Ketika santri kami diberitahu bahwa besok mereka akan hidup selama 3 hari di tempat konservasi yang notabene asing bagi mereka, ada yang tampak bersemangat karena akan menemukan hal baru, dan di antara mereka pula tampak satu kekhawatiran yang lucu: mereka sama sekali tidak ada bayangan akan melakukan apa dan hidup dengan cara apa disana. Perasaan was-was yang hanya bisa dijawab dengan satu jawaban: hadapi saja!
Kegiatan Live in menjadi agenda rutin di pesantren kami, setiap menjelang liburan kenaikan kelas, anak-anak kelas X akan ditempatkan di tempat-tempat konservasi. Kali ini santri dibagi menjadi tiga kelompok; kelompok konservasi Penyu di Pantai Pelangi bantul, Kelompok Konservasi Anggrek Pak Musimin di lembah Turgo, dan Kelompok Konservasi Burung Hantu Sahabat Petani di dusun Cancangan, Sleman.
Tempat-tempat ini dipilih dengan tujuan mengenalkan santri dengan praktik keseharian seorang konservator; apa yang menjadi keyakinan mereka dan bagaimana itu diejawantahkan dalam praktik keseharian.
Santri yang belajar di konservasi Penyu didampingi oleh Pak Sarwidi, seorang konservator penyu. Dengan peralatan dan dana seadanya, ia menyelamatkan penyu-penyu yang terancam punah.
Sebagai orang pesisir ia menyaksinan sendiri, bagaimana penyu-penyu ini diambil telurnya, juga dibunuh oleh masyarakat pesisir sebagai satu sumber pencaharian, ia ia sebab ia dulu juga bagiannya. Dengan satu momen, ia berbalik untuk melindunginya.
Selain membuat penangkaran, hampri tiap malam ketika musim bertelur ia dan relawan yang membantu menyusuri bibir pantai deretan depon dan parang tritis untuk mencari telur penyu: untuk ditangkarkan. Santri-santri yang hidup bersama pak sarwidi diajak untuk merawat tempat penangkaran juga berjalan berkilo meter menyusuri pantai untuk mengamankan telur penyu.
Selain itu, mereka juga diajak untuk membersihkan pantai dari sampah-sampah yang berserakan. Keterlibatan santri dalam aktivitas ini membangun kesadaran santri tentang perlunya menjaga ekosistem pantai untuk kelangsungan hidup penyu.
Kelompok Konservasi Anggrek punya cerita yang berbeda. Mereka melihat keseharian seorang Pak Musimin, seorang laki-laki lulusan SD yang banyak dirujuk banyak akademisi karena ketekunannya melestarikan ratusan anggrek di rumahnya, terkhusus, jenis anggrek lokal merapi.
Kepada Pak Musimin anak-anak belajar tentang ketekunan. Juga tentang perpektif komersialisasi dan konservasi dalam dunia budidaya. Anak-anak belajar untuk membedakan bahwa tanaman anggrek itu tidak sebagai komoditas yang diperjual belikan, tapi diadopsi. Artinya, tidak dibawa pulang; mereka membayarkan sejumlah rupiah untuk merawat anggrek di hutan, bukan membawanya pulang ke rumah. Mencabut anggrek dari habitat aslinya.
Pelajaran konservasi juga didapat anak-anak yang tinggal bersama Pak Lim Wen Sin. Pak Lim melakukan konservasi burung hantu dengan tujuan untuk membantu petani membasmi hama tikus yang menyerang tanaman.
Alih-alih menggunakan racun tikus, pak lim mengajari anak-anak untuk memanfaatkan sistem alam untuk mengurangi populasi tikus. Anak-anak diajak untuk merawat burung hantu, membersihkan kandang, hingga melakukan penangkapan ular di wilayah warga untuk dilepas kembali ke habitat asal.
Ketika hari penjemputan, saya terkejut ketika anak-anak menyambut saya dengan menyajikan 3 buah gelas minuman yang asing di mata saya.
Ketika saya dekati, ternyata minuman ini berbahan dasar dari bunga dan daun di sekitar kita. Bunga yang selama ini saya anggap sebagai hiasan saja, ternyata punya manfaat lain.
“ini bunga untuk meredakan panas dalam”, “ini bunga untuk ….” Terang anak-anak kepada saya.
Tak lupa, mereka juga selipkan cerita-cerita horor yang membersamai malam mereka. Cerita-cerita yang semakin membuatku tertawa lebar karena membayangakn wajah cemas mereka.
Memang sih, mereka tingga di sebuah joglo di bawah pohon tua nan besar. Semakin menegaskan cerita-cerita horor ini.
Sepulang dari acara live in ini, ramai sekali mereka bertukar cerita tentang aktivitas-aktivitas selama bersama induk semang. Mereka ceritakan itu dengan bahagia dan diselingi tertawa; Bagaimana mereka harus makan seadanya, tidur seadanya, hingga sejenak melambatkan waktu tuk menikmati aktivitas yang jauh berbeda dengan keseharian mereka sebagai santri.
Belajar memang bukan semata urusan durasi, tapi juga keberanian diri untuk melewati tempurung yang membatasi.