Islam telah memberikan batasan yang jelas tentang halal dan haram kepada para pemeluknya. Perkara yang dihalalkan boleh digunakan. Sebaliknya, perkara yang diharamkan diperintahkan untuk meninggalkan dan menjauhinya. Namun, di antara perkara yang halal dan haram, terdapat perkara yang status hukumnya masih samar-samar atau yang disebut dengan syubhat.
Meski kejelasan halal dan haramnya belum pasti, namun perkara syubhat dianjurkan untuk dihindari, karena dikhawatirkan dapat terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan.
Banyak kisah orang-orang soleh yang begitu berhati-hati dengan perkara syubhat. Di antaranya adalah salah seorang sufi besar yang bernama Abu ‘Abdillah al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Harits al-Muhasibi.
Al-Muhasibi dikenal dengan sikap wara’-nya, khususnya terhadap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Bahkan, karena begitu terbiasanya menghindari makanan syubhat, ketika disuguhkan sebuah makanan oleh seseorang dan beliau tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara mendapatkan makanannya, beliau menerima ‘sinyal’ bahwa makanan tersebut tidak jelas asal usulnya (syubhat).
Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) bercerita sebuah kisah tentang hal tersebut. Suatu hari Imam al-Junaid melihat al-Muhasibi nampak kelaparan, al-Junaid menawarkannya untuk masuk ke rumah dan beristirahat untuk mengisi perutnya.
Setelah al-Muhasibi mengiyakan tawarannya, al-Junaid pun meminta makanan dari rumah yang dekat dengan rumahnya untuk disuguhkan kepada al-Muhasibi. Baru saja mencicipi makanan tersebut, al-Muhasibi tiba-tiba berdiri dan bergegas ke lorong masuk rumah tersebut dan memuntahkan makanan yang ada di mulutnya. Al-Muhasibi kemudian berlalu pergi.
Saat al-Junaid bertemu dengan al-Muhasibi lain waktu, beliau pun menanyakan peristiwa yang terjadi saat itu. Al-Muhasibi menceritakan bahwa saat itu dirinya memang lapar dan ingin memakannya, akan tetapi beliau merasakan ‘sinyal’ bahwa Allah tidak membolehkannya untuk memakannya, karena makanan tersebut mengandung syubhat, karena itulah al-Muhasibi tidak jadi menelannya meski telah sempat mencicipinya.
Al-Muhasibi pun bertanya kepada al-Junaid, “Dari mana engkau memperoleh makanan tersebut?” al-Junaid menjawab, “Makanan itu dibawakan kepadaku dari rumah yang berada tak jauh dari rumahku, dan makanan itu dibawa dari sebuah pesta.” Mungkin itulah sebab makanan tersebut menjadi syubhat, karena al-Junaid pun tidak mengetahui proses memasak makanan tersebut, berikut bahan yang digunakan.
Kisah ini dinukil oleh Imam al-Qusyairi (w. 465 H) dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah (h. 429). Al-Qusyairi juga menukil kisah yang diceritakan oleh Abu ‘Ali al-Daqqaq (w. 405 H), bahwa ketika al-Muhasibi hendak meraih makanan, dan di dalamnya mengandung syubhat, jari-jarinya menjadi berkeringat sebagai ‘sinyal’ agar al-Muhasibi tidak memakannya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah tersebut. (AN)
Wallahu a’lam.