Kiai Nurkholik, Islam Borjuis dan Perlawanannya

Kiai Nurkholik, Islam Borjuis dan Perlawanannya

Kiai Nurkholik, Islam Borjuis dan Perlawanannya

Ketika orang-orang jeda rehat siang, Tedi Kholiludin menghubungi lewat sambungan telpon. “Ada Kiai Nurkholik. Segera ke sini!” Katanya.

Ia bicara seperti seorang jenderal bintang tiga yang memerintahkan ajudan membereskan sesuatu.

“Baik! Apa perlu saya berlari?” tanya saya. Dijawabnya dengan tertawa.

Setelah nenutup telpon, saya memberi tahu Subhi Azhari dan kami bergegas.

Orang yang disebut-sebut itu bukan orang sembarangan. Nurkholik Ridwan salah seorang yang belakangan namanya tenar kembali di kalangan NU. Karena dinilai tak lagi serel dengan visi Khittah 26 NU, bersama tokoh NU lain ia menuntut Muktamar Luar Biasa PBNU.

Bagi kami, maksudnya saya, Subhi dan Tedi, ia tentu saja bukan orang baru dikenal hari itu. Bisa dikatakan ia satu dari sekian perintis Laporan Pemantauan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan Wahid institute sejak 2008.

Nurkholik ketika itu terlibat dalam kerja-kerja jaringan selain kesibukan lainnya sebagai penulis amat produktif. Ia melakukan advokasi di akar rumput, berhadapan dengam kelompok garis keras di Yogya.

Pada era 2000-an ke atas, para pembaca buku keislaman kontemporer dibuat gempar. Judulnya menegangkan: Islam Borjuis.

Dari judul, orang mungkin sudah menebak ke mana arah buku ditambatkan. Sejak saya mengenalnya, ia orang yang hidupnya diabadikan untuk perlawanan. Dan tampaknya tak berubah hingga sekarang.

Yang mungkin agak berubah sekarang adalah orientasi dan pendekatan.

“Kita ingin dengar bagaimana Islam Borjuis dan Spiritualisme sekarang,” kelakar saya pada peserta yang melingkar siang itu.

Sekarang ia tampaknya lebih suka pada spiritualisme dan sufisme. Ia menjadi pengasuh pondok pesantren.

Saya tidak tahu apakah usia memang punya pengaruh atas orientasi itu. Ia juga menulis tentang Sembilan Nilai Gus Dur.

Saat bertemu ia masih berkelakar tentang situasi NU di beberapa ranting di Yogya yang katanya mendengungkan kemandirian.

“Tapi sayangnya, koperasi yang saya kembangkan belum berhasil,” katanya disambut gelak tawa teman-teman lainnya.

Ia memakai kopiah, berbatik, dengan kumis tipis. Memang tampak seperti Kiai dengan ribuan santri.