Kisah Eks Terpidana Teroris yang Menjadi Jihadis Literasi

Kisah Eks Terpidana Teroris yang Menjadi Jihadis Literasi

Kisah Eks Terpidana Teroris yang Menjadi Jihadis Literasi

Pegiat literasi itu bernama Rahman, seorang eks terpidana terorisme yang telah memugar makna “Jihad”. Awalnya Rahman mengklaim bahwa jihad itu adalah mutlak “perang”. Belakangan, ia menyadari bahwa ada makna jihad yang lebih elegan dan kekinian, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sewaktu Rahman masih berada di rumah tahanan, istrinya menganggit sebuah rumah baca bernama Rudalku, akronim dari Rumah Daulat Buku. Kini, Rudalku menjadi tempat berkumpul anak-anak setempat, bilangan Tasikmalaya. Biasanya, mereka membaca buku yang tersedia di sana selepas belajar mengaji kepada Rahman dan Istrinya.

“Kalau mereka meminjam, saya catat,” ujar Rahman.

Bagi Rahman, rumah baca ini merupakan jalan ninja dalam menebus khilafnya di masa lalu. Persinggungan Rahman dengan kelompok garis keras bermula dari semangat keagamaan yang membuncah. Titik baliknya adalah ketika istrinya melahirkan putri pertama, medio 2005. Waktu itu, Rahman dan istrinya telah bermukim di Cirebon.

Di tempat rantau, ia mengikuti kajian keagamaan di sejumlah tempat secara acak, hingga akhirnya merasa cocok mengaji di Masjid As-Syafii, Pekarungan, Kota Cirebon, yang diisi oleh Profesor Salim Bajri. Di masjid tersebut, Rahman cukup rajin mengikuti kajian keagamaan dalam durasi lebih dari satu lustrum.

Pasca peristiwa bom Cirebon pada 2011, aktivitas gerakan keagamaan di mengendur. Sejurus kemudian, dalam sebuah pengajian di Masjid As-Syafii muncul gagasan untuk mendirikan gerakan yang dinamai Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas). Rahman pun bergabung. Gapas diketuai oleh Andi Mulya atas penunjukan Profesor Salim Bajri. Sejak itu, gerakan nahi mungkar mulai gencar.

Kehadiran Gapas disambut baik oleh sejumlah kelompok.

“Front Pembela Islam (FPI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) juga ikut bergabung,” kata Rahman.

Pada pertengahan 2013, Gapas melebur dalam Aliansi Masyarakat Nahi Mungkar (Al-Manar). Di dalamnya berkumpul jejaring Ormas yang lebih luas tetapi masih satu frekuensi, seperti FPI, Gerakan Islam Reformis (Garis), JAT, Garda Akidah (Gardah), dan tentu saja Gapas.

Motif penggerak Al-Manar adalah segala bentuk heroisme yang mereka yakini sebagai nahi munkar. Ketika ada masyarakat yang melapor bahwa ada yang menjual barang haram, Al-Manar bergerak. Mula-mula ada tim yang bertugas melakukan survei. Setelah fakta di lapangan diketahui benar adanya, mereka langsung melakukan penggerebekan. Resonansi kegiatan tersebut tak hanya berlaku di Cirebon, tapi juga menjangkau daerah Kuningan dan Majelengka.

Sejak aktif di Al-Manar, Rahman mengaku semakin dekat dengan kelompok JAT. Amalan sunnah yang dilakukan kelompok JAT membuat dia semakin simpatik hingga memutuskan bergabung.

“Rajin bersiwak, kemana pun pergi membawa dan menghapal Al-Quran. Sejak masuk JAT, saya mulai menghapal al-Quran,” kisah Rahman.

“Ada amalan harian dari Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sementara di Gapas hal seperti itu tidak ada. Sejak itu, saya keluar dari Gapas lalu bergabung ke JAT. Di JAT ada dauroh, pengajian, yang dilakukan setiap satu bulan sekali di Tasikmalaya, terkadang pindah ke Ciamis,” lanjutnya.

Di Tasikmalaya, destinasi Rahman terkonsentrasi ke Masjid As-Salam. Di pengajian itulah Rahman bertemu dengan Reza Nurjamil, sosok yang kelak sama-sama bertugas menyeberangkan kombatan ke Marawi, Filipina. Meski begitu, tidak setiap ada dauroh, ia akan datang. Dari sekira 40 orang ikhwan asal Cirebon, hanya 20 hingga 25 orang yang merapat ke pengajian.

Dari JAT, Rahman mulai akrab dan bahkan mempelajari buku Tadzkirah karya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang ditulis bersama Aman Abdurrahman.

“Inti ajarannya adalah mengingkari thogut dan iman kepada Allah,” ujar Rahman.

Rahman mengaku bilamana ia pada awalnya sempat berpikir kritis terhadap isi Tadzkirah. Tapi, dia merasa tidak kuasa untuk menepis kesangsiannya. Menurut Rahman, ini disebabkan oleh solidnya ikatan persaudaraan di lingkaran JAT. Suasana inilah yang kemudian membuat dia bertahan di JAT.

Untuk diketahui, JAT didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir pada 2008, kemudian pada 2014 berubah menjadi Jamaah Ansharud Daulah (JAD) seturut baiat Abu Bakar Ba’asyir—yang saat itu sedang menjalani vonis—kepada pemimpin Islamic State in Irak and Syiria (ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi pada bulan Ramadhan di tahun 2014. JAD kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli 2018.

Anggota JAT yang tidak berbaiat kepada ISIS kemudian membentuk organisasi baru bernama Jamaah Anshorus Syari’ah (JAS) yang dipelopori oleh Ustadz Muhammad Achwan. Deklarasinya dilakukan di Singaparna, Tasikmalaya, pada bulan Syawwal tahun 2014.

Ustadz Muhammad Achwan menyampaikan bahwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir membebaskan anggota JAT untuk ikut berbaiat kepada ISIS atau membuat tanzim (organisasi) baru. Berbekal pernyataan itu, kata Rahman, semua anggota JAT memilih bergabung ke JAS. Rahman pun mengikuti kegiatan JAS di daerah Cirebon.

Menyeberangkan Kombatan

Sewaktu Rahman menjadi anggota JAS, dua temannya diketahui merupakan pendukung ISIS yang bermukim tak jauh dari rumahnya. Namanya adalah Rizal dan Yadi. Keduanya acapkali menemui Rahman dan memperlihatkan video perkembangan ISIS.

“Ini negara khilafah sudah ada, akhi. Nunggu apa lagi kita di sini?” kata Rizal, dikutip Rahman.

Tiga bulan berdiri, aktivitas JAS pun meredup. Sementara aktivitas ISIS makin garang, kegiatan JAS seperti i’dad asykary (persiapan militer) jihad justru tidak ada lagi. Akhirnya, Rahman keluar dari JAS, lalu bergabung ke JAD yang berafiliasi dengan ISIS.

“Saya gabung dengan ISIS di Cirebon. Di sini ada kajian ISIS juga satu bulan sekali. Yang mengisi adalah Ustadz Junaidi. Penggagas berdirinya ISIS di Cirebon adalah Ustadz Lukman alias Abu Abdillah asal Tegal, murid Aman Abdurrahman,” tutur Rahman.

Sebagai informasi, Lukman diduga sudah meninggal di Suriah, sedangkan Aman Abdurrahman sendiri divonis mati pada Juni 2018 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Afiliasi JAD ke ISIS melengkapi struktur organisasi yang menghendaki kehilafahan dunia. Rahman menjelaskan struktur ISIS dimulai dari pimpinan tertinggi yaitu Abdurrahman al-Baghdadi di Syam;  kemudian Abu Abdillah (nama julukannya sama dengan Lukman, tapi orang yang berbeda) di Filipina sebagai pimpinan untuk kawasan Asia Tenggara; dan di Indonesia dipimpin oleh Aman Abdurrahman. Di Jawa Barat, pimpinan ISIS dipegang oleh Khoirul Anam asal Subang, sedangkan  di Cirebon dipimpin oleh Agung Firmansyah alias Agung Brownis. Rahman sendiri merupakan anggota biasa bersama sekiranya 70 orang ikhwan lain asal Cirebon.

Saat di JAD, Rahman mengkau bahwa nalar kritisnya telah lumpuh total. Bahkan, dia sempat berada di fase “merasa paling benar” dan berkeinginan kuat ingin ke Suriah, apalagi ketika mendengar kabar bahwa Rizal dan Yadi telah mendarat di Suriah.

“Ana ingin sekali, akhi, tapi uangnya dari mana? Kalau bisa, antum bisa kirim uang untuk ana berangkat ke sana,” kenang Rahman saat merajuk dua sahabatnya waktu itu.

Motivasi Rahman agar segera berkemas dan tancap gas ke negara yang berada dalam kendali ISIS adalah angan-angan penegakkan syariat Islam. Ia berpikir, “seekor ikan harus tinggal di air, bukan di darat. Seorang muslim harus tinggal di negara Islam.”

Maka, sepanjang 2014 hingga 2017, bersama JAD Cirebon, Rahman mengikuti i’dad atau persiapan militer dengan berlatih renang, naik gunung, pergi ke hutan, perang-perangan, dan berlatih menembak dengan senapan angin. Ia mengaku tidak berlatih membuat bom.

Sambil menunggu kecukupan ongkos berangkat ke wilayah kekuasaan ISIS, Rahman berkegiatan menghimpun infak dan melakukan kajian.  Walhasil, pada 2017 dia mendapat tawaran dari amir (ketua) JAD Cirebon Agung Brownies.

Antum dibiayai untuk berangkat ke Marawi, Filipina, bukan ke Suriah. Ini sama saja, kok,” bujuk Agung Brownies kepada Rahman.

Hanya saja, sebelum ke Marawi, Rahman musti menuntaskan satu misi penting terlebih dahulu. Bersama Reza Nurjamil, Rahman mendapat tugas membantu penyeberangan orang dari Indonesia ke Filipina melalui Kalimantan-Malaysia.

“Saya ditugaskan di Tarakan, Reza di Sebatik, Nunukan. Saya mengantar ke Reza. Reza mengantar ke Sabah, Malaysia. Jadi skemanya itu estafet. Dari Sabah, Malaysia, ada lagi yang mengantarkan ke Filipina. Ada tiga pos,” terang Rahman.

Dari Malaysia ke Filipina, lanjutnya, ada orang lain lagi bernama Taufik yang akan mengantar ‘paket’ . Jalur penyeberangan tersebut mula-mula dirintis oleh Suryadi Mas’ud alias Abu Ridha—sosok yang, kelak, berjumpa dengan Rahman di LP Besi, Nusakambangan.

Secara sukarela, Rahman menerima tugas itu karena berkeyakinan bahwa ia bakal mendapatkan pahala jihad yang setara dengan pahala para ikhwan yang merapat bersama pasukan Daulah Islamiyah di Kota Marawi, Filipina.

Ditangkap di Masjid Kasepuhan

Selama bertugas, Rahman berhasil menyeberangkan empat orang kombatan. Tapi siapa sangka bahwa mengantar orang keempat itu adalah job terakhir Rahman dalam karir perkhilafahan.

Ya, setelah mengantar orang keempat, ia pulang ke Cirebon. Hanya saja, saat Rahman hendak kembali lagi ke Kalimantan, Reza menelepon. Pesannya sederhana: jangan ke mari dulu! Reza menyibak bahwa situasinya sedang tidak aman.

“Tak lama setelah itu, ada ikhwan yang memberi tahu bahwa Reza pun tertanggap. Dan sejak itu saya menyandang status sebagai buron,” kata Rahman.

Selama buron, ia pergi ke Tasik, ke rumah ibunya dan beberapa tempat lain. Merasa gelisah dalam pelarian, Rahman pun pasrah.

“Kalau tertangkap tidak apa-apa,” ujar Rahman.

Alhasil, ia kembali ke Cirebon dan ditangkap pada Desember 2017, selepas shalat Jum’at di masjid Kasepuhan, Lawang Sanga, Kota Cirebon. Sementara rumahnya digeledah, Rahman dibawa ke Mako Brimob. Para tetangga yang mengetahui peristiwa itu bersimpati kepada istri dan anak-anaknya.

Selama menjalani persidangan, Rahman mendiami sedikitnya tiga rutan, yaitu Mako Brimob, rutan Gunung Sindur, dan sempat pula di Nusakambangan. Musabab safari rutan itu karena beragam alasan.

Sewaktu masa tahanan Rahman memasuki bulan keempat di rutan Mako Brimob, terjadi kerusuhan. Pasca kerusuhan, semua tahanan terorisme kemudian dipindah ke Nusakambangan. Satu bulan di Nusakambangan, ada kebijakan baru yang menyebut jika semua tahanan yang sedang sidang akan pindah ke Gunung Sindur, sementara yang telah divonis tetap di Nusakambangan. Setelah sidang selesai, mereka kembali lagi ke Nusakambangan.

Saat di Gunung Sindur, Rahman mengaku sempat lumpuh, tak bisa berjalan karena ditempatkan di sel tikus (selti) berukuran sekira 100 x 180cm dengan tembok yang tebal.

“Tak ada sinar matahari, tak ada sirkulasi udara,” cerita Rahman.

Setelah empat bulan mendiami di sel, ia dipindahkan ke ruangan yang agak besar. Tiga bulan mengalami kelumpuhan, Rahman mengenang sempat harus digotong saat menuju ruang sidang. Sepengetahuan Rahman, dari 150 penghuni rutan Gunung Sindur, 90 orang di antaranya pernah (dibiarkan) lumpuh fisik.

Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutus bersalah dan menjatuhkan vonis 3 tahun 6 bulan pada 19 September 2018, Rahman tidak mengajukan banding. Ia pun ditahan di Nusakambangan. Di NK, demikian Rahman menyingkat, secara fisik dan mental ia merasa lebih baik.

“Secara mental saya mulai membaik, karena bisa membaca buku. Selama di Sindur, 1 x 24 jam hanya tiga kali bertemu sipir yang memberi nasi cadong,” kenangnya.

Titik Balik

Di Nusakambangan, Rahman menghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Besi, tempat untuk para terpidana terorisme yang, menurut cerita Rahman, tidak mengakui NKRI. Adapun terpidana yang telah mengakui konsep NKRI, mereka akan pindah ke LP Permisan.

Sebagai informasi, selain LP Besi dan LP Permisan, di Nusakambangan ada tujuh LP lainnya, yaitu: LP Batu, LP Kembang Kuning, LP Pasir Putih, LP Karanganyar, dan LP Narkotika, LP Terbuka Nusakambangan, dan LP Cilacap.

“Bagi terpidana terorisme, LP Besi adalah tempat penyaringan. Jika bersedia mengakui NKRI, turun ke LP tingkat medium, yakni LP Kembang Kuning atau LP Permisan,”  terang Rahman.

“LP yang paling keras itu LP Batu. Kalau ada terpidana yang bermasalah di LP Besi, dipindahkan ke LP Batu,” ujar Rahman. “Terpidana yang menghuni LP Besi biasanya paling lama tiga bulan. Setelah itu, jika menerima NKRI, turun ke Kembang Kuning atau Permisan. Ada juga ikhwan yang bolak-balik besi-kembang kuning,” lanjutnya.

Saat mendekam di LP Besi, Rahman mengaku pernah mendapat tawaran agar mengakui NKRI.  Dia menolak karena masih keukeuh dengan pendirian bahwa NKRI adalah thoghut yang harus dijauhi. Tapi ini tidak berlangsung lama. Titik baliknya adalah ketika Rahman mendapati sebuah buku yang mewedarkan tentang sirah sahabat Nabi. Maka, dia membaca buku itu dengan seksama, setiap hari. Dari kisah Salman Al-Farisi, Rahman kemudian tersadar dari mimpi buruk.

Bersambung di sini