Menghafal adalah aktivitas yang sudah lazim bagi seorang siswa. Bagi beberapa orang yang sulit menghafal akan memiliki kesan tersendiri dalam proses memasukkan hafalan ke dalam kepala.
Hal ini tidak hanya terjadi pada hamba pribadi secara khusus atau para pelajar secara umum. Namun para ulama zaman klasik pun juga pernah mengalaminya. Satu contoh kisah Imam al-Qaffal.
Maksud al-Qaffal di sini adalah Imam Abdullah al-Qaffal al-Marwazi (w. 417 H). Ulama madhab Syafi’iyah abad ke-5 yang mashur dengan sebutan al-Qaffal al-Shaghir. Penting diketahui, bahwa dalam “Thabaqath al-Syafi’iyah” ada dua ulama’ yang menyandang gelar al-Qaffal. Pertama, Imam al-Syasyi, beliau lah yang diberi gelar al-Qaffal al-Kabir. Kedua, Imam al-Marwazi alias al-Qaffal al-Shaghir.
Ulama’ yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang pembuat gembok ini, baru memulai rihlah ilmiahnya pada usia yang tergolong sudah tua.
Dikisahkan, dalam kitab Ma’alim Irsyadiyyah li Shona’ati Talibil Ilmi. Saat beliau masih sibuk menjadi tukang pembuat gembok, kemasyhuran Imam al-Qaffal al-Kabir telah mendahuluinya. Popularitas beliau sebagai ulama tidak perlu diperbincangkan lagi. Di samping ulama, beliau juga ahli dalam membuat gembok. Pernah terkenal viral di persada negeri Khurasan gara-gara bisa memproduksi gembok seukuran 1/6 dari ukuran dirham.
Walau tanpa sarana media, berita itu terus bergulir hingga terdengar oleh al-Qaffal al-Shaghir. Hal itu, membuat dirinya terusik untuk memproduksi gembok tandingan dan akhirnya ia mampu membuatnya seukuran 1/4 dari ukuran dirham. Namun nasib berbeda, skill yang luar biasa ini, tidak menjadikan popularitas dirinya semakin menguak kepermukaan bumi.
Keluh kesah ia utarakan pada kawannya. Seolah ketidakadilan menimpa dirinya. Sementara keberuntungan berpihak pada al-Qaffal al-Kabir, padahal sebagai tukang pembuat gembok justru al-Qaffal al-Shaghir yang lebih mahir. Dengan niat menghibur, temannya bertutur, “Orang terkenal itu karena ilmunya, bukan karena gembok yang dibuatnya.”
Perkataan ini mungkin tidak seutuhnya benar, karena seakan mencari ilmu hanya ingin terkenal. Namun tidak bisa dikatakan salah, kalau sekedar motivasi untuk mencari ilmu bagi pemula. Sekaliber al-Ghazali pun pernah mengalaminya, dawuhnya:
طلبت العلم لغير الله فأبى العلم إلا أن يكون لله
“Dulu saya pernah mencari ilmu bukan semata karena Allah SWT. (bisa jadi karena ingin memperoleh jabatan, popularitas atau lainnya). Namun ilmu enggan menemuiku, kecuali dengan niat ikhlas karena Allah SWT.”
Kendati pun perkataan itu tidak sepenuhnya benar. Namun membuat al-Qaffal al-Shaghir sadar dan gairah mencari ilmu mulai berkobar. Di usianya yang telah sampai 40 tahun, ia mulai sibuk mencari ilmu. Perjalanan intelektualnya, berawal dari bertemu dengan seorang Syekh (guru besar) di kota Marwa. Ia utarakan keinginannya untuk nyantri kepada beliau.
Untuk para pemula, sistem pembelajaran yang dipakai oleh Syekh adalah menghafal. Awal kitab yang didektekan yaitu kitab Mukhtashar al-Muzanni. Tepatnya pada kalimat:
هذا كتاب اختصرته
“Ini adalah kitab yang aku ringkas (dawuh al-Muzanni)”.
Kalimat ini agar dihafalkan dan esok harinya disetorkan pada sang guru. Al-Marwazi pun pulang dengan tanggungan menghafalkan kalimat pendek itu. Sesampainya di rumah ia tidak langsung istirahat ataupun rehat sejenak. Melainkan ia naik ke atas loteng rumah untuk terus mengulangnya sampai hafal.
Beliau terus ulangi kalimat pendek itu dari waktu isya’ hingga terbit fajar. Namun karena mata terasa berat, membuat dirinya tertidur lelap. Esok hari, saat ia terbangun, ternyata kalimat pendek yang dihafal semalam suntuk hilang tak tersisa dalam ingatan. Membuat dirinya resah, susah dan gelisah. “Aduh, apa yang hendak saya setorkan kepada guru saya?” keluhnya.
Namun Allah Maha pengasih pada hambanya. Saat ia keluar dari pintu rumah, seorang perempuan yang merupakan tetangga sebelah datang menghampirinya. Ia berkata, ” Ya Aba Bakar, sungguh kami tidak bisa tidur semalam gara-gara perkataanmu ‘hadza kitabun ikhtashartuhu’“.
Dengan perantara ini, hafalan kalimat pendek itu diingat kembali. Lalu ia pun bergegas berangkat untuk setoran hafalan khawatir tidak diingat lagi. Pesan Syekh kepadanya:
لا يصدنك هذا عن الاشتغال، فإنك إذا لازمت الحفظ والاشتغال صار لك عادة
“Jangan sekali-kali kau tinggalkan kesibukan menghafal ini. Karena dengan tekun dan istiqamah, niscaya engkau akan terbiasa.“
Dari dawuh gurunya ini, beliau senantiasa sibuk dengan aktivitas mencari ilmu serta tekun mengulang plus menghafalnya. Hingga menjadi sosok yang alim dan allamah.
Kisah di atas tentu sarat akan hikmah. Seorang tukang pembuat gembok yang sudah berumur 40 tahun dan belum bisa membedakan antara dhamir mutakallim (ikhtashartu) dan dhamir mukhatab (ikhtasharta). Menghafal pun baginya sangat sulit. Bahkan ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri:
ما أغفلنا عما يرد بنا
“Apa yang membuat kami lupa pada sesuatu (hafalan) yang kami inginkan.“
Namun dengan himmah (keinginan) yang tinggi disertai dengan ketekunan diri ia bisa sampai ke derajat seorang Imam bermadhab al-Syafi’i. Beliau disebut-sebut sebagai Imamnya aliran khurasaniyyin.
Sekedar memperjelas saja, bahwa dalam penyebaran madhab Imam al-Syafi’i, setidaknya ada dua aliran (thariqah). Aliran Iraq (Iraqiyyun) yang dipelopori oleh Abu Hamid al-Isfirayini (w. 406 H) dan aliran Khurasan (Khurasaniyyun) yang dipimpin oleh Imam al-Qaffal al-Marwazi.
Pendapat-pendapat beliau seringkali dikutip dalam kitab-kitab fikih klasik. Bahkan ada satu kitab khusus yang mengakomodir pendapatnya dengan judul kitab “Fatawa al-Qaffal“. Salah satu pendapatnya yang masyhur adalah boleh seseorang yang bermadhab al-Syafi’i bermakmum kepada imam yang bermadhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya. Hal itu beliau utarakan di saat sebagian ulama’ Syafi’iyah tidak membolehkan.
Ala kulli hal, kisah di atas bisa menjadi motivasi kepada hamba pribadi dan para penuntut ilmu dalam menuntut ilmu agar tetap tidak patah semangat walau otak ini lemah dalam mengingat. (AN)