Kisah Ibrahim bin Adham Dinasihati Seekor Harimau

Kisah Ibrahim bin Adham Dinasihati Seekor Harimau

Kisah Ibrahim bin Adham Dinasihati Seekor Harimau
Ilustrasi seseorang yang sedang merenungi diri.

Ketika berada di Mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah haji, Ibrahim bin Adham tiba-tiba merasakan udara sangat dingin. Tak kuasa menahan, ia pun pergi menunju gua yang berada pada sebuah gunung. Tanpa ia tahu, gua tersebut ternyata adalah rumah seekor harimau.

Tak beberapa lama setelah Ibrahim berada di sana harimau penunggu gua itu datang. Merasa ada orang asing di dalam rumahnya, harimau itu bertanya, “Siapa yang berani memasukkan kamu ke sini tanpa izin dariku?”.

“Maaf, aku adalah orang tersesat. Anggap saja aku ke sini sebagai tamumu,” jawab Ibrahim.

Harimau itu memaklumi. Ia lantas tidur di samping Ibrahim. Oleh karenanya, Ibrahim merasa aman. Malam itu, Ibrahim tidak tidur, melainkan membaca Al-Qur’an semalam suntuk.

Esok harinya, ketika Ibrahim akan keluar gua, tiba-tiba si harimau menasihati. Harimau itu menyarankan agar Ibrahim menghindari sifat ‘ujub (berbangga diri). Pasalnya, bewan buas ini ternyata mengetahui isi hati Ibrahim yang terlewat percaya diri menyatakan bisa berada di samping harimau dengan aman (karena tidak dimangsa).

“Aku sebenarnya sudah tiga hari tidak makan apa-apa. Kalau engkau sebagai tamuku, niscaya aku pasti akan memangsamu,” jawab si harimau.

Aman dari harimau, Ibrahim lantas mengucapkan hamdalah. Ia keluar dari gua itu.

Singkat cerita, kini, ibadah haji yang dilakukan Ibrahim telah selesai dan ia pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang itu, tiba-tiba Ibrahim ingin memakan buah delima. Maklum, sudah dua puluh tahun ia tidak memakan buah ini. Saat itu, setiap ingin makan delima, ia selalu menahannya.

Keinginan hati Ibrahim untuk makan delima itu semakin kuat. Bahkan hatinya sampai menyatakan kata-kata ancaman. “Wahai Ibrahim, jika engkau tidak menuruti kemauanku ini, niscaya aku tak akan mau diajak untuk beribadah”.

Ibrahim berjanji kepada dirinya sendiri, bila sudah berada di tempat yang ramai, ia akan mencari delima untuk dimakan.

Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah pohon. Setelah iditeliti, ternyata pohon ini benar-benar pohon delima. Setelah dilihat-lihat, pohon itu berbuah. Ibrahim mengambil satu buah delimadimakan. Ternyata rasanya asam.

Ia mengambil lagi buah yang kedua, ketiga, dan keempat  Rasanya tetap asam. “Engkau tak akan tertarik melainkan dengan buah yang rasanya manis,” kata Ibrahim kepada dirinya sendiri.

Pada perjalanan selanjutnya, ia mampir ke sebuah bangunan yang berada di samping kebun delima. Di sana ia bertemu dengan seseorang yang sedang membawa delima. Ibrahim meminta satu delima darinya. Ketika dimakan, rasanya masih saja sama: asam. Ibrahim lantas menceritakan apa yang ia alami sebelumnya.

Orang itu menasihati Ibrahim, “Kamu terlalu menuruti keinginanmu”.

Sejurus kemudian, orang itu juga menyatakan bahwa sudah selama empat puluh tahun ia berada di kebun delima itu. Sejak saat itu, ia tak lagi merasakan asam manis buah delima (baginya, makanan apapun sama saja, tanda bahwa ia bisa mengendalikan hawa nafsu, pen).

Ibrahim takjub dengan apa yang dikatakan orang ini.

Ia melanjutkan perjalanan. Kali ini, Ibrahim bertemu dengan pemuda yang tubuhnnya penuh ulat dan dipatoki banyak burung. Melihatn itu, Ibrahim lantas merasa bersyukur karena lebih beruntung dari apa yang ia lihat.

Ibrahim berkata kepada pemuda ini tentang adakah cobaan yang lebih parah dari yang ia terima sekarang ini.

“Apa yang menimpaku tidak lebih besar daripada keinginanmu makan delima. Allah mengetahui bahwa engkau adalah hamba yang durhaka. Sehingga ia mengganti rasa delima itu, dari manis ke asam,” kata pemuda ini yang ternyata mengetahui ihwal delima.

Nasihat pemuda ini membuat Ibrahim jatuh pingsan. Setelah siuman, Ibrahim bertanya kepada si pemuda, “Apakah engkau ingin berdoa agar Allah menyembuhkanmu dari penyakitmu ini?’.

Pemuda ini justru mengatakan kalimat yang luar biasa. Ia menyatakan bahwa Allah adalah Zat yang berhak berbuat apa saja. Sehingga ia pun ridla dengan keputusanNya. Bahkan bila Allah suatu saat memotong-motong tubuhnya, maka ia akan semakin mencintaiNya. Suhanallah.

Kisah ini terdapat dalam kitab an-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi. Lewat kisah ini kita bisa belajar betapa pentingnya menerima ketentuan Allah SWT. Tentu, sesuai kapasitas (maqam) kita, jika itu penyakit, maka kita tetap diwajibkan untuk berobat agar sembuh. Wallahu a’lam.

 

Sumber Bacaan:

Al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. an-Nawadir. Kairo: Musthafa al-Babiy, 1955.