Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 1)

Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 1)

Selepas wafatnya Rasulullah, Bilal tidak mau lagi menjadi muadzin. Ia selalu menangis dan teringat nabi saat adzan. Kini, warga Madinah meminta ia kembali.

Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 1)

Jauh dari kota Madinah, tepatnya di Syam, tampak tiga orang sedang berkumpul. Dua orang sedang terlibat pembicaraan serius. Salah seorang di antara mereka berkulit hitam legam dan kekar. Yang satunya lagi berkulit putih bersih dan juga kekar. Seorang berkulit putih lainnya hanya diam mengikuti pembicaraan.

“Para penduduk Madinah menginginkanmu untuk melakukannya, Bilal,” ujar seorang lelaki putih berbadan kekar dan tampak berwibawa, yang tak lain adalah Sayyiduna Umar bin Khattab.

Bilal, lelaki hitam bertubuh kekar itu tertegun setelah mendengarkan pernyataan Khalifah kedua pengganti Rasulullah SAW tersebut. “Aku tak bisa, Umar. Aku tak akan mampu melakukannya lagi,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Sayyidana Umar diam sejenak. Ia sungguh mengerti mengapa Bilal mengatakan hal tersebut dan menolak ajakannya. Seorang lelaki putih bersamanya, Aslam al-Qursy juga tahu mengapa Bilal bersikap seperti itu.

“Tapi, ummat muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal. Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan. Mereka rindu suaramu. Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” Bukan Sayyiduna Umar namanya bila ia patah semangat. Ia terus membujuk bekas budak yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar

Bilal menatap wajah Sayyidana Umar, ia menangkap betapa khalifah kedua tersebut benar-benar berkata dengan serius. Betapa jauh jarak yang ditempuh oleh pemimpin umat itu dari Madinah ke tempat tinggalnya sekarang, hanya demi menyampaikan permintaan para penduduk kota agar dirinya mengumandangkan adzan kembali di kota suci tersebut.

Mata Bilal semakin berkaca-kaca. Terlintas di benaknya beberapa tahun silam saat ia meminta izin kepada khalifah pertama, Sayyidana Abu Bakar untuk tidak mengumandangkan adzan lagi dan pamit pergi dari kota Madinah. Terlintas di hatinya betapa alasan yang membuatnya melakukan hal tersebut hanyalah karena perasaan rindu. Rindu pada Rasulullah SAW yang tidak akan pernah kembali hidup bersamanya.

Pikiran dan perasaan Bilal terseret jauh ke belakang, jauh ke masa-masa indahnya dulu, saat-saat Nabi Muhammad SAW hadir dalam kesehariannya, menjadi imam setelah ia mengumandangkan adzan. Ah, iya, bukankah Nabi pula yang menyuruhnya pertama kali melakukan hal tersebut saat masjid Nabawi rampung dibangun? Bukankah Rasulullah SAW yang memintanya naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan saat fathil Makkah?

Lebih jauh lagi, bukankah dirinyalah yang mengumandangkan adzan setiap saat waktu salat tiba, sehingga ia dijuluki sebagai “muadzin Rasul”?  Selama Nabi SAW hidup, posisinya sama sekali tak tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu pun orang yang keberatan atas posisinya itu.

Hati Bilal berdesir menambah kerinduan. Ia ingat betul saat Nabi Muhammad SAW berkata padanya, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat!”. Ia juga teringat saat Nabi SAW berkata padanya, “Bilal, amal apakah yang kaukerjakan? Aku mendengar suara terompahmu di surga”.

Ia juga sangat ingat bahwa setiap waktu salat tiba, ia akan mengumandangkan adzan, lantas ia akan berdiri di depan tabir kamar Nabi SAW dan berseru, “Ya Rasulullah, marilah kita salat, marilah kita salat!” Setelah itu, ia kembali ke dalam masjid dan menunggu Nabi SAW keluar dari kamarnya. Bila Nabi SAW keluar, maka Bilal segera mengumandangkan iqomah.

Kemudian Bilal teringat hari terakhir ia mendatangi Nabi SAW Pagi itu, salat Subuh akan segera dilaksanakan. Ia pun mendatangi kamar Nabi SAW.

“Ya Rasulallah, marilah kita salat, marilah kita salat!”, ujarnya.

Tak berselang lama kemudian, Nabi SAW menjawab, “Suruhlah Abu Bakar menjadi imam dan dirikanlah salat!”

Bilal segera melaksanakan perintah terakhir Nabi kepadanya. Ia cepat kembali ke masjid dan menemui Abu Bakar, lantas menyampaikan perintah Nabi padanya. Maka, Abu Bakar maju ke depan mengimami salat.

Selang beberapa waktu kemudian, Nabi keluar dari kamarnya dipapah dua orang. Beliau berjalan mendekati Sayyidana Abu Bakar yang sedang mengimami salat. Melihat kedatangan Nabi, Abu Bakar lantas berjalan mundur sedikit demi sedikit.

Ia mempersilahkan Nabi untuk mengimami salat. Akhirnya, Nabi SAW pun duduk di sampingnya dan mengimami salat. Sayyiduna Abu Bakar mengeraskan takbir. (Bersambung)

Sumber bacaan: Sahih Bukhari, Fathul Bari, Siyar A’lam an-Nubala, Mu’jam ash-Shahabah lil baghawi, Tadzhibut Tahdzib lidz-Dzahabi

Faris Maulana Akbar adalah mahasantri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.