Kisah Abu Hanifah Menyedekahkan Harta Syubhat

Kisah Abu Hanifah Menyedekahkan Harta Syubhat

Kisah Abu Hanifah Menyedekahkan Harta Syubhat

Selain terkenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai pedagang dan pengusaha di Kufah. Sejak kecil beliau sudah terbiasa berdagang mengikuti ayahnya yang terkenal sebagai pedagang kain sutra di Kufah. Untuk itulah meski sudah menjadi ulama besar yang dihormati oleh ulama-ulama lainnya, beliau tetap berdagang kain sutra melanjutkan usaha ayahnya.

Dikisahkan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Irsyadul Ibad, bahwa suatu katika Imam Abu Hanifah mendatangi rekan bisnisnya bernama Bisyr. Saat itu, Imam Abu Hanifah membawa banyak komoditas dagangan berupa 70 kain sutra dan memasrahkan kepada rekan bisnisnya, Bisyr, untuk dijual di Mesir. Di antara banyak komoditas tersebut, terdapat sehelai kain yang cacat karena ada sedikit kerusakan di salah satu bagiannya.

Oleh karena itu, sebelum berangkat Imam Abu Hanifah berpesan terlebih dahulu kepada Bisyr,  “Di antara kain sutra tersebut terdapat sehelai kain yang rusak. Jika kamu nanti menjualnya, maka sampaikan kepada pembeli kain tersebut bahwa ada kerusakan di salah satu bagiannya.”

Selang beberapa waktu, ada banyak barang dagangan yang laku dijual oleh Bisyr saat di jual di Mesir, termasuk kain sutra yang rusak. Dan Bisyr pun kembali ke Kufah dengan membawa banyak keuntangan dari hasil penjualan kain sutra, termasuk di dalamnya hasil penjualan kain sutra yang rusak.

Sesampainya Bisyr di Kufah, Imam Abu Hanifah langsung menemuinya dan bertanya, “Apakah kamu menjelaskan kepada pembeli mengenai kerusakan yang terdapat dalam kain sutra tersebut?.”

Bisyr pun menjawab, “Aku lupa memberitahukannya.”

Mendengar jawaban dari Bisyr, Imam Abu Hanifah mengumpulkan semua barang dagangan dan keuntungannya dan mensedekahkan semuanya kepada orang lain. Total kesuluruhan berjumlah seribu dirham.

Kemudian Imam Abu Hanifah berkata, “Harta yang di dalamnya ada sebagian harta syubhat, saya tidak membutuhkannya.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa setelah kejadian tersebut, Imam Abu Hanifah memutuskan kerja sama dengan Bisyr karena dianggap tidak hati-hati dalam berdagang.