Bagaimana perempuan bisa jadi aktor pencegah terorisme melalui lingkup terkecilnya, yakni keluarga? Tulisan ini mengulik hal itu
Cerita Jihad Selfie yang dibuat oleh Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, menceritakan jika perekrutan ISIS bisa dilakukan melalui sosial media. Dalam film tersebut, salah seorang anak SMA yaitu Teuku Akbar Maulana yang sedang belajar di Kayseri, Turki, tertarik salah satu aksi yang dilakukan temannya di facebook yang memperlihatkan pembicaraan dengan anggota ISIS. Melalui nontonan facebook tersebut, Akbar merasa tertarik untuk bias bergabung dengan ISIS. Bercermin pada beberapa cerita yang ada, di mana keluarga menjadi lingkaran penting seseorang tetap merasa aman tanpa dihakimi benar atau salah.
Bahkan, kasus lainnya para istri mantan napiter ini, sebagai pendamping suami dalam proses deradikalisasi menjadi penting. Keterlibatan perempuan dalam proses deradikalisasi dan disengangment dapat melengkapi program yang selama ini sudah berjalan.
baca juga: Front Penyejuk Islam
Cerita-cerita lainnya, perlu didengarkan, misalkan bagaimana perempuan mencegah anggota keluarganya untuk terlibat dan aktif dalam agenda terorisme. Cerita-cerita ini nampaknya sangat jarang diungkap di public, namun WGWC Talk Seri #9 menceritakan secara jelas bagaimana perempuan berjuang mencegah agar anggota keluarganya tidak terlibat dalam agenda terorisme. Begitu juga menjaga anggota keluarga lainnya untuk tidak terlibat dalam agenda tersebut (terorisme).
Salah satu narasumber yang juga menjadi ibu dari Teuku Akbar, Yani, mencegahnya anaknya untuk ikut dalam gerakan ISIS di Suriah. Anaknya bernama Akbar merupakan salah satu anak yang cerdas di mana saat SMA mendapatkan beasiswa di Turki. Ketika sekolah, Akbar seringkali bercerita jika melihat tentara ISIS sangat keren. Hal itu memicu Akbar untuk pergi berperang dengan ISIS. Akbar sendiri mendapatkan foto-foto para tentara ISIS melalui sosial media. Namun, perempuan yang memiliki dua orang anak ini sering mencegah anaknya utuk ikut dengan para tentara ISIS. Setiap menelpon, ibunya selalu berusaha untuk bisa lebih dekat dengan Akbar.
Hingga akhirnya, Akbar mengurungkan niatnya untuk menjadi tentara ISIS karena banyaknya interaksi Akbar dengan ibunya di Indonesia. Sedangkan narasumber kedua, Dian, sempat mencegah suaminya untuk tidak ikut terlibat dalam jaringan ekstremisme. Dian bercerita jika suaminya sempat dipenjara karena ikut terlibat dalam jaringan ekstremisme. Dulu, saat masih sedang pacaran tidak ada yang berbeda dengan tingkah suaminya. Setelah lahir anak pertama, banyak berbicara tentang hal-hal yang haram. Suaminya sempat bekerja di biro wisata, namuan keluar. Hal itu yang menyebabkan suaminya berbeda, konsep keluar pun berbeda. Istri harus nurut dengan suami dengan mengurusi hal-hal rumah.
”Saya seringkali kerepotan jika anaknya sakit namun suaminya tidak mau mengurusinya,” kata Dian.
Anak-anak yang sudah beranjak dewasa pun seringkali bertanya tentang bapaknya yang dipenjara atas tuduhan terorisme. Dian hanya bisa berkata untuk tidak meniru apa yang dilakukan oleh bapaknya. Serta, Dian juga berusaha untuk mencegah suaminya untuk terlibat kembali dalam gerakan serupa.
Mendengarkan cerita tersebut, salah satu penanggap Andi Intan Dulung yang merupakan perwakilan dari BNPT mengatakan jika dua narasumber ini merupakan potret perempuan yang tangguh. Apalagi, kasus yang dihadapi harus bisa memberitahukan apa yang dilakukan oleh bapaknya hal yang tidak benar dan tidak boleh ditiru.
”Saat ini, pihak BNPT telah melakukan banyak hal untuk melibatkan perempuan sebagai agenda perdamaian untuk mencegah dalam gerakan ekstremisme,” terangnya.
Sedangkan penanggap kedua, Miftah Farid yang merupakan wartawan CNN Indonesia mengungkapkan pihaknya telah banyak meliput berita tentang ekstremisme kekerasan. Di mana aparat keamanan selalu menghadirkan pemberitaan sikap heroik keamanan dalam hal penangkapan terorisme.
”Tanpa disadari hal tersebut membuat imaji anak napiter untuk bisa membalas dendam atas apa yang polisi lakukan kepada ayahnya,” katanya.
Diungkap olehnya, diperlukan pemberitaan dengan perspektif yang berbeda untuk bisa mengungkapkan fakta jika narasi terorisme harus dikemas dengan lebih mengedepankan kemanusiaan yang humanis. “Narasi Dian dan Yani, harus didengarkan dan diperbanyak, sebab hal itu akan mengungkapkan narasu-narasi yang humanis,” pungkasnya.