Kisah-kisah Istri yang Dipengaruhi Suami untuk Gabung Kelompok Ekstremis

Kisah-kisah Istri yang Dipengaruhi Suami untuk Gabung Kelompok Ekstremis

Bagaimana kisah Istri yang ternyata terkena propaganda suami dan turut serta jadi ekstremis?

Kisah-kisah Istri yang Dipengaruhi Suami untuk Gabung Kelompok Ekstremis

Bagaimana perempuan/istri memiliki pengaruh dalam kelompok ekstremis? Sebelum membicang lebih lanjut terkait ini, kita haruslah mafhum bahwa narasi jihad ini memang sangat dekat dengan kelompok ekstremis-terorisme. Misalnya, mereka menafsirkan tentang narasi hijrah unutuk melawan musuh-musuh Allah sebagai sebuah kewajiban. Bagi mereka, jihad dianggap sebagai perang membela Tuhan. Termasuk obsesi mereka dalam mendirikan negara Islam.

Nah, narasi tentang Jihad tersebut tidak tersampaikan oleh para suami yang menjadi narasi teroris. Hal ini membuat para istri tidak bisa  melakukan pencegahan terhadap tindakan radikal/teror yang dilakukan yang akan dilakukan oleh para suami.

Hal itu, menjadi fakta baru diungkap dalam buku ”Perempuan dalam Terorisme. Di mana para istri tidak bisa mengetahui apa saja yang dilakukan para suami selama ini. Dalam buku tersebut diungkapkan, jika Humaira–salah satu yang dikisahkan di sana, tidak pernah mengetahui alasannya masuk hutan bersama suaminya. Dia hanya menjalani perintah dari suaminya tanpa bisa menanyakan apa yang sedang dilakukan. Gambaran tersebut ternyata hampir sama dengan hubungan relasi suami- istri yang terjadi para napi teroris.

Hubungan relasi suami-istri yang terjalin di dalam keluarga napi teroris ini cukup kaku. Di mana ruang-ruang domestik secara mutlak diberikan kepada istri. Sedangkan ruang public diberikan kepada suami. Keadaan yang konservatif tersebut membuat kepatuhan yang cukup tinggi kepada suami. Factor lainnya seperti self-independensi, mempertahankan anak, cinta, pengalaman traumatik dan dukungan keluarga memba seseorang istri semakin patuh terhadap suami.

Menurut yang dijelaskan oleh Walklate, istri dari pelaku kejahatan terorisme, adalah korban yang sebenarnya. Di mana para istri ini mengalami ketidaksetaraan gender. Menempatkan perempuan dalam posisi tersebut merupakan tindakan operasif dan eksploitatif yang memang merupakan pelanggaran hukum.

Para istri ini tidak sadar dalam jaringan radikalisme-terorisme oleh suami. Pelibatan ini adalah bentuk victimisasi. Akan tetapi, fakta keterlibatan perempuan sebagai istri dalam kejahatan terorisme secara global telah banyak ditelusuri. Misalkan Eileen McDonald mengatakan pola perekrutan istri yang dilakukan oleh suami atau dengan saudara laki-laki bukanlah pola yang tidak biasa bagi perekrutan warga Eropa untuk kelompok al-Qaida.

Perekrutan berdasarkan hubungan kekerabatan terjadi pada kelompok al-Qaida. Sebagai besar para istri ini tidak sadar, karena menjalankann perintah dan tuntunan dari suaminya. Seperti kembali mencari orang, mengantarkan logistic dan lainnya. Begitu dengan mengajarkan kembali apa saja yang diajarkan oleh suami kepada anak-anaknya. Suami menjajadi rujukan utama dalam pengetahuan agama. Sedangkan dalam dunia pendidikan, fenomena yang menjadi tren yang terjadi saat ini adalah homeschooling. Di mana ibu menjadi guru.

Fenomena istri pelaku radikal-terorisme sempat menjadi pembahasan menarik di sejumlah media di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Keterlibatan perempuan tidak dipungkiri atas perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Salah satu contohnya adalah Diah Yuli Novi. Ia mendapatkan propaganda melalui calon suami dengan menggunakan internet. Diah Yuli Novi menjadi perempuan pertama yang direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dengan menggunakan modus pernikahan.

Kasus pelibatan istri lainnya terjadi kepada kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso dan  melibatkan 3 orang perempuan yang merupakan istri-istri pemimpin di kelompok tersebut. Para istri tersebut dibawa dan ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis paa pemimpin kelompok tersebut menuntut para istri untuk bergerilya. Keadaan tersebut terbukti dengan ditemukannya barang bukti pil KB dalam pengejaran aparat.

Kepatuhan perempuan menjadi potensi yang digunakan sebagai dasar untuk menekan para perempuan terlibat dalam radikal-terorisme. Baik kekerasan atau non-kekerasan. Di sisi lain, teks-teks keagamaan bernuansa patriarti yang mendomestikan perempuan, dipahami secara sempit sebagai larangan perempuan untuk berkontribusi dalam bidang sosial. Begitu juga dengan asumsi kelemahan fisik dan  dam spiritual perempuan  yang dianggap dan  menjadikan mereka sebagai subjek kepatuhan pada suami.

Ada tiga faktor yang mendorong sosok perempuan ideal merupakan istri yang sempurna yang diam dan patuh serta tunduk kepada suami tanpa kritik dalam mewujudkan keluarga harmonis. Tiga factor tersebut adalah kurangnya kekuatan perempuan, kontrol diri dan kultur patriarki.

Radikalisasi terhadap perempuan sebagai korban dan pelaku tidak hanya berasal dari praktik ekstrem, melainkan bisa berasal dari teks-teks keagamaan yang subordinatif-diskriminasi terhadap perempuan. Prinsip eksklusivitas laki-laki dalam produksi dan interprestasi teks-teks keagamaan pada akhirnya dapat membuat perempuan hanya menjadi objek control dari pengetahuan keagamaan serta peran mereka dalam memproduksi narasi yang ekual gender menjadi terabaikan.

Adanya ketidaksetaraan yang diterima oleh perempuan yang menjadi istri dari para napiter berasal dari budaya patriarki yang begitu lama mengakar dan diyakini kebenarannya. Didukung oleh ayat-ayat keagamaan yang bernuansa patriarki dan mendomestikan perempuan. Sehingga, diperlukan adanya rekontruksi nilai-nilai Islam dan eradikasi tradisi patriarkal. Serta dibutuhkan banyak para ulama perempuan yang memprotes interprestasi biar gender dari interprestasi sumber-sumber hukum Islam,  serta menyebarluaskan hal tersebut.

Selain itu, diperlukan juga penguatan perempuan yang terhubung dengan metode dan strategi aktivis perempuan dalam mendekontruksi relasi gender dan merevisi hirarki gender dalam masyarakat Indonesia. Untuk mencegah adanya keterlibatan perempuan dalam lingkaran radikalisme-terorisme, diperlukan juga pendekatan kepada para simpatisan. Diperlukan juga pendekatan secara kultural untuk bisa melakukan pencegahan hal tersebut. Dan, itu tugas kita bersama untuk mendekati mereka.

 

*Artikel ini kerjasama Islami.co & RumahKitaB *