Kisah Heroik Latief Hendraningrat, Pengibar Bendera dalam Proklamasi 17 Agustus 1945

Kisah Heroik Latief Hendraningrat, Pengibar Bendera dalam Proklamasi 17 Agustus 1945

Sosok ini tidak banyak yang tahu, namanya Latief Hendraningrat yang jadi pengibar bendera pertama RI

Kisah Heroik Latief Hendraningrat, Pengibar Bendera dalam Proklamasi 17 Agustus 1945

Latief Hendraningrat adalah pelaku sejarah, sosok yang seringkali kita lihat dalam pelbagai potret tentang pengibaran bendera Pusaka Merah Putih tanggal 17 Agustus 1945.

Latief merupakan salah satu dari tiga pengibar bendera Merah Putih. Dua nama lainnya adalah Suhud Sastro Kusumo dan Surastri Karma (SK) Trimurti.

Latif pun mengenang peristiwa mendebarkan dan mengharukan yang terjadi ada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 tersebut.

Ketika itu, Latief merupakan seorang Cudan-co (Komandan Kompi) Tentara Pembela Tanah Air (Peta).

Ia pun mengisahkan, penunjukkan dirinya sebagai pengibar bendera dilakukan secara mendadak.

Waktu itu, ia mendapat tugas untuk mengamankan rumah Bung Karno, tempat Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan.

Ia pun cerita, saat banyak tokoh sudah berdatangan dan barisan rakyat siap di halaman depan, Latief mendampingi Bung Karno dan Bung Hatta menuju serambi depan.

Bung Karno dan Bung Hatta pun diikuti para pemuda dan para tokoh lainnya.

Menurut Latief, dikutip dari Harian Kompas, 18 Agustus 1981, dia ikut mendampingi Bung Karno dan Bung Hatta karena bertanggung jawab atas keamanan upacara.

“Saya di sebelah kanan Bung Karno. Pasukan saya yang siaga menghadapi segala kemungkinan sergapan dari tentara Jepang,” kata Latief.

“Di beranda depan, sudah terpasang mikrofon. Ketika kami bertiga yang paling depan sudah mendekat ke mikrofon, Bung Hatta berhenti, sementara Bung Karno dan saya tetap berjalan terus. Bung Karno mendekati mikrofon,” ujarnya.

Lantas, ketika Proklamasi selesai dibacakan, muncul dua pemuda dan pemudi membawa baki yang berisi bendera Merah Putih menuju ke arah Latief.

Tanpa berpikir panjang, dia pun kemudian ikut menjadi bagian pengibar bendera.

“Waktu itu tidak ada protokol yang mengatur seperti sekarang kalau mengibarkan Bendera Pusaka, di mana bendera diserahkan dulu kepada presiden lalu diserahkan kepada pengibar bendera,” kata dia.

Bambu jemuran

Latief cerita, saat itu para pengibar bendera mengambil bambu jemuran untuk mengibarkan Bendera Pusaka Merah Putih.

Alasan memilih bambu jemuran, kata Latief, tiang yang digunakan untuk mengibarkan bendera merupakan bambu jemuran yang telah dipasangi tali untuk mengerek bendera.

“Sebenarnya di halaman depan itu ada dua tiang bendera yang lebih bagus. Tapi kami memilih tiang bendera baru. Kami tak mau menggunakan tiang bendera yang ada hubungannya dengan Jepang,” tutur dia.

Pada zaman pendudukan Jepang, bendera Merah Putih sudah boleh dikibarkan asal selalu didampingi bendera Jepang ‘Hino-maru’.

“Itulah perasaan kami waktu itu. Bendera Merah Putih jangan ada sangkut pautnya dengan apa saja yang berbau atau bekas Jepang,” ujarnya.

Dia pun mengaku tak tahu secara pasti siapa yang mengatur agar dirinya menjadi salah satu pengibar bendera.

Menurutnya, hal itu dilakukan untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta.

Sebab, dalam peraturan Jepang saat itu, siapa pun yang mengibarkan bendera Merah Putih saja tanpa Hino-maru, berarti salah.

Ia bahkan cerita, alasan penunjukkan dirinya agar menjadi pengalih, supaya jika nanti ada apa-apa terkait pengibaran tersebut, biarkan saja dirinya yang ditangkap.

Bukan dua tokoh revolusi tersebut, yakni Bung Karno dan Bung Hatta.

“Jadi kalau ada apa-apa, bisa didalih bahwa yang salah saya sendiri, bukan Bung Karno atau Bung Hattta yang bisa ditangkap nanti,” tuturnya.

Latief Hendraningrat meninggal dunia saat berusia 72 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta.

Ia wafat 14 Maret 1983 pukul 21.00 WIB. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalbat