Ada sebuah kisah penting yang patut direnungkan oleh kebanyakan kita hari ini. Kisah ini bercerita ihwal pentingnya sungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Yang jelas catatan kisah ini ada dalam Al Fawaid al Mukhtaroh Lisaliki Thariqi al Akhiroh, karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, tepatnya pada bab Ijtihad al-Ulama’ fi Talabi al-Ilmi –kesungguhan ulama dalam mencari ilmu.
Alkisah, ada seorang laki-laki Jawa yang merantau untuk menuntut ilmu di sebuah ribath –pesantren– yang letaknya ada di daerah Seiwun, Yaman. Di ribath, laki-laki itu belajar kepada Habib Ali al-Habsyi. Usut punya usut ternyata santri laki-laki ini adalah santri yang pemalas, sementara itu bapakya di rumah –di Jawa– mengira si santri tadi itu sungguh-sungguh belajarnya. Sang bapak berharap kelak anaknya akan menjadi ulama.
Sang bapak yang ingin sekali anaknya menjadi ulama itu, tak pelak selalu menggelontorkan kebutuhan finansial untuk anaknya itu. Tak main-main sang bapak sangat menomorsatukan masalah finansial anaknya, bahkan bisa dibilang finansial anaknya saat di Seiwun lebih dari cukup atau lebih-lebih.
Sang bapak mengira, anaknya ketika di Seiwun sudah melalap habis kitab-kitab pelajaran yang ada di sana. Bahkan dalam kisah itu sang bapak mengira anaknya sudah menghatamkan kitab al-Kawakib, Qatrunnada, al-Fiyah –nama-nama kitab gramatika Arab. Namun sayang seribu sayang, gelontoran dana dari sang bapak hanya dipakai untuk kebutuhan makan dan minum saja. Sang anak lalai akan studinya.
Singkat cerita, lima tahun telah berlalu. Sang anak pun kembali ke Jawa. Sang bapak begitu gembira akan kedatangan putra kebanggaannya itu. Demi menyambut putranya itu sang bapak mengundang para tetangganya untuk menyambut dan mendoakan. Meriah sekali intinya.
Para tamu undangan pun meminta sang putra untuk menceritakan penglamannya belajar di Seiwun, namun sang putra tak mampu bercerita. Lalu seseorang dari undangan ada yang menanyakan ihwal suatu perkara kepada sang putra, namun ia kembali tak tahu dan tak dapat menjawabnya.
Sejak peristiwa itu terjadi, akhirnya sang bapak tahu bahwa si anak tak bisa apa-apa. Sang bapak malu, kecewa , dan sedih. Kesedihan sang bapak akhirnya menyebabkan sang bapak jatuh sakit. Dan akhirnya sang bapak meninggal dunia. Menyedihkan sekali.
Terlepas dari ada tidaknya kisah ini, yang jelas catatan ini ada pada kitab Al Fawaid al Mukhtaroh Lisaliki Thariqi al Akhiroh, karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith. Ahmad Khalafallah pernah menyatakan dalam disertasinya yang bercerita ihwal studi al-Fann al-Qasas (genre sastra kisah/naratologi), bahwa kisah-kisah tercipta untuk mendorong, menemani, menghibur, mengingatkan, memprediksi, membuka harapan, dan mengarahkan ke arah tatanan sosial yang lebih baik.
Dari sini kita belajar, bahwa pendidikan bukan ihwal jarak yang jauh, dan juga bukan ihwal finansial yang tercukupi. Ini soal kesungguhan dan amanh orang tua. (AN)
Wallahu A’lam.