Kisah Iblis dan Larangan Rasisme dalam Islam

Kisah Iblis dan Larangan Rasisme dalam Islam

Kisah-kisah Rasulullah SAW memberi gambaran kepada kita bahwa Islam tidak memberi ruang untuk rasisme.

Kisah Iblis dan Larangan Rasisme dalam Islam

“Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”

Barangkali kalimat di atas adalah kalimat rasis paling fenomenal yang terekam dalam sejarah alam semesta. Dilontarkan oleh Iblis saat diminta sujud hormat kepada manusia pertama (QS 7:12). Hal yang kemudian menjadi penyebab murka Allah pada Iblis.

Saya masih ingat betul saat dosen saya di Islamic Call College (Tripoli), Dr. Wazni, tak ragu menyebut hal itu sebagai tindakan rasis. Sebab, penolakan Iblis bukan berdasar pada hal-hal yang “bisa dibenarkan”, melainkan murni karena sentimen “asal-usul”. Beliau lantas membandingkan bahwapola pikir “keunggulan kulit putih” sama bahayanya dengan ucapan Iblis kala itu. Pengusungnya akan jadi teman Iblis di neraka.

Rasisme telah menjadi momok di hampir semua bangsadengan ciri dan karakteristik masing-masing. Supremasi kulit putih yang sekarang dihembuskan kembali di Amerika pasca terpilihnya Trump adalah salah satunya. Berbeda dengan Amerika, rasisme di Jerman sebelum PD II memiliki “warna” yang berbeda. Begitu pula yang terjadi Italia, Australia, Afrika Selatan, dan negara-negara lainnya.

Fredricksen (2005) melalui bukunya, Racism: A Short History, mengatakan bahwa ada kepercayan turun temurun bahwa orang-orang Afrika dianggap terlahir sebagai budak karena dosa-dosa masa lalu. Jika melihat sejarah Islam, nampaknya pendapat Fredricksen ada benarnya. Terdapat “rekaman” sejarah peristiwa yang berhubungan dengan sentimen rasial.

Hanya karena suatu perselisihan, Abu Dzar al-Ghifari mengungkapkan kata-kata tak pantas cenderung rasis pada sahabat Nabi lainnya (dalam sejumlah riwayat dikatakan Bilal bin Rabah). Nabi SAW kemudian mengecam tindakan tersebut dengan menyebutnya sebagai laku jahiliyyah. Meski pada akhirnya, dalam sejumlah riwayat, terjadi perdamaian antar keduanya dengan cara yang cukup dramatis.

Dalam cerita lain, Umar RA pernah inisiatif memberi bingkisan pada sejumlah istri Nabi. Aisyah RA bertanya pada Umar RA, “Apakah hadiah tersebut untuk seluruh istri Nabi?” Rupanya Umar RA memilah sejumlah hadiah untuk perempuan dari suku Quraisy, dan sejumlah hadiah lain (dengan nilai yang berbeda) untuk non-Quraisy.

Tindakan Umar RA tidak disetujui oleh Aisyah RA. Beliau mengatakan bahwa Nabi Saw adalah sosok yang adil pada istri-istrinya. Aisyah bahkan meminta secara tegas pada Nabi SAW untuk (secara literal) mengangkat kepalanya dan memberitahu Umar RA mengenai prinsip keadilan tersebut.

Tiadanya penolakan Nabi SAW atas tindakan Aisyah RA bisa dimaknai sebagai sebuah persetujuan atas tindakan tersebut. Kisah-kisah di atas memberi gambaran kepada kita bahwa Islam tidak memberi ruang untuk perilaku rasis.

Dalam konteks Indonesia masa kolonial, dikenal pula rasisme dalam bentuk klasifikasi rasial “pribumi”. Pengelompokan ini mendapat payung hukum melalui UU Kolonial tahun 1854. Singkatnya, terdapat 3 strata sosial kala itu: Europeanen (masyarakat Eropa/kulit putih), Vremdee Oesterlingen (Timur Asing/Keturunan Cina, Arab, dll), dan Inlander (pribumi).

Politik pecah belah Belanda kemudian beroperasi dengan membenturkan kelas Timur Asing dengan pribumi. Untuk dicatat, Belanda sendiri tidak menamai dirinya sebagai asing, tapi penguasa nusantara kala itu.

Itulah salah satu bentuk rasisme yang dihadapi nusantara di masa kolonial. Rangkaian segregasi itulah (dan sebab-sebab lain tentunya) yang pada akhirnya mendorong pemuda-pemudi Indonesia untuk mengucap sumpah pada 28 Oktober 1928.

Mereka bersumpah (di antaranya) dengan mengaku bertumpah-darah dan berbangsa satu, Indonesia. Semestinya, seiring dengan usia kemerdekaan, kita sudah beranjak jauh dari klasifikasi rasial semacam itu. Sungguh “kesiangan” dan “terlambat lahir” apabila kita justru menjerumuskan diri kembali pada potret suram masa lampau.

Menjadi semakin runyam jika sentimen rasis ini dihembuskan oleh pejabat publik, tokoh masyarakat, politikus, atau siapapun yang memiliki pengikut. Apa yang mereka mainkan seperti sebuah zero sum game di mana keuntungan suatu pihak diperoleh dari kerugian pihak-pihak lain. Menunjukkan eksistensi kelompok atau golongannya sambil menafikan eksistensi kelompok lainnya. Sungguh berbahaya!

Sebenarnya yang terjadi sekarang adalah rasisme yang bermetamorfosa. Rasisme telah berkembang biak menjadi bentuk-bentuk yang lebih detail. Tidak hanya sentimen antar suku bangsa atau warna kulit, tetapi rasisme juga terjadi dalam lingkup internal dalam satu ras.

Kita bisa saksikan saling ejek antar satu suku tertentu hanya karena perbedaan letak geografis dan dialek, misalnya. Rasisme juga ada dalam persaingan antar warga keturunan itu sendiri. Wujudnya, saling klaim keunggulan ras masing-masing.

Untuk maju, rasisme dalam bentuknya yang baru inilah yang sejatinya perlu segera diatasi. Kontraproduktif jika kita justru mengundang kembali segregasi sosial zaman kolonial. Tantangan baru diselesaikan, bukan justu menghadirkan kembali sejarah kelam masa silam. Atau kita tak punya muka untuk bertemu “alumni” sumpah pemuda kelak.

Wallahu a’lam.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Islami.co dengan judul, “Menjadi Pemuda Muslim yang Tidak Rasis,” pada tanggal 27 Oktober 2017.