Pada suatu siang terik matahari. Saya coba jalan mengelilingi ibu kota Malang, tanpa disengaja bertemu dengan teman lama atau senior saya dulu di pondok yang kini sedang menempuh studi S3-nya di malang.
Dia keturunan dari seorang kiai kampung yang pekerjaan sehari-harinya hanya molang atau ngajar anak-anak sekitar dan anak-anak yang dititipkan dari luar
Kami coba bernostalgia lewat cerita-cerita sederhana yang dulu pernah kita alami bersama ketika di pondok. Tentu kami ketawa lepas ketika mengingat masa lalu dengan cerita-cerita konyol yang pernah dilalui bersama.
Di tengah-tengah perbincangan yang hangat itu, saya coba bertanya satu hal yang membuat saya penasaran: dari dulu keluarga beliau sangat anti dan bahkan bisa dibilang alergi terhadap lomba kitab dan Alquran. Selain kiai Arwani ternyata ada juga kiai kampung yang sangat keras melarang santrinya untuk mengikuti lomba bac abaca kitab dan Alquran.
Sebenarnya pertanyaan ini sederhana, tapi jawabannya cukup membuat terkesiap. Dari dulu dia memang dikenal dengan sosok pemikir, sering gelisah dengan keadaan sekitar dan punya himmah yang tinggi atas sesuatu yang belum tau kepastiannya.
Mendengar pertanyaan saya itu, dia justru ketawa, “Belum ada loh, orang yang berani nanya seperti itu ke saya apalagi ke ayah saya, semuanya pada tunduk. Kamu kok berani sekali?” Ujarnya sambil tertawa ngakak.
Dia tetap menjawab pertanyaan saya dengan jawaban yang sangat ilmiah menurut saya. Dengan ketinggian ilmu dan kerendahan hati yang dimiliki, ia mampu menyinergikan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan ruhaniah.
Menurutnya, pemenang lomba secara psikologis cenderung sum’ah, riya’ bahkan tafakhur dan ujub (sombong dan berbangga diri). Itu yang nantinya mengurangi kebermanfaatan ilmu. Secara teori psikologi, setiap orang punya kecenderungan direkognisi/diakui sebagai orang yang punya kelebihan dan sanjungan.
Hal ini secara tidak sadar menggiringnya untuk mencitrakan dirinya sebagai orang hebat dan dielukan oleh orang lain. Situasi ini yang menyebabkan kebanyakan orang hilang kendali, sehingga lupa diri, yang semula melukakan aktivitas dengan motivasi ilahiyah kini berubah menjadi motif pencitraan.
Di sisi lain kitab dan hal-halnya yang terkait dengan kitab utamanya memiliki medan perlombaan sendiri yang disebut fafirru ilallah. Jadi perlombaan yang sebenarnya menurut dia bukan dipanggung yang dinilai juri, tapi di area nyata yang berupa karya dan kontribusi yang dinilai langsung Allah SWT.
Dalam pendekatan empiris’, menurutnya, orang-orang dengan jasa besar terhadap perubahan dunia adalah orang yang pada awalnya tidak memiliki nilai di hadapan manusia, tetapi mereka mampu menemukan karya, bukan untuk dilihat orang tapi untuk bermanfaat bagi orang lain dan dirinya.
Ia mencontohkan Bill Gate, Phillip, Albert Einstein. Sejarah hidup dan kesuksesan keduanya tidak dimulai dari ajang perlombaan. Walaupun ada juga orang yang berhasil setelah menjadi pemenang atau juara lomba.
Selain itu, sebenarnya ada banyak hal yang ingin kami perbincangkan. Namun, karena waktu tidak memungkinkan terpaksa kami berdua harus memisahkan diri. Tapi ada banyak hal yang saya dapat dari dia, dia sama sekali tidak takut dan berani menyatakan pendapatnya ke khalayak umum sekalipun itu akan menimbulkan polemik dan kontroversial selama pernyataan itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan komprehensif.
“Kalau kamu misalkan mau ikut lomba, ya itu tidak masalah, kamu pasti punya pertimbangan khusus,” tutupnya. Hal ini menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mau mengintervensi, apalagi menyalahkan pemikiran orang lain yang tidak sependapat dengannya. Dia dan keluarganya hanya berusaha dan mencoba menahan diri dari arus yang sangat pragmatis.
Wallahu A’lam.