Baqarah:61 tentang hal ini. Dengan dalih kebosanan pada manna dan salwa, serta kekangenan mereka pada makanan yang biasa mereka makan sebelumnya, mereka meminta Nabi Musa untuk berdoa agar ditumbuhkan mentimun, bawang putih, bawang merah, dan kacang adas. Jenis-jenis makanan yang jelas-jelas tidak sebanding dengan kenikmatan manna dan salwa.

Melompat lebih dari 14 abad, ke masa kini. Di nusantara ini, kita dikaruniakan sayur bayam, jengkol, dan ikan gurameh beserta kawan-kawannya. Dengan harga yang relatif terjangkau, dan didorong oleh gerakan makan ikan yang gencar, seharusnya cukup menjadi alasan kita untuk menikmati dan mensyukuri nikmat kulinari ini.

Namun alih-alih kita menjadikannya tradisi kulinari yang menyehatkan (asalkan dengan tata kelola yang mumpuni dalam menghadapi “collateral taste” dari si jengkol), kita mengejar kenikmatan kuliner berkasta jauh lebih rendah dan brutal: mie instan dan gorengan.

Dan mirip pula dengan cerita di atas, dua makanan ini kerap hadir dengan suka cita di tabut modern berjuluk lemari makan. Di sela-sela piranti berharga istri kita: kotak tupperware.