Suatu hari Rasulullah pernah ditegur langsung oleh Allah SWT, ketika sedang berdakwah di hadapan para pembesar Quraisy, sementara seorang buta yang menghampirinya (Abdullah bin Umi Maktum), diperlakukannya dengan bermuka masam. Teguran tersebut telah diabadikan dalam surat ‘Abasa (cemberut), bahwa tidak ada jaminan dakwah dapat mengena sasaran bila tanpa disertai kelembutan dan kesantunan, meskipun di hadapan puluhan dan ratusan pembesar dan penguasa Arab sekalipun.
Juga tidak ada kewenangan manusia untuk memberi hidayah pada pihak yang didakwahi, sekeras dan seambisius apapun dakwah itu disampaikan. Sebaliknya, sudah dijamin pahala kebaikan dari Allah, bagi setiap amal-amal yang disampaikan dengan kesantunan, tulus ikhlas, terlepas apakah orang yang didakwahi mau menerima ataukah menolak.
Dalam hitung-hitungan politik, tentu saja tausiyah yang disampaikan di hadapan puluhan pembesar dan para kepala suku Arab, akan sangat bermanfaat bagi perubahan dan pembaharuan. Namun, perlakuan baik di hadapan mereka tidak harus mengorbankan seorang buta yang butuh pengajaran atas persoalan yang diajukannya.
Dengan kehadiran Ibnu Maktum yang jauh-jauh hari sudah mempersiapkan pertanyaan yang akan diajukan kepada Rasulullah, perlakuan dan pelayanan baik kepadanya, bisa jadi akan membukakan pintu-pintu langit di mana Allah memerintahkan para malaikat agar memberi petunjuk kepada khalayak pembesar Quraisy tersebut.
Namun, sekuat apapun ambisi, agitasi maupun propaganda untuk menciptakan transformasi dan perubahan peradaban Indonesia, selagi pintu-pintu langit masih tertutup, dan para malaikat tidak diperintahkan untuk turun menyemaikan benih-benih petunjuk dan hidayah, niscaya perubahan yang diidam-idamkan suatu bangsa, tidak mungkin terwujud dan tercapai dengan sebaik-baiknya.
Sepenggal kisah sederhana yang dialami cendikiawan dan ulama sufi terkenal, Imam al Ghazali dalam kitab “Nashaaihul-‘Ibad”, menggambarkan karakter dan kepribadian seorang ulama sufi yang sudah rukun terhadap dirinya sendiri. Allah memberikan tamsil dan teguran kepada manusia, bahwa bukanlah banyaknya amal seseorang yang menjadi ukuran dan prioritas. Juga bukan ibadah mahdlah yang terus-menerus dilakukan siang dan malam, melainkan sikap yang rukun terhadap dirinya, hingga kemudian memancarkan kerukunan kepada manusia dan makhluk di sekitarnya.
Melihat kearifan dan kelembutan hati Imam al-Ghazali, suatu kali salah seorang sahabat menegurnya, “Apakah yang telah Allah perbuat kepadamu, Wahai al-Ghazali?” Dengan tatapan menerawang, sang ulama sufi itu menjawab, “Aku pernah mimpi berjumpa dan berdialog langsung dengan Allah, kemudian Dia Yang Maha Pengasih bertanya kepadaku, ‘Wahai Ghazali, amalan apakah yang paling utama akan kau pertanggungjawabkan di hadapan-Ku?”
Imam Ghazali menguraikan panjang-lebar mengenai usaha dan jerih payahnya selama ini, sebagai seorang pendakwah, penulis kitab, penyebar misi Islam yang menjunjung tinggi kredo “Tauhid”. Namun kemudian Allah pun berfirman, “Bukan itu semua amalan yang Aku maksudkan, wahai Ghazali. Tapi ketika pada suatu hari seekor lalat kehausan mencari-cari air, kemudian hinggap di ujung penamu, lalu kamu hentikan tulisanmu dan membiarkan lalat itu meminum tinta dari ujung penamu. Kamu lakukan itu dengan tulus, karena rasa kasih sayangmu pada sesama makhluk hidup. Oleh karena rasa cinta-kasih itulah maka akan Kumasukkan kamu bersama para ahli surga.”
Teguran yang menimpa Al-Ghazali melalui mimpinya, menunjukkan bahwa misi Islam dan panji-panji Tauhid, hanya mungkin didakwahkan dengan mengandung unsur harmoni antara kebenaran, kesabaran dan cinta kasih. Hal tersebut mengandung pesan-pesan universal bahwa nilai-nilai kebenaran tak mungkin dapat bersatu dengan ambisi-ambisi politik yang disertai dendam dan angkara murka.
Di sisi lain, tabiat para politisi dan penguasa seringkali mengangkat dirinya terlampau tinggi, sambil berdalih seakan-akan tampilnya di panggung politik semata-mata karena dicalonkan. Dengan lantang mereka menyatakan bahwa keberadaan dirinya hanya semata-mata diminta dan didukung oleh partai. “Saya ini ibaratnya hanya menjalankan tugas, hanya menuruti amanah. Nanti kalau saya menang, kalian sebagai konstituen tentu akan ikut merasa bangga, dan akan kami posisikan sebagai kader-kader yang berada di baris depan!”
Ungkapan yang bijak dan religius dari Imam Ali bin Abi Thalib, dengan telak menggugat fenomena perpolitikan yang membangun pencitraan diri secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Imam Ali, manusia tidak sepantasnya mengangkat popularitas diri dan kelompoknya secara berlebihan, karena dikhawatirkan Allah akan membuka rahasia tentang hakikat dirinya yang sebenar-benarnya.
Melalui tulisan ini, saya ingin memberi wasiat kepada pembaca dan kepada diri saya sendiri. Bayangkan, seandainya hakikat hidup kita dibuka secara transparan di tengah masyarakat umum. Ketika segala tabir dosa dan kesalahan disingkap oleh Allah, baik yang dilakukan secara sembunyi maupun terang-terangan.
Astaghfirullah, siapakah hakikat diri kita ini, jika segala aib dan cela dipertunjukkan ibarat pita-pita video tentang sejarah hidup yang diputar kembali, serta dipertontonkan di hadapan publik. Bukankah kita yang sedang mengalami kelapangan hidup, badan sehat, hidup mulia, justru oleh karena Allah masih sayang, serta menutupi aib dan kesalahan kita selama ini?
Berikut ini saya ingin kemukakan sebuah kisah teladan dari kehidupan para sahabat Nabi, terutama mengenai pengalaman hidup yang dialami Abdullah bin Amr bin Ash. Dalam beragam versi, kisah ini telah banyak dimodifikasi oleh para penulis dan intelektual muslim. Namun, saya ingin menampilkan esensi dari kisah tersebut berkaitan dengan fenomena perpolitikan Indonesia, hingga nampak gambaran yang sangat ironis, terutama dengan segala hasrat dan ambisi politik duniawi akhir-akhir ini.
Saat itu, ketika Rasul sedang duduk-duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau berkata sambil berbisik, “Sebentar lagi akan datang di antara kalian seorang ahli surga.”
Sontak para sahabat bertanya-tanya siapakah gerangan di antara mereka yang dimaksudkan sebagai “ahli surga”. Ketika muncul seorang lelaki yang dimaksud, nyaris sebagian sahabat tidak menduganya. Karena lelaki itu bukanlah seorang tokoh penting di antara para sahabat Nabi. Dia bukan seorang ahli ibadah, juga bukan seorang jenius yang ahli dalam strategi dan siasat politik dan pertempuran.
Abdullah bin Amr bin Ash ingin menyelidiki kehidupan sehari-hari lelaki itu, apakah kebiasaan yang ia lakukan di rumahnya. Ternyata benar apa yang dibicarakan banyak orang selama ini. Lelaki itu tidak tergolong ahli ibadah yang tekun semalam suntuk bermunajat. Di siang hari, ia pun bukan tergolong orang yang rajin melakukan ibadah puasa. Lantas, apa keistimewaan yang dimiliki hingga Rasulullah beberapa kali menyatakan kepada para sahabat, “Sebentar lagi akan datang di antara kalian seorang ahli sorga.”
Rasa penasaran Abdullah membuatnya harus berterus-terang menanyakan kepada lelaki tersebut, setelah berhari-hari ia berusaha menyelidikinya. Namun kemudian, beginilah jawabnya, “Saya sendiri kurang tahu apa yang dimaksudkan Rasul terhadapku, wahai Abdullah.” Dengan pandangan menerawang lelaki itu mengingat-ingat perihal amalan apa yang dilakukannya hingga Rasul menilainya sebagai suatu keistimewaan baginya.
“Coba kau ingat dengan seksama, amalan apa yang membuat Rasul memandangmu begitu istimewa di antara kami?”
Lelaki itu menghela nafas dalam-dalam, dan dengan suaranya yang lembut ia berkata, “Wahai Abdullah, saya punya kebiasaan berdoa menjelang tidur, agar Allah senantiasa menghilangkan rasa dendam dan iri hati dalam kalbu saya. Sebaliknya, saya pun berdoa sekiranya ada orang yang mendendam dan membenciku selama ini, agar senantiasa Allah memberinya kesadaran serta petunjuk di jalan yang benar.”
Kini terbukalah rahasia yang selama ini menyelimuti benak dan pikiran Abdullah bin Amr bin Ash dan para sahabat lainnya. Betapa sulitnya manusia bersikap rukun (toleran) terhadap sesamanya, sebelum ia sanggup bersikap rukun terhadap dirinya sendiri. Seandainya para politisi dan penguasa menampilkan dirinya sebagai orang yang rukun terhadap warganya, sebelum ia mampu berbuat rukun terhadap dirinya, dapat dipastikan bahwa kerukunan itu hanyalah polesan kemasan, pencitraan, atau lips service belaka.
Kita mengambil teladan dari jejak-langkah kehidupan Rasul dan para sahabat, untuk menjadi solusi bagi kehidupan bangsa ini. Kita mengambil pelajaran yang baik dari umat yang memiliki kualitas moral terluhur dalam sepanjang sejarah kemanusiaan di muka bumi ini. Allah Maha Adil, tak mungkin Ia membiarkan suatu bangsa terlunta-lunta selama puluhan tahun, sulit mencapai kemajuannya, tanpa adanya hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik oleh mereka. Hanya masalahnya, bangsa ini mau membiarkan dirinya terlunta-lunta, ataukah sanggup memetik hikmah dari pelajaran yang disodorkan di tengah-tengah kita.
Melakukan rekonsiliasi dan introspeksi diri, memaafkan orang yang pernah berbuat salah dan menyakiti hati kita, adalah pekerjaan yang teramat berat, apalagi oleh bangsa yang pernah mengalami trauma dari stigma politik pasca 1965, ketika semua pihak merasa dirinya telah terzalimi. Namun, apabila kita ikhlas dan mampu memaafkan orang yang kita musuhi, bahkan mendoakan kebaikan baginya, sifat mulia itu tergolong amalan istimewa yang dipandang baik oleh Rasulullah, serta dijamin keselamatan hidup bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat. Subhanallah. (AN)