Entah kebetulan atau tidak, pada 15 Februari 2017, Buntet Pesantren dilanda banjir bandang. Dua hari setelahnya, KH Ahmad Manshur berpulang. Bagi masyarakat, khususnya para santrinya, hal tersebut seolah menjadi tanda alam kehilangan sosok tegas itu. Ketegasan beliau terlihat dalam setiap Bahtsul Masail. Meskipun demikian, jika suasana sudah tegang, ia sendiri yang akan mencairkannya dengan guyonnya yang khas.
Kealimannya dalam bidang fikih tidak ada yang meragukannya. Sampai-sampai Mustasyar PBNU K.H. Adib Rofiuddin pernah berseloroh, siapa yang mau menikahi putrinya, harus bisa baca kitab Fathul Wahhab dan ditashih oleh K.H. Ahmad Manshur. Karena kealimannya tersebut, ia dipercaya mengampu mata pelajaran fikih dan ushul fikih di madrasah di lingkungan Buntet Pesantren.
Meskipun ia tak punya pondok, tetapi beberapa santri Buntet Pesantren di waktu senggangnya ngaji pada beliau. Ada yang mengaji kitab Fathul Wahhab, ada pula yang mengaji kitab Jauhar al-Maknun. Selain itu, ia juga mengajarkan ilmu falak sebagai salah satu ilmu yang menjadi konsennya dengan kitabnya Durusul Falakiyyah.
Ilmu falak ini dipelajari secara khusus di Madrasah Aliyah Nahdalatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren. Ilmu langka tersebut pertama kali diampu oleh K.H. Kamil Kailani. Karena merasa sudah sepuh, ia menyerahkan pelajaran tersebut kepada beberapa guru MANU Putra yang saat itu telah ia kader untuk meneruskannya. Dipilihlah K.H. Ahmad Manshur oleh K.H. Hasanuddin Kriyani yang saat itu menjabat sebagai kepala madrasah.
Selain pada Kiai Kamil, K.H. Ahmad Manshur juga mengaji ilmu falak pada K.H. Hasyim Anwaruddin. Kiai Kamil mengaji pada K.H. Ma’shum Ali, menantu Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, yang juga penulis kitab Durusul Falakiyyah. Hal tersebut terlihat dari buku yang beliau ajarkan. Buku tersebut merupakan terjemah atas kitab Durusul Falakiyah. Sementara K.H. Hasyim Anwar, kemungkinan belajar dari pamannya, yakni K.H. Imam Abdul Mun’im yang dulu mondok di Kaliwungu, Kendal.
Sepeninggal Kiai Kamil, ia berjuang meneruskan pengajaran ilmu falak tersebut agar tidak punah ditelan zaman. Sampai pada masanya, MANU Putra tidak lagi mengajarkan ilmu tersebut, ia mengajari putranya. Putranya lalu mengajak rekan-rekannya untuk turut gabung pada pengajian yang berlangsung usai pulang dari madrasah tersebut.
Tahun 2006, ia mengikuti pertemuan ahli falak di Semarang. Di sana, ia bertemu Dr. K.H. Ahmad Izzuddin, ahli falak UIN Walisongo. Semenjak pertemuan itu, Kiai Mamad, panggilan akrabnya, beberapa kali mengirim santri-santrinya untuk belajar pada Kiai Izzuddin.
Hal tersebut lantaran Kiai Mamad hanya mengajarkan metode klasik dengan alat rubu’ al-mujayyab seperti yang guru-gurunya ajarkan pada beliau, sementara di Pondok Daarun Najaah asuhan Kiai Izzuddin sudah diajarkan dengan metode kontemporer dengan alat kalkulator scientific. Harapannya tentu saja, santri-santri dapat menguasai dua metode tersebut, meskipun sendirinya tidak.
Di usianya yang sudah lebih dari 70 tahun, ia tetap istiqomah mengkader santri-santri untuk belajar falak. Setiap kali mengirimkan santri-santri belajar ke Semarang, ia sendiri yang mengantarkannya. Tidak pernah absen. Pun saat sudah selesai, ia pasti turut menjemputnya. Ia pun masih aktif mengajar ilmu falak di MANU Putra. Hal tersebut menunjukkan bahwa sosoknya tidak tergantikan. Meskipun rekan-rekan seangkatannya sudah istirahat dari mengajar, ia masih aktif berbagi ilmu di madrasah.
Beberapa tahun terakhir, mula 2011-an, Kiai Mamad gencar menananyakan pendirian komunitas sebagai wadah santri-santri falak berkreasi. Setiap kali penulis bertemu, ia langsung bertanya, “Bagaimana komunitas?” selalu saja demikian. Tahun 2012 MANU Putra kembali membuka program syariah atau keagamaan. Lahirnya jurusan ini pula yang menyebabkan kembalinya ilmu falak di madrasah yang didirikan pada tahun 1983 itu. Pada awal tahun 2014, komunitas yang diharapkan oleh kiai itu lahir bersamaan dengan usainya pelatihan pengukuran arah kiblat bersama mahasiswa Ilmu Falak UIN Walisongo. K.H. Ade Nasihul Umam sebagai kepala MANU Putra Buntet Pesantren saat itu membacakan deklarasi pendirian komunitas.
Menjelang akhir hayatnya, saat beberapa santri kalong pilihannya sudah memiliki kesibukan masing-masing dengan perkuliahan dan kerjanya, Kiai Mamad tetap mengkader dengan mendatangi rumah rekan penulis. Dari rumahnya, ia berjalan sekitar satu kilometer ke rumah santri kalongnya itu. Saat santrinya masih tidur, ia pun masuk ke kamarnya tanpa rasa risih dan membangunkannya dengan lembut memanggil namanya. “Qum!” ujarnya setelah menyebut namanya itu. Lalu ia meminta santrinya itu mengambil wudlu. Di kamarnya, atau di ruang tamu, ia mengajarkan beberapa materi yang belum sempat ia sampaikan.
Rekan penulis pun pernah meminta agar ia saja yang datang ke ndalemnya. Tetapi ia menolaknya dengan lembut, “Biar saya sering jalan,” katanya. Padahal penulis dan masyarakat sangat tahu, setiap usai mengimami salat Subuh di masjid, ia selalu jalan-jalan. Pun saat tengah malam, saat banyak orang tertidur, ia berkeliling Pondok Buntet Pesantren dengan berkain sarung, berpeci, dan berkaos saja. Tangannya disilangkan di belakang punggungnya sembari memutar biji tasbih.
Pada rekan penulis juga, ia menunjukkan buku berjudul Astrologi. Setelah menunjukkan buku tersebut, ia pun mulai menghitung kapan ia akan berpulang. Hitungannya tahun depan. Lalu, kepada rekan penulis, ia pun berpesan, “Jika saya sudah di rumah sakit, kamu gak perlu datang menjenguk lagi. Itu sudah tanda.”
Pada suatu ketika, ia jatuh sakit. Ia tetap memaksa ke masjid, meski tak seperti biasanya berjalan kaki dari rumahnya, dengan bonceng motor. Ia enggan dilarikan ke rumah sakit, sebab khawatir akan shalatnya. Lalu, putranya menjelaskan, bahwa di rumah sakit pun tetap bisa shalat. Sembari berbaring menghadap kiblat, ia pun berjamaah dengan istrinya sampai akhir hayatnya.
Sampai akhir hayatnya, ada satu impiannya yang belum terwujud sebagai ahli falak. Ia ingin keliling pondok pesantren se-Jawa Barat untuk dakwah ilmu falak, dan mendirikan komunitas falak baru agar ilmu yang ia tekuni itu dapat terus berkembang, tidak hanya di Buntet Pesantren.
Ciputat, 11/8/2017