Siapa yang tidak kenal dengan Ali bin Abi Thalib. Anak bungsu Abu Thalib, buah pernikahannya dengan Fathimah binti Asad yang juga menantu idaman Rasulullah SAW., dengan putrinya, Fathimah yang kala itu masih berumur 15 tahun. Dari pernikhannya dengan Fathimah, Ali dikaruniai dikarunia 5 orang anak, al-Hasan, al-Husain, Muhasin (yang meninggal saat masih bayi), Zainab al-Kubra, dan Ummu Kultsum al-Kubra yang kemudian diperistri Umar bin Al-Khattab.
Nama kecil Ali adalah Asad. Dia adalah anak bungsu dari 6 bersaudara, yakni Thalib yang meninggal dalam keadaan musyrik setelah terjadinya perang Badar, Aqil yang masuk Islam pada saat penaklukan Mekkah (ada yang mengatakan setelah perjanjian Hudaibiyyah), Ja’far sahabat yang termasuk paling dini masuk Islam, Fakhitah atau yang dikenal dengan nama Ummu Hani’, istri Hubairah bin Amr dan Jumanah, istri Abu Sufyan bin al-Harits.
Sebagai seorang sahabat, generasi terbaik setelah Nabi, bukan lantas Ali terbebas dari cobaan hidup. Beberapa kali Ali harus berhadapan dengan musuh-musuhnya, meski terkadang hanya sebatas ingin menguji kesabaran, kepasrahan, kebaikan, ketabahan dan kebesarannya.
Dalam kitab Bughyat al-Thalab fi Tarikh Halb, Kamaluddin bin Al-Adim mengutip sebuah riwayat dari Abdullah bin Abbas, yang bercerita bahwa pernah ada seorang laki-laki mengadukan Ali bin Abi Thalib kepada Umar bin Al-Khatthab, orang satu se-Madinah kala itu. Waktu itu, Ali sedang berada bersama Umar, lalu Umar menoleh dan berkata kepada Ali, ‘Wahai Abu Hasan (nama panggilan Ali), duduklah sejajar dengan pihak penggugatmu!.’
Ali pun berdiri dan duduk bersebelahan dengan orang tersebut, lalu terjadilah debat di antara mereka berdua, sampai kemudian Umar menetapkan keputusan hukum (untuk mereka). Selesai Umar menetapkan keputusannya, wajah Ali terlihat merah, maka Umar bertanya kepada Ali, ‘Wahai Abu Al-Hasan, engkau marah karena aku mengatakan, ‘Duduklah sejajar dengan lawanmu (penggugat)?.’
Ali menjawab, ‘Bukan karena itu. Aku marah karena engkau memuliakanku dengan memanggil julukanku (Abu Al-Hasan) di hadapan lawanku. Posisikanlah sama aku dengan dia.’ Umar segera berdiri dan mencium kening Ali lalu berdoa, ‘Semoga karena kalian Allah memberikan hidayah kepada kita dan semoga karena kalian Allah membebaskan kita dari kegelapan menuju cahaya’”.
Sementara Jamil Ahmad dalam bukunya, Seratus Muslim Terkemuka menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib juga pernah digugat oleh seorang Yahudi ke pengadilan karena dianggap telah melakukan penipuan. Suatu hari, ia mendapat panggilan dari pengadilan untuk menghadap berkenaan dengan kasus yang diajukan terhadapnya oleh seorang Yahudi yang menuntut baju besi khalifah.
Di pengadilan, Ali berdiri di samping penggugat tanpa memperdulikan kedudukannya sebagai kepala negara (khalifah). Yahudi tersebut membawa beberapa saksi untuk membuktikan tuntutannya. Lalu hakim bertanya kepada Ali, ”Apakah Anda ingin menyampaikan sesuatu untuk membela diri Anda?.”
Ali menjawab, ”Tidak”. Setelah mendengarkan dua belah pihak, hakim memutuskan bahwa Yahudi-lah yang memenangkan perkara, dan Ali harus menyerahkan baju besi kepada si Yahudi. Padahal Ali sebenarnya sudah membeli baju itu Yahudi, yang justru harus terperanjat dengan keputusan hakim yang tidak memihak itu. Akhirnya si Yahudi mengembalikan baju besi tersebut kepada Ali sambil mengakui bahwa sesungguhnya ia telah menjulanya kepada Ali. Gugatan itu katanya untuk menguji kebesaran jiwa khalifah yang ternyata memang tahan uji.