Beredarnya video tiga emak-emak di Karawang yang mengatakan bahwa jika Jokowi jadi maka azan dilarang dan pernikahan sesama jenis dilegalkan menuai banyak reaksi dari masyarakat. Sebagian besar menyayangkan ketiga relawan politik tersebut karena apa yang diucapkan tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Alih-alih merupakan wujud kekhawatiran, pernyataan tersebut lebih tepat disebut sebagai fitnah. Beberapa kalangan kemudian mengaitkannya dengan atribut pakaian yang digunakan.
“Berjilbab kok tukang fitnah?”
“Tidak mencerminkan bahwa ia seorang yang salehah sejati”
“Jilbab sebagai bungkus”
Masih ada beberapa suara sumbang lainnya yang beredar di kolom komentar video tersebut, baik di media online atau instagram. Lah, apa hubungannya jilbab dengan kesalehan seseorang? Pertanyaan ini mengusik benak saya karena orang dengan mudah mengatakan setiap yang berjilbab pasti salehah. Karenanya, setiap peristiwa yang melibatkan perempuan berjilbab selalu dikaitkan dengan pengkhianatan pada nilai-nilai agama. Kondisi ini membuat orang menjadi apatis terhadap atribut yang identik dengan simbol keagamaan.
Saya termasuk pihak yang menyayangkan aksi emak-emak tersebut. Bagaimana mungkin proses politik membuat masyarakat kita sulit untuk berpikir waras? Apalagi orang yang sedang bertarung adalah saudara sesama Islam, sesama orang Indonesia, dan sesama manusia yang ingin mengabdi kepada Tuhan dengan cara mengabdi pada sesama. Lalu bagaimana mungkin kita mendorong kemajuan dengan landasan fitnah yang keji?
Akan tetapi penghakiman pada atribut bukanlah sikap yang arif. Hal ini sama saja menyebut setiap perempuan bercadar adalah radikal, atau setiap perempuan tak berjilbab adalah tidak taat. Bagaimana mungkin atribut bisa menghukumi keagamaan seseorang?
Atribut adalah sesuatu yang sangat profan. Sementara nilai-nilai universal agama adalah sakral. Terkait dengan perempuan, atribut seperti jilbab, cadar, dan lainnya adalah sesuatu yang sudah diperdebatkan selama beratus-ratus tahun lamanya. Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Quraish Shihab berjudul “Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah” (2004) misalnya, makna aurat berbeda dari ulama satu dan lainnya.
Ada yang berpendapat aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ada yang mengatakan bahwa hanya kedua bola mata saja yang boleh diperlihatkan. Namun ada pendapat yang lebih lentur, yang mengatakan aurat adalah norma sosial yang ada di satu wilayah. Karenanya bisa jadi aurat antar satu daerah dengan lainnya berbeda-beda.
Pendapat manapun yang diambil harus dihormati karena semuanya memiliki landasan dalil masing-masing. Sayangnya, masyarakat kita saat ini begitu bersemangat menjadi hakim jalanan yang bisa menghukumi seseorang hanya karena model berpakaiannya.
Jilbab bukanlah indikator utama untuk mengatakan bahwa seorang perempuan itu salehah atau tidak. Sebab saat ini jilbab bukan hanya merupakan bentuk ketaatan beragama, tetapi lebih pada tren yang berkembang, khususnya dalam satu dekade terakhir. Jilbab berubah dari yang awalnya merupakan nilai sakral menjadi nilai profan yang terkait erat dengan komodifikasi agama. Jilbab dan atribut “Islam” lainnya bukan lagi dilihat sebagai sebuah kewajiban agama, melainkan bisnis yang mendatangkan rupiah.
Pandangan ini tentu tidak bisa digeneralisir karena harus diakui masih banyak golongan yang menempatkan jilbab sebagai ketaatan beragama (sakral). Namun mengidentikkan jilbab dengan kesalehan dan mengaitkan hal buruk yang diperbuat perempuan berjilbab dengan pakaiannya adalah sesuatu yang salah kaprah. Jilbab bukan ukuran kesalehan yang otomatis membuat penggunanya terhindar dari perbuatan tercela.
Eka Kurniawan dalam artikelnya di New York Times menyoroti pergeseran budaya di Indonesia ini di mana tahun 1990-an sangat sulit menemukan perempuan berjilbab. Selain belum menjadi tren, penggunaan jilbab di ruang publik seperti lembaga pendidikan dilarang oleh Orde Baru. Sementara hari ini keadaannya berbalik. Di kampus Kristen sekalipun akan sangat mudah menjumpai perempuan berjilbab.
Kasus emak-emak tersebut semestinya bisa menyadarkan kita bahwa agama itu perkara substansial, bukan bungkus. Wallahua’lam.