Indonesia, melalui para tokoh bangsanya, berkali-kali terekam mampu meredam konflik horizontal yang destruktif. Penyelesaian konflik yang dipilih, tidak dengan tekanan, tidak dengan paksaan, apalagi pembunuhan. Tapi dengan membangun iklim demokratis yang santai namun serius di tengah geliat formalisme agama.
Berpijak pada asumsi tersebut, kita akan mudah mengenali figur KH Hasyim Muzadi. Kiai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944 ini merupakan tokoh Islam Modern Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden. Mengingat Kiai Hasyim sama halnya dengan mengingat Moderasi Islam di Indonesia.
Pemikiran Kiai Hasyim begitu mengakar. Pembacaan terhadap sejarah, dirasah Islamiyah dan hukum yang holistik menghasilkan tekstur pemikiran yang inklusif. Ketekunannya dalam kampanye moderasi Islam sempat menjadi inspirasi di banyak lembaga negara maupun swasta, seperti Kemenag.
Faktor penting dalam sejarah bertahannya keutuhan Indonesia, muncul dari hal yang sangat mendasar. Seperti yang telah diikhtiarkan oleh para pendahulu kita; Walisongo melalui prinsip akulturasi dan asimilasi budaya yang sanggup menetralisir pemahaman-pemahaman yang kurang tepat menjadi ajaran yang mudah diterima dan dipelajari.
Berdasar dari akar pemikiran seperti itu, agresifitas ekstremisme disanggah oleh sifat moderat yang menjadi semacam keaslian sifat yang berasal dari rangsangan kearifan-kearifan lokal sebagai pijakan utama dalam bersikap.
Sifat moderat menempatkan duduk peristiwa dengan konteks sosial yang dihadapi dalam posisi sejajar. Duduk peristiwanya seperti apa saja, penyelesaiannya tetap mengacu pada konteks sosial yang dihadapi.
Sehingga dari konsep “konteks sosial”, besar harapan muncul penyelesaian masalah yang tidak kaku apalagi lemas. Seperti orang tertawa, mereka luwes, lepas, dan rileks. Semua perkara jika dihadapi dengan ketiga karakter sifat tersebut akan terasa mudah dan sederhana. Sebab kadang mereka lebih dulu takut dengan permasalahan, sebelum ia benar-benar sanggup untuk menyelesaikannya.
Akan tetapi, bagi Kiai Hasyim, ketakutan itu tidak berarti apa-apa. Peristiwa demi peristiwa dilalui dan disikapi Kiai Hasyim dengan sikap penuh moderat/toleran. Moderasi yang ditawarkan beliau tercermin dari kesederhanaan humornya.
Kiai Hasyim adalah sosok ulama yang humoris, sebut Ghozi Alfatih (2017) dalam Keping Cerita Kiai Hasyim. Ada peristiwa-peristiwa lucu yang beliau alami sendiri dengan joke-joke yang beliau buat sendiri.
Porsi Agama Moderat
Cara Kiai Hasyim untuk mempertahankan keutuhan bangsa setelah beberapa dasawarsa terakhir digerogoti oleh gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, dan upaya Islam transnasional yang ingin meniadakan Pancasila sebagai dasar negara, direspon dengan mengampanyekan Islam Rahmatan lil Aalamin. Dengan bahasa lain, beliau lebih memilih mencintai Indonesia dengan memperlihatkan wajah Islam secara moderat.
Ajaran Islam, bagi Kiai Hasyim merupakan ajaran yang wasathan (tengah-tengah), moderat. Tidak terlalu ketat dan kaku, tapi juga tidak terlalu longgar. Sifat dalam Islam moderat itu berusaha menyeimbangkan antara wahyu dan rasio dalam memahami agama.
Di samping itu, Kiai Hasyim juga berpendapat bahwa Islam moderat bukan sekedar ide dan gagasan semata, tapi juga patut diejawantahkan ke dalam sikap dan perbuatan, termasuk tentang bagaimana memperkenalkan agama di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, Kiai Hasyim menyukai metode akulturasi dan asimilasi budaya dari Walisongo.
Dalam usaha mentradisikan pemikiran dialogis, pada tahun 2004 bersama Menteri Luar Negeri kala itu, Hassan Wirajuda, Kiai Hasyim mendirikan International Conference of Islamic Scholars, sebuah organisasi yang mewadahi dialog dan pertemuan lintas agama, sebagai ikhtiar untuk merekonsiliasi relasi Islam dengan Barat pasca insiden 9/11 di gedung WTC, Amerika Serikat.
Ala kulli hal, demi cita-cita luhur menegakkan perdamaian dan menghentikan citra saling bunuh, kafir mengafirkan, serta menumbuhkan rasa nasionalisme, seorang Muslim secara khusus perlu mengaktualisasikan konsep keagamaan yang berlandaskan pada prinsip tawasuth (moderasi) dan i’tidal (tegak lurus), yang juga melahirkan pandangan dan sikap dasar lainnya, yaitu tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tasyawur (dialog).
Sementara itu, untuk menjaga eksistensi Islam Rahmatan lil Alamin Kiai Hasyim berpesan “Apa yang menjadi perbedaan dari tiap-tiap agama tidak perlu disamakan dan apa yang menjadi persamaan di antara masing-masing agama juga tidak boleh dibedakan atau dipertentangkan.”
Wallahu a’lam.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo