Ada kisah dari seorang filsuf terkenal bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad atau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali ketika bertemu kawanan perampok. Imam al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia adalah orang yang sangat sederhana. Bahkan beliau dipanggil al-Ghazali karena ayahnya adalah seorang pemintal benang tenun (Ghazali dalam bahasa arab berarti benang tenunan).
Penghasilan dari memintal benang tenun hanya cukup untuk memenuhi keluarganya sehari-hari. Dari kesederhanaan itulah muncul seorang sosok yang melambung tinggi dengan kerendahan hatinya. Walau hidup dalam keadaan serba kekurangan, beliau adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan.
Pada suatu hari ketika al-Ghazali bepergian, beliau dicegat oleh sekelompok perampok. Pada saat itu al-Ghazali tidak memiliki uang ataupun harta benda yang berharga. Hanya ada kitab-kitab hasil tulisan tangannya. Kitab-kitab itu kemudian diambil oleh perampok, namun al-Ghazali meminta agar kitab itu dikembalikan. Menurutnya, buku atau kitab itu sangat berharga baginya. Perampok malah tertawa mengejek al-Ghazali. Mereka lalu menasihati al-Ghazali dengan beberapa ejekan yang dilontarkan.
“Untuk apa kamu belajar kalau kamu masih tergantung pada buku. Bukankah ilmu itu di dada, bukan di buku?” ejek perampok itu.
Perampok itu kemudian mengembalikan kitab-kitab tersebut kepada al-Ghazali. Mungkin al-Ghazali selamat. Namun ada semacam hentakan psikologis yang masuk ke dalam hatinya. Peristiwa tersebut membawa pengaruh besar dalam jiwa al-Ghazali. Sejak peristiwa itulah, Imam al-Ghazali menjadi rajin menghafal semua kitab-kitabnya hanya karena teringat ejekan perampok tersebut.
Sebagaimana pepatah mengatakan, “ambillah ilmu walau dari lubang (pantat) ayam.” Pepatah ini memberikan kita sebuah pandangan bahwa tidak selalu yang keluar dari lubang pantat ayam itu kotor, karena telur ayam juga keluar dari lubang tersebut. Demikian pula kisah Imam al-Ghazali yang mendapat sebuah motivasi besar walaupun awalnya adalah sebuah ejekan yang keluar dari mulut perampok.
Jadikanlah hinaan, celaan, dan ejekan sebagai motivasi untuk terus meningkatkan kualitas diri. Yang dihina belum tentu hina yang menghina belum tentu mulia. Yang terpenting kita tetap berada pada koridor yang benar, walau banyak kekurangan, itu tidak akan mengurangi kemuliaan seseorang selagi orang tersebut berada dalam jalan yang lurus sesuai perintah Allah Swt.
Cacian dan hinaan adalah bagian dari ujian kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Kita sebagai manusia ditakdirkan memiliki serentetan ujian yang tak ada henti-hentinya. Ujian tersebut bisa berupa yang baik seperti pujian atau yang buruk seperti celaan, hinaan atau ejekan.
Rasulullah SAW adalah seorang manusia yang memiliki akhlak mulia, dikenal sebagai orang paling jujur bergelar al-Amin. Ketika beliau menyampaikan kebenaran kepada kaumnya, yaitu perintah untuk meng-Esakan Allah, maka orang-orang yang tadinya menghormati Beliau kemudian mencela, mengejek dan menghina beliau. Orang menuduh beliau sebagai Majnun atau “kerasukan jin”, yang lain menyebut, “Dia seorang penyair” bahkan ada yang menyebut beliau sebagai pendusta dan lain sebagainya.
Allah melukiskan orang-orang beriman yang sejati dengan orang yang tidak takut celaan seseorang; melainkan menjadikan itu sebagai motivasi dan anugerah yang diberikan oleh Allah karena dengan itu ia bisa memperbaiki dirinya (Q.S al-Maidah [5]:59).
Wallahu a’lamu bi al-Shawab