Kisah Kesetiaan Zainab, Putri Rasulullah Saw

Kisah Kesetiaan Zainab, Putri Rasulullah Saw

Zainab Ra. merupakan sosok wanita yang sangat setia. Hal itu dibuktikan dengan kisah-kisah hidupnya setelah dinikahi oleh Abul-‘Ash.

Kisah Kesetiaan Zainab, Putri Rasulullah Saw

Sayyidah Zainab Ra. merupakan putri sulung Rasulullah dengan Siti Khadijah. Beliau merupakan putri yang sangat dinantikan Rasulullah saw., tidak salah jika beliau juga mendapat gelar Zainab Al-Kubra.

Zainab dikenal oleh masyarakat Quraisy adalah wanita yang lembut, cantik, dan taat. Hal itu dicerminkan dengan banyak laki-laki Quraisy yang ingin meminangnya. Salah satu laki-laki itu adalah Abul-‘Ash.

Dia adalah orang yang terpandang di Makkah keturunan saudagar yang kaya raya. Beliau masih memiliki tali persaudaraan dengan Khadijah Ra. istri Rasulullah saw., tidak salah jika dia memiliki kedudukan sosial yang masih tinggi.

Maka dari itu, permintaan Abul-‘Ash meminang Zainab Ra. tidak ditolak oleh Rasulullah dan istrinya. Selain faktor tali persaudaraan, hal yang mendasari diterimanya Abul-‘Ash adalah terdapat perasaan asmara yang dimiliki oleh Zainab dan Abul-‘Ash.

Setiap Abul-‘Ash mengunjungi rumah Zainab, Abul-‘Ash selalu tertarik akan Zainab yang memancarkan keramahannya, kelembutannya, penampilan cantiknya, kecerdasan pikirannya, dan tidak lupa Zainab memancarkan kemekarannya sebagai gadis yang dewasa dengan selalu cekatan membantu ibunya.

Zainab Ra. merupakan sosok wanita yang sangat setia. Hal itu dibuktikan dengan kisah-kisah hidupnya setelah dinikahi oleh Abul-‘Ash. Abul-‘Ash adalah pedagang yang sibuk mengurusi perniagaannya, terutama pada musim-musim tertentu saat kota Makkah dibanjiri orang yang berdatangan dari berbagai pelosok Semenanjung Arabia untuk mengikuti upacara-upacara peribadatan di sekitar Ka’bah.

Selain itu, ia juga sering pergi bersama kafilah yang berangkat dari Makkah ke negeri Syam di musim panas dan dingin.

Dengan melihat kesibukannya yang tidak dapat diperkirakan, dan Abul-‘Ash telah memiliki wanita pujaan hatinya Zainab Ra. Sang istripun tidak menghiraukannya, beliau memahami bahwa suaminya juga mencari nafkah untuk dirinya dan calon buah hatinya. Beliau selalu melayani, menyambut dengan hati yang tulus ketika suaminya datang dari berdagang, menyiapkan makanan untuk dirinya dan keluarga meskipun hanya untuk kebersamaan sesaat.

Kesetiaan Zainab Ra. tidak hanya saat menunggu sang suami pulang. Kesetiaannya juga tercermin dari keteguhan cintanya tatkala sang suami tidak menerima ajakan ayahandanya, Rasulullah Saw., untuk masuk Islam. Ketika ajakan tersebut ditolak oleh sang suami, maka otomatis Rasulullah saw. melarang Abul-‘Ash untuk mendekati Zainab Ra. Hal itu disebabkan karena perbedaan keyakinan yang dimiliki.

Dalam hati, Abul-‘Ash berkata, “Jika aku mengikuti agama yang baru, orang-orang akan berkata bahwa putra Ar-Rabi’ telah mengikuti agama baru karena untuk menyenangkan istri dan mertuanya.”

Selain itu ia juga berkata kepada dirinya sendiri, “Jika aku tidak mengikuti agama yang dibawa oleh mertuaku, maka pernikahanku akan terhalang.”

Pertikaian pikiran yang terjadi di dalam dirinya menjadikan seluruh hidupnya tidak stabil. Akhirnya Abul-‘Ash tetap memilih untuk menjadi pengikut agama nenek moyangnya dahulu. Peperangan antar keyakinanpun tidak terhindarkan antara mertua dan menantu. Dengan berbekal pengikut yang banyak, Abul-‘Ash mencoba menindas para pengikut Rasulullah Saw.

Bertahun-tahun dua insan yang masih memiliki ikatan perkawinan tidak bertemu dan tidak merasakan cinta. Pada suatu malam di mana para kaum Musyrikin mulai terpojokkan, Abul-‘Ash sangat rindu kepada istrinya Zainab, dan ingin bertemu dengannya.

Dengan tekad nekat, Abul-‘Ash menuju ke rumah Zainab Ra., sesampainya di depan rumah istrinya, ia mengetuk pintu dan berharap istrinya membukanya. Dengan hati berdebar karena tekanan dari kaum muslim dan perasaan rindu yang mencekam, pintu yang berulang kali diketuk olehnya, dibukakan oleh sang istri tercinta.

Sang istri terkejut dan air matanya berkelinang di pipi, ia terkejut dengan kedatangan suaminya, kemudian ia mempersilakan suaminya masuk dan ia memberi apa yang dibutuhkan oleh suaminya.

Ketika Abul-‘Ash masuk dan mulai merasakan cinta yang telah lama tidak tersemi, Abul-‘Ash merasakan terdapat perasaan yang berbeda. Ia merasakan ketenangan di tempat kaum muslim yang ia datangi. Ia merasakan hidup ini sangat indah karena dikelilingi oleh orang yang baik.

Ia merasa salah karena telah mengikuti agama nenek moyangnya, tetapi ia tetap kukuh untuk mengikuti agamanya yang dahulu. Setelah menemui istrinya meskipun hanya sekejap, ia langsung pergi khawatir ketahuan oleh kaum muslim.

Pada akhirnya Abul-‘Ash menerima kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. dan kembali kepada istrinya untuk melanjutkan rumah tangganya. Hal itu sangat dinantikan oleh istrinya, hal yang sangat dirindukan adalah menanam benih-benih cinta kembali seperti awal pernikahannya.

Kemuliaan akhlaq Zainab memang tidak diragukan lagi, ia adalah sosok yang setia, menerima apa adanya, sabar dalam meghadapi musibah. Hal itu dapat dijadikan sebgai suri tauladan bagi wanita zaman sekarang,  karena musibah yang ditimpa oleh Zainab Ra. tidaklah ringan, melainkan konflik antara cinta, keyakinan, dan jatidiri.

Sedangkan konflik wanita sekarang hanyalah permasalahan finansial dan cinta. Hal itu sangat berbanding jauh jika dibandingkan oleh Zainab Ra. putri Rasulullah saw.

Wallahu A’lam