KH Bahaudin Nur Salim atau yang lebih akrab dikenal luas dengan panggilan Gus Baha’ adalah ulama yang menempuh jalur pendidikan non formal, tepatnya ia dibesarkan sejak kecil di Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang asuhan wali terkenal yang baru saja wafat, Syaikhuna Maimoen Zubair.
Gus Baha’ seringkali memaparkan keilmuan-keilmuan Islam yang sebelumnya tampak njlimet menjadi mudah dicerna di telinga masyarakat awam. Di antaranya adalah bagaimana Gus Baha’ menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada pembenci.
Saya itu, kata Gus Baha’ sejak awal nikah hampir tidak pernah bertengkar dengan istri saya. Bahkan istri saya sampai berkata kepada saya, “Gus, saya itu kalau marah, mbok ya o dilawan gitu!”
Lalu saya jawab “Allah itu Maha Baik kepada saya. Kalau saya harmonis, saya ya lewat harmonis itu dengan cara saya menyenangkan anda. Kalau kamu marah, saya marah, saya tidak dapat pahala. Maka, jika kamu marah, itulah cara Allah memberikan pahala kepada saya dengan cara Cuma-cuma.
Kalau pas akur begitu, untuk mendapatkan pahala harus membahagiakan dengan cara membelikan jajanan, memberikan uang dan lain sebagainya. Itu pahala yang mahal, boros. Tapi kalau kamu marah, tanpa biaya, saya dapat pahala cukup dengan cara sabar saja.” Hal ini kalau terlatih, ndableg, berikutnya akan biasa-biasa saja.
Ulama dahulu juga demikian cara berperilakunya. Ada orang yang sangat baik kepada Imam Syafi’i, padahal orang tersebut adalah munafik. Setiap kali keluar dari perjumpaan dengan Imam Syafii, ia memaki-maki Imam Syafii. Suatu saat, beliau diberitahu, orang yang tadi memuja anda, ternyata kalau di luar, justru malah memaki-maki anda.
Bagaimana jawab Imam Syafii?. Beliau malah justru menampakkan kegembiraan yang luar biasa. Murid yang tadi melaporkan justru merasa janggal. Kenapa gurunya dilaporkan ada pembenci di luar, malah disambut gembira. “Alhamdulillaaaaah”. “Ya Syekh, kenapa anda malah bersyukur bahagia?” tanya murid.
Imam Syafi’i lalu menjawab “Berarti saya adalah orang yang berwibawa. Buktinya, orang itu beraninya mengumpatku hanya saat di belakangku, ia tidak berani memaki di depanku. Itu menunjukkan bahwa saya ini berwibawa.”
“Lho, tapi ‘kan hal itu membahayakan anda?”
Jawab Sang Imam “Dzâka Allah, yang mengkritik bahaya itu hanya Allah. Yang lainnya tidak berbahaya. Karena orang itu makhluk, dhaif, tidak penting.”
Jadi kalau ada orang dikritik orang lalu merasa pengkritik itu penting, berarti orang itu bodoh sebodoh-bodohnya orang. Coba saya yang mengkritik itu kita statuskan sebagai makhluk dhaif, krkitiknya tidak penting, selesai kan. Makanya tidak jadi wali itu problem. Hanya wali saja yang hidupnya lâ khaufun alaihim wa lâ hum yahzanûn. Makanya saya tidak ingin kalau tidak jadi wali. Orang dahulu, semudah demikian menjalankan hidup. Gampang sekali.
Sayyid Ja’far Shadiq, dalam manaqibnya, kalau ada orang memaki dia, malah dia kirimi hadiah. “Kenapa?”. “Karena kebaikan kamu telah kamu berikan kepada saya, maka ini saya beri hadiah.” Sampai yang mengkritik itu menjadi malu.
Yang menjadi masalah adalah saat kita melabelkan nama bahwa pembenci itu bahaya. Coba saya dirubah memakai hukumnya Allah dan Rasulnya bahwa pembenci itu pemberi kebaikan. Istri marah adalah pemberi kebaikan. Ada yang berani mempraktekkan?
Hal ini perlu dilatih terus, katanya. Rasulullah kalau mengajarkan hidup itu sangat gampang. Beliau mengajarkan doa kepada kita:
وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Artinya: “Ya Allah, semoga Engkau jadikan kehidupanku sebagai penambah bekal kebaikan kepadaku. Dan semoga Engkau jadikan kematianku sebagai peristirahatan dari segala potensi keburukan-keburukanku.” (HR Muslim)
Anda sekarang tidak zina, tapi mempunyai potensi zina. Anda sekarang tidak korupsi tapi mempunyai potensi korupsi. Anda sekarang tidak selingkuh tapi mempunyai potensi selingkuh. Anggap saja kalau meninggal, anda akan selamat dari potensi itu