Kisah Hubungan Baik Rasulullah dengan Pemuka Yahudi

Kisah Hubungan Baik Rasulullah dengan Pemuka Yahudi

Kisah Hubungan Baik Rasulullah dengan Pemuka Yahudi

Persatuan adalah salah satu kunci sukses dakwah Nabi Muhammad SAW. Hal ini terekam jelas dalam sejarah Islam. Sesampainya Nabi hijrah di Yatsrib, banyak langkah strategis dan taktis yang dilakukan. Baik dalam rangka memperkokoh persatuan antar sesama Muslim ataupun dengan masyarakat Yatsrib lainnya. Di internal umat Islam, Nabi Muhammad SAW menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin. Di antaranya ialah dengan jalan pernikahan dan persaudaraan.

Meskipun awalnya tidak memiliki garis keturunan, Nabi menjalinkan ikatan persaudaraan antar sesama sahabat. Satu dari sahabat Anshar dan satunya dari sahabat Muhajirin. Sebagai misal adalah ikatan persaudaran antara Abu Bakar al-Shidiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khathab dengan Utbah bin Malik, Ja’far bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, dan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Selain melakukan pertalian persaudaraan, Nabi Muhammad saw juga menekankan pentingnya untuk selalu menjaga tali persaudaraan yang telah ada.

Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Rasulullah SAW menandaskan bahwa seorang Muslim itu satu dengan yang lainnya adalah saudara. Karena itu, janganlah ia menzaliminya atau membiarkannya terzalimi. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang membantu menghilangkan kesulitan yang dialami saudaranya, maka Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang menimpanya di hari kiamat. Siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.

Nabi Muhammad saw juga memelopori persatuan seluruh kabilah yang hidup di Madinah. Perbedaan golongan, suku, dan agama tidak menghalangi untuk bersatu menjaga keamanan kota Madinah. Ikatan persatuan ini tertuang dalam perjanjian Piagam Madinah. Masing-masing agama dan kepercayaan dijamin keamanan dan kebebasannya. Tidak diperkenankan untuk saling cibir dan mengganggu. Apalagi saling bermusuhan dan berperang.

Dalam banyak riwayat hadis, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw juga memiliki hubungan baik dengan beberapa tokoh Yahudi. Di antaranya ialah Mukhairiq dan Abu Syahm.  Mukhairiq adalah tokoh Yahudi yang ikut dalam perang Uhud. Bahkan gugur dalam perang yang sengit ini. Dikisahkan bahwa saat itu Mukhairiq sempat berpesan, seandainya ia gugur dalam peperangan, maka kebun kurma miliknya harus diberikan kepada Nabi. Benar adanya, dalam kecamuk perang Uhud, Mukhairiq gugur. Kebun kurmanya lantas diserahkan kepada Nabi. Mendengar berita gugurnya Mukhairiq, Nabi Muhammad saw bersaksi bahwa Mukhairiq adalah sebaik-baiknya Yahudi.

Demikian halnya Abu Syahm, Nabi juga menjalin hubungan baik. Salah satunya ialah Nabi Muhammad saw menggadaikan baju perang kepada Abu Syahm. Baju perang Nabi digadai dengan 30 sho’ gandum. Hingga wafatnya Nabi, baju perang itu masih tergadaikan di sisi Abu Syahm. Baru kemudian Sayidina Ali bin Abi Thalib ra.  yang menebusnya. Kisah ini terdapat dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim (204-261 H).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَنَّ النَّبِيَّ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Artinya:

“Diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah ra, sesungguhnya Nabi Muhammad saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya.” (HR: Muslim)

Beberapa kisah ini merupakan contoh nyata bahwa Nabi Muhammad saw mengutamakan persatuan. Dengan berbekal persatuan ini, dalam waktu yang relatif singkat, yakni 10 tahun, Nabi mampu menorehkan peradaban baru. Membumikan pesan-pesan mulia agama dalam kehidupan masyarakat kota Madinah dan sekitarnya.

*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 53/Jum’at, 26 Juli 2019