Alkisah, ada seorang lelaki tua yang berpenampilan kumal datang dan bertemu dengan anak kecil. Anak kecil itu bernama Abu Bakar bin Zuhr yang merupakan putra seorang menteri yang bernama Abu Marwan. Ketika melihat lelaki kumal itu ada di depan gerbang pintu rumahnya, Abu Bakar bersikap acuh, walaupun lelaki itu telah mengucapkan salam kepadanya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala, setelah beberapa kali mengucapkan salam, akhirnya pada salam ketiga Abu Bakar bin Zuhr bersedia menjawab salam dan menghampir lelaki kumal tersebut serta membukakan pintu rumahnya.
Setelah pintu gerbang rumah dibuka, lelaki kumal itu pun berkata kepada Abu Bakar bin Zuhr, “Wahai anakku, tolong mintakan izin untukku pada Menteri Abu Marwan. Aku ingin bertemu dengannya.”
Mendengar permintaan tersebut, dengan wajah ketus, Abu Bakar menjawab, “Menteri sedang tidur.”
Tak lama setelah itu, pandangan lelaki kumal itu tertuju pada sebuah buku besar yang dibawa oleh Abu Bakar. Dia pun bertanya, “Kitab apa itu yang kau pegang?”
Sambil memamerkan kitab yang dibawa, Abu Bakar pun menjawab, “Apa yang ingin kamu ketahui tentang kitab ini? Ini adalah kitab Al-Aghni yang berisi ribuan puisi.”
“Kamu sedang mempelajarinya?” Tanya kembali lelaki kumal itu kepada Abu Bakar bin Zuhr.
Dengan begitu percaya diri, Abu Bakar pun menjawab, “Ini adalah salah satu kitab utama yang wajib dipelajari.”
Mendengar jawaban Abu Bakar, lelaki kumal itu pun berkata, “Aku sudah menghafal kitab ini sejak seusiamu.”
Ketika mendengar pernyataan lelaki kumal itu, Abu Bakar hanya tersenyum sinis. Dia tidak percaya dengan ucapan lelaki tersebut, bahkan meremehkannya.
Tiba-tiba lelaki tua dan kumal itu berkata kepada Abu Bakar, “Berilah aku pertanyaan tentang kitab tersebut.”
Abu Bakar bin Zuhr kemudian menanyakan hal-hal yang paling sulit dan mendetail dari kitab Al-Aghni. Ternyata lelaki tua dan kumal itu bisa menjawab semua pertanyaan tanpa keliru sedikit pun.
Tak lama setelah kejadian tersebut, Abu Bakar langsung bergegas menemui ayahnya, yaitu Menteri Abu Marwan.
Ketika melihat siapa lelaki yang barusan diremehkan oleh Abu Bakar bin Zuhr, sang wazir segera berlari keluar. Bahkan tanpa mengenakan alas kaki saking bersemangatnya. Sang Wazir lalu memeluk lelaki tersebut, mencium tangannya, dan membungkukkan badan seraya memohon maaf atas ketidaksopanan anaknya.
Setelah puas bercakap-cakap, lelaki kumal itu pun izin pamit. Dengan rasa ta’dhim, sang Menteri memberinya kendaraan agar dia tak perlu lelah berjalan kaki menuju tempat tinggalnya.
Tak lama kemudian Abu Bakar bin Zuhr datang menghampiri ayahnya dan bertanya, “Ayah, siapa lelaki itu?”
Mendengar pertanyaan putranya tersebut, Abu Marwan pun berkata, “Kamu tidak mengenalnya? Dia adalah pujangga ternama dari Andalusia, namanya Ibnu Idzun. Bahkan hafalan paling pendeknya adalah kitab Al-Aghani yang kau bawa dengan susah payah itu.”
Kitab al-Aghani sendiri merupakan sebuah ensiklopedia berisi puisi-puisi dan lagu-lagu yang disusun oleh Abu al-Faraj Al-Isfahani dari abad ke-10. Kitab tersebut disusun selama 50 tahun, dan berisi 10.000 halaman yang mencakup puisi-puisi mulai dari masa Jahiliyah hingga abad ke-9 Masehi.
Kisah di atas menegaskan bahwa di atas langit masih ada langit, dan di atas orang berilmu masih ada orang yang lebih berilmu. Kitab atau buku yang kita baca atau pelajari dengan susah payah, lalu dibanggakan kepada orang lain, bisa jadi sudah jauh-jauh hari dipelajari oleh orang tersebut, namun kita tidak mengetahui hal itu. Oleh karena itu, tidak sepantasnya orang yang berilmu mudah meremehkan orang, apalagi hanya menilai dari sebuah tampilan luarnya saja. Seorang yang berilmu tidak sepantasnya mudah berbangga diri dan puas dengan yang sedang ditekuni dan dipelajari. Sebab, akhlak orang yang berilmu itu sejatinya tidak mudah meremehkan dan mudah berbangga diri.
Sebab semakin bertambah ilmu seseorang, seharusnya semakin sadar bahwa masih ada banyak hal yang belum diketahui.