Gus Dur dan Uskup Agung Helder Camara adalah pemimpin dari agama yang berbeda. Mereka berdua disatukan oleh nilai perjuangan untuk membebaskan kaum miskin.
Pengetahuan dan jejaring pertemanan Gus Dur sungguhlah luas dan lintas batas. Implikasi dari kepemilikan ruang pikiran yang luas itu, maka tak heran ketika Gus Dur memiliki perhatian terhadap segala hal tentang perkembangan dunia, terlebih lagi yang menyangkut masalah-masalah agama, demokrasi, keberagaman dan perdamaian.
Salah satu contoh perhatian Gus Dur terkait masalah-masalah seperti di atas adalah ketika Gus Dur mengulas sosok Uskup Agung Helder Camara di Majalah Tempo dengan judul “Damai dalam Pertentangan” pada tanggal 21 Mei 1983.
Uskup Agung Helder Camara merupakan seorang tokoh Katolik di Brazil pada tahun 1980-an. Sosoknya dikenal sebagai “uskup merah” dan lebih akrab disapa oleh masyarakat Brazil dengan sebutan Dom Helder. Dom Helder dijuluki sebagai “uskup merah” karena keterlibatannya untuk mendorong perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan militer dalam politik Brazil yang menindas rakyat pada masa itu.
Gus Dur mengulas sosok Dom Helder ini dalam konteks ketika sang “uskup merah” itu mendapat penghargaan Niwano untuk perdamaian (Niwano Peace Prize). Penghargaan Niwano merupakan sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Perdamaian Niwano, sebuah lembaga yang berasal dari gerakan kaum Buddhis di Jepang, Risso Kosei Kai.
Bagi Gus Dur penghargaan perdamaian Niwano untuk Uskup Agung Helder Camara merupakan sebuah penghargaan yang berbeda dengan penghargaan perdamaian pada umumnya seperti pada penghargaan Nobel Perdamaian.
Pemberian hadiah Nobel Perdamaian biasanya diberikan kepada sosok yang memperjuangkan sebuah perdamaian atas konflik yang sedang terjadi di daerahnya. Biasanya konflik sosial yang dimaknai adalah konflik horizontal antar masyarakat.
Berbeda dengan penghargaan Nobel Perdamaian yang sering memberikan penghargaan karena berhasil mendamaikan sebuah konflik horizontal. Namun, penghargaan Niwano ini malah memberikan penghargaan perdamaian kepada tokoh agama yang melawan penguasa di Brazil.
Penghargaan perdamaian Niwano itu bagi Gus Dur telah memperluas makna apa yang disebut sebagai perdamaian. Perjuangan melawan penguasa yang lalim seperti yang dilakukan oleh Uskup Dom Helder di Brazil ini dianggap juga sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian.
Jika kita lihat secara sekilas, sebuah upaya perlawanan terhadap kekuasaan militer merupakan sebuah pembangkangan sosial. Namun, coba kita renungkan. Bukankah dalam kondisi sosial dan politik dimana rakyatnya ditindas penguasanya, adapun yang disebut perdamaian adalah dengan cara menghilangkan penindasan itu.
Uskup Agung Helder Camara atau yang akrab dipanggil sebagai Dom Helder ini datang untuk menemani masyarakat yang tertindas dan memantik kesadarannya supaya menumbangkan penindasan yang dilakukan oleh penguasa militernya.
Meskipun Dom Helder menggerakkan kesadaran perlawanan masyarakat Brazil kepada penguasa lalimnya. Namun, Dom Helder tidak menganjurkan sebuah perlawanan dengan cara kekerasan seperti terorisme.
Dom Helder mendorong supaya penguasa melakukan kebijakan pertanahan yang adil dengan mengusulkan land reform, di mana masyarakat yang tak memiliki tanah untuk diberikan tanah. Dom Helder juga mendorong kaum buruh perkotaan untuk menuntut haknya, bahkan kalau perlu dengan pemogokan. Tapi dengan catatan tetap pemogokan damai dan demokratis.
Berbagai upaya mendorong pembebasan kemiskinan seperti itu biasanya dilakukan oleh kaum komunis. Maka dari situ, Uskup Dom Helder ini diberikan julukan sebagai “uskup merah”.
Apa yang dilakukan oleh Dom Helder untuk memberantas kemiskinan dan menegakkan demokrasi ini harusnya menjadi sebuah inspirasi bagi kaum agama lainnya yang seringkali terjebak dengan simbol-simbol keagamaan, bukan substansi beragama seperti yang dilakukan Dom Helder.
Perjuangan perdamaian dalam makna yang lain Dom Helder inilah yang membuat Gus Dur tertarik untuk mengulasnya dalam sebuah tulisan. Permasalahan pembebasan kemiskinan juga merupakan kegelisahan Gus Dur.
Gus Dur juga prihatin dengan kondisi berislamnya sebagian kaum muslim yang hanya terjebak kedalam simbol-simbol Islam, namun tidak mempraktikkan substansi agama yang bagi Gus Dur seperti yang telah diamalkan oleh Dom Helder dari tradisi Katolik.
Demikianlah kisah ketika Gus Dur mengulas sosok Uskup Agung Helder Camara yang membela kaum miskin di Brazil. Bagi Gus Dur, perjuangan sang “uskup merah” itu juga layak disebut sebagai sebuah perjuangan perdamaian. Wallahua’lam.