Kisah Gus Dur ‘Mengakali’ Intelijen  

Kisah Gus Dur ‘Mengakali’ Intelijen  

Kisah Gus Dur ‘Mengakali’ Intelijen  
Sumber: kmnu-itb.weebly.com

Salah satu tokoh pesantren yang memiliki segudang kisah adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sosok Gus Dur, sampai sekarang tidak pernah habis diperbincangkan, ditulis, ditafsirkan, hingga diperdebatkan pemikiran-pemikirannya. Ide-ide Gus Dur dianggap melampaui zamannya, menjadi teropong pemikiran untuk imajinasi masa depan.

Gus Dur memiliki segenap julukan, dari kiai jenius, Guru Bangsa, pemimpin perdamaian, Bapak Pluralisme, hingga Bapak Tionghoa Indonesia. Akankah bermacam gelar tersebut, dianggap cukup mewakili sosok Gus Dur? Ternyata tidak!. Gus Dur melampaui identitasnya sendiri. Ia menembus waktu, melampaui zaman.

Kisah-kisah Gus Dur tentang dunia pesantren sudah banyak diwartakan. Akan tetapi, kisah Gus Dur dengan dunia intelijen masih jarang didengar, hanya samar-samar diperdengungkan. Bagaimana kisahnya?

Gus Dur, putra Kiai Wahid Hasyim (1914-1953) memiliki insting dan strategi tingkat tinggi. Beliau mampu bergaul dengan siapa saja, menembus sekat agama, bahasa, etnis, hingga dimensi alam. Sering diwartakan, bagaimana Gus Dur “menemukan” makam-makam keramat di sebuah tempat yang belum pernah dijamah peziarah.

Nah, tentang hubungannya dengan dunia intelijen, Gus Dur memiliki hubungan benci tapi rindu dengan Leornardus Benjamin “Benny” Moerdani (1932-2004). Benny Moerdani adalah salah satu jendral militer yang memiliki karir melesat pada masa Orde Baru. Ia memiliki rentetan prestasi, baik di militer maupun intelijen. Salah satu operasi intelijen yang membuat namanya melejit, adalah operasi Woyla, pada 1981.

Dalam catatan Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (Mizan, 2016), Gus Dur dengan cerdik memanfaatkan persahabatan dengan Benny Moerdani. Menurut Salim Said, Benny Moerdani merupakan orang penting, lingkaran utama keluarga Cendana, body guard sekaligus komando para agen, yang bertugas mengamankan pemerintahan Soeharto.

Loyalitas Benny Moerdani terhadap Soeharto tidak diragukan lagi, mengingat tempaan militer dan intelijen. Bagi Soeharto, Benny merupakan barisan kelas satu, yang dipinang oleh Soeharto untuk mengamankan pemerintahan dan keluarganya. Salim Said mengungkap bahwa Benny Moerdani merupakan ‘anjing herder penjaga Soeharto’. Sebagai penjaga utama, sebagaimana tercatat dalam buku, Dari Gestapu ke Reformasi: Seangkaian Kesaksian (Mizan, 2013), hal ini berkonsekuensi banyaknya musuh Benny di luar istana.

Dalam kesaksian Salim Said, hubungan Benny Moerdani dan Gus Dur, merupakan hubungan yang unik. Pada masa kejayaannya, Benny Moerdani mengikuti perintah Soeharto dan pemerintahan Orde Baru. Namun, ketika Benny menyentil bisnis anak-anak Soeharto, sang presiden marah hingga sedikit-demi sedikit menggeser Benny dari ring utama kekuasaan Orde Baru. Akhirnya, loyalitas Benny bergeser dari mendukung Soeharto, menjadi setia kepada NKRI, kepada bangsa dan negerinya. Hubungan Benny dengan keluarga Cendana, turut mempengaruhi masa-masa dinamis komunikasi Benny dan Gus Dur.

Meski Benny Moerdani sebagai sosok yang sering digambarkan sejarah, sebagai komando militer dan intelijen yang memusuhi Islam, hal ini tidak menjadikan Gus Dur membenci Benny. Gus Dur memaafkan Benny dengan mengajaknya bersafari ke pesantren-pesantren, ketika posisi Sang Jenderal sedang terjepit.

Sumber: www.salam-online.com

 

Mengenai hal ini, Gus Dur menulis: “Sebagian teman menyatakan kepada penulis, bahwa Benny Moerdani adalah musuh Islam yang sesungguhnya, tapi penulis berkesimpulan itu sebagai sesuatu yang salah. Justru, Pak Benny adalah orang yang melaksanakan pola hubungan negara dan agama seharusnya. Di antaranya, dia memegang pendiriannya bahwa harus ada perbedaan tegas antara mana yang menjadi tanggungjawab negara dan mana milik negara itu sendiri” ungkap Gus Dur, dalam buku LB Moerdani: Langkah dan Perjuangan (2005).

Gus Dur merangkul Benny Moerdani pasca peristiwa Tanjung Priok pada dekade 1980-an. Peristiwa berdarah ini, merupakan operasi militer yang dibungkus dengan sentimen agama. Pada titik ini, Gus Dur dengan lihai menggandeng Benny Moerdani agar dapat berkomunikasi tingkat tinggi dengan intelijen negara. Hubungan Gus Dur dan Benny memang “teman tapi bukan teman”, yang sangat akrab di hadapan publik, tapi sebenarnya tiap pihak saling menggunakan strategi pendekatan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan.

Dari komunikasi jarak dekat ini, Gus Dur dapat menetralisir ancaman militer di tubuh NU, serta mengamankan jaringan pesantren dan santri, agar tidak dimusuhi oleh Orba.

Sebaliknya, Benny Moerdani juga tak kalah lihai, dengan menetralisir nama militer sebagai pelaku kekerasan politik.

Mohammad Sobary, mengingat hubungan Gus Dur dan Benny Moerdani dalam catatan menarik. Menurut Sobary, Benny dan Gus Dur main ‘cerdik-cerdikan’  dengan menggunakan informasi intelijen yang menjebak biarpun satu sama lain kelihatannya ‘kawan’. “Mungkin namanya kawan ‘taktis’. Ada suatu bentuk ‘hate and love relationship’ yang mengasyikkan di antara mereka karena sebenarnya, meskipun sangat kental, sikap itu juga tersembunyi.”

Dalam catatan Moh. Sobary, dalam buku “Jejak Guru Bangsa: Mewarisi Kearifan Gus Dur” (2010), kisah persahabatan Gus Dur dengan Benny Moerdani, bukan berarti pemberian keamanan tingkat VIP. Gus Dur tidak mau terbebani dengan komando keamanan Benny Moerdani, untuk melindunginya ketika berada di daerah. Menurut Sobary, Gus Dur sangat menyadari, bahwa tentara tak akan berani nekat mencelakainya secara terbuka. Ini mustahil karena akan bikin gempar Islam.

Pada akhir tahun 80-an, Gus Dur mengajak Benny Moerdani untuk berkeliling mengunjungi ke pesantren-pesantren, untuk sowan ke kiai-kiai. Di antaranya, Kiai Mahrus Ali di Lirboyo. Kiai Mahrus sempat bergurau kepada Benny, bahwa yang perlu diberi KB oleh pemerintah adalah maling, karena kalau kiai itu pasti keturunannya orang baik-baik. Gus Dur juga mengajak Benny sowan ke pesantren al-Muayyad, Surakarta, Jawa Tengah.

Pada 1987, Gus Dur menggelar acara silaturahim bersama ratusan kiai di pesantren al-Muayyad Surakarta. KH. Ahmad Shiddiq (1926-1991), Rais ‘Aam PBNU waktu itu juga hadir. Kiai Siddiq, ketika menuju panggung, berbisik kepada Gus Dur: “Kerbau kalau sudah dicucuk hidungnya, pasti nurut”. Gus Dur pun terkekeh, mendengar ungkapan Kiai Ahmad Shiddiq [].

 

*Munawir Aziz, peneliti Islam dan Kebangsaan, bergiat di Gerakan Islam Cinta dan PPM Aswaja.