Nabi Muhammad adalah orang arab yang tidak terlepas dari unsur-unsur budaya arab pada masa beliau hidup. Hal ini tentu memengaruhi pembacaan kita atas hadis. Tidak semua hadis itu merupakan sunnah. Karena ada sebagian hadis yang merupakan budaya arab pada saat itu.
Sayangnya, orang sekarang banyak yang merasa paling islami hanya karena mengerjakan sesuatu yang dia dapatkan dari hadis Rasulullah Saw. Padahal hal itu sebenarnya hanya merupakan budaya arab pada masa itu.
Menanggapi hal itu, Kiai Ali Mustafa Yaqub memberikan pandangan bahwa dalam memahami hadis diharuskan bisa memisahkan antara budaya dan sunnah Rasulullah Saw. Dalam karyanya yang berjudul at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah disebutkan beberapa kiat untuk membedakan antara agama dan budaya dalam sabda Rasulullah Saw.
Pertama, ajaran agama Islam dilakukan oleh kaum muslimin saja. Hal ini berbeda dengan budaya yang selain kaum muslimin pun melakukannya. Sebut saja surban. Surban merupakan budaya arab. Hal ini bisa dibuktikan bahwa surban tidak hanya dipakai kaum muslimin pada saat itu. Bahkan pesohor kafir qurais seperti Abu Jahal pun memakainya.
Kedua, ada beberapa budaya yang hadir sebelum munculnya Islam. Seperti al-jummah pada rambut kepala yang terus berlanjut hingga Islam datang. Hal ini tentu berbeda dengan agama yang muncul setelah Islam datang. Karena syariat atau agama hanya ada setelah datangnya Islam.
Ketiga, ada beberapa budaya yang muncul sebelum Islam datang. Namun setelah datang Islam, turunlah wahyu dari Allah Swt. Maka, walaupun hal tersebut ada sebelum Islam datang, namun keberadaanya menjadi syariat berdasarkan wahyu yang diturunkan. Sebagaimana perhitungan bulan Qamariyah dan manasik haji.
Dahulu sebelum Islam datang, keduanya adalah budaya jahiliyah dan syariat Nabi Ibrahim As. Ketika Islam datang dan menetapkan hal tersebut, maka hal itu menjadi bagian dari syariat Islam. Kaum muslimin yang menggunakan bulan qamariyah tidak lantas mengikuti budaya jahiliyah, melainkan mengamalkan ajaran syariat Islam.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam Muslim (w. 256 H) yang membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul “Bab Wujubu Imatitsali Ma Qalahu Rasulullah Saw Syar’an Duuna Ma Dzakarahu Min Ma’ayisyd Dunya ala Sabilir Ra’yi yang artinya “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau Tentang Kehidupan Dunia Menurut Pendapatnya).
Imam al-Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Sahih Muslim juga menguatkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Sehingga hal tersebut bisa dikategorikan sebagai bagian dari konsensus (ijma’) ulama.
Maka dari itu kita perlu meneliti lebih dalam ketika membaca sebuah hadis. Karena tidak semua hal yang kita temukan dalam hadis itu wajib kita ikuti. Kita wajib mengikuti jika hal tersebut merupakan bagian dari agama, namun sebaliknya, jika tidak berkaitan dengan agama, maka kita tidak wajib mengikuti. Apalagi sampai merasa dirinya lebih baik hanya karena memakai surban, berjenggot dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.