Kisah Islami: Ketika Seorang Badui Menolak Ajakan Makan Bersama Gubernur

Kisah Islami: Ketika Seorang Badui Menolak Ajakan Makan Bersama Gubernur

Kisah Islami: Ketika Seorang Badui Menolak Ajakan Makan Bersama Gubernur

Al-Hajjaj adalah seorang gubernur. Suatu ketika, ia berangkat melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan, karena merasa capai ia beristirahat di sebuah tempat antara Makkah dan Madinah. Tempat tersebut memiliki sumber mata air. Rencananya, di tempat tersebut, sambil beristirahat, ia akan menyantap makan siang.

Karena merasa tak enak ketika makan seorang diri, al-Hajjaj meminta kepada pengawalnya untuk mencarikan seseorang yang bisa diajak makan bersama. Ia berkata, “Carilah seseorang yang bisa makan bersamaku dan bisa engkau tanyai beberapa hal!”.

Pengawal tersebut melaksanakan tugasnya. Ia melihat ke arah sebuah gunung. Ia melihat ada seseorang yang tidur. Ia adalah seorang badui yang sedang tidur berselimut tebal (rangkap dua).

Si pengawal langsung mendekatinya dan membangunkan si badui. Namun, sayangnya, caranya kasar sekali. Ia menendang si badui dengan kakinya.

“Ayo bangun dan segera temui sang gubernur!,” perintah si pengawal kepada si badui.

Si badui segera bangun dan bergegas menuju tempat sang gubernur.

Melihat si badui berada di sampingnya, sang gubernur menyuruhnya untuk mencuci tangan dan kemudian makan bersamanya. Namun, ajakan atau perintah al-Hajjaj ditolak oleh si badui.

“Ada yang lebih baik darimu dan Dia memerintahku. Akupun memenuhi perintahnya,” terang si badui kepada al-Hajjaj.

Penasaran dengan siapa gerangan yang menyuruh si badui, sang gubernur menanyainya, “Siapa dia?”

Si badui pun menjawab dengan penuh kemantapan bahwa yang memerintahnya adalah Allah  Swt, Tuhan semesta alam. Ia lantas menjelaskan bahwa Allah telah menyuruhnya untuk berpuasa hari itu. Maka, secara otomatis, ia tak bisa menyantap makanan bersama si gubernur.

Mendengar jawaban si badui yang sedang berpuasa, sang gubernur kaget bukan kepalang. Pasalnya, siang itu panas begitu terik sekali. Ia pun memastikan hal itu kepada si badui tentang keheranannya itu.

Namun, si badui justru menjawabnya dengan begitu santai dan penuh bijaksana. “Aku berpuasa ini agar menjadi bekalku untuk hidup di suatu hari yang lebih panas daripada hari ini”.

“Batalkan saja puasamu. Toh, kamu masih bisa puasa esok hari!,” perintah gubernur al-Hajjaj.

Si badui menolak dengan sebuah pertanyaan, “Apakah engkau bisa menjamin bahwa aku akan tetap hidup esok hari?”

Al-Hajjaj tak berani menjamin.

Si badui pun lantas bertanya lagi tentang keheranannya terhadap sikap sang gubernur, “Lantas mengapa engkau menyuruhku membuang hal yang sudah ada (puasa hari ini, yakni dengan cara membatalkannya) untuk mendapatkan suatu yang belum ada (puasa esok hari) dan kamu sendiri tak bisa menjaminnya?”

“Makanan ini sungguh enak sekali,” jawab sang gubernur sedikit merayu.

Si badui menjawab, “Hal yang membuat makanan itu enak bukan dirimu dan bukan pula koki yang memasak. Namun, badan yang sehat.”

***

Selain tentang keteguhan hati untuk tetap puasa meski ada godaan, kisah di atas juga memberi pelajaran kepada kita tentang kesehatan. Kesehatan adalah suatu hal yang mahal. Tanpanya, kenikmatan sebesar apapun tak akan pernah bisa terasa nikmat.

Perintah untuk melaksanakan salat, puasa, dan haji adalah bukti bahwa Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan. Logikanya, mana mungkin orang yang tidak sehat bisa melakukan tiga ibadah itu?

(Meskipun, dalam praktiknya, ketika seseorang sedang sakit, ibadah-ibadah tersebut bisa dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda dari biasanya (salat dengan duduk, misalnya) atau bahkan menggantinya di lain waktu (puasa dan haji).

Walhasil, kesehatan adalah suatu hal yang penting bagi seseorang. Sayangnya, seseorang seringkali melupakannya. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, Nabi bersabda, “Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.”

 

Bacaan:

Jamâluddîn Abi al-Farj bin Al-Jauzî, ’Uyûn Al-Hikâyat (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019), hal. 230-231.

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih (Kairo: Dar al-Sya’b, 1987), vol. 8, hal. 109.