Khutbah Radikal dan Fenomena Jahili Milenial

Khutbah Radikal dan Fenomena Jahili Milenial

Khutbah Radikal dan Fenomena Jahili Milenial

Survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan, yang dirilis pada Minggu (8/7/2018), cukup mengejutkan. Pasalnya, ada 41 dari 100 masjid di kementerian, BUMN, dan lembaga negara di Jakarta yang sempat memunculkan konten khotbah yang berisi paham radikal.

Sebagaimana dilaporkan tirto.id (10/7/2018), pengertian khotbah radikal menurut survei ini adalah materi khutbah yang membahas tema khilafah dengan nada berpihak. Khotbah ini mengarah pada penolakan terhadap pancasila, bentuk negara, demokrasi, dan penghinaan terhadap agama lain.

Secara spesifik, 39 persen ujaran kebencian ditujukan kepada Katolik, 18 persen kepada Tionghoa, 22 persen terhadap Yahudi, dan 17 persen terhadap Kristen. Objek survei ini hanya wilayah DKI Jakarta saja.

Konon, orang Arab pra-Islam sesekali akan berdoa kepada Allah dalam keadaan terdesak-darurat. Tetapi begitu bahaya telah berlalu, mereka lupa sama sekali dengan Sang Pencipta. Demikian tutur Thosihiko Izutsu dalam God and Man in The Koran.

Sebentar, memangnya apa hubungannya khotbah garis keras dengan teisme masa lalu?

Jadi begini, sejatinya bukan hal baru jika terdapat masjid yang tepapar dakwah khilafah. Jauh-jauh hari, dalam buku Ilusi Negara Islam (2009) disebutkan adanya fakta bahwa terdapat kelompok-kelompok berhalauan garis keras yang menganggap setiap muslim yang berbeda pandangan dengan mereka sebagai kurang kaffah Islamnya, atau bahkan sampai kafir dan murtad. Naudzubillah tsumma naudzubilah

Dengan begitu mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, dan Ormas-ormas kenamaan seperti NU dan Muhammadiyah, untuk mengubahnya.

Mau bukti?

Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa di Indonesia gerakan garis keras berideologi transnasional dan kaki tangannya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Puncaknya pada bulan Juli tahun 2005 dalam Mukatamar di Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk kader-kader PKS dan HTI, mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisannya menjadi ketua PP. Muhammadiyah.

Kendati setelah Prof. Abdul Munir Mulkhan mudik ke Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar dan terbuka sampai tingkat internasional. Pasalnya, masjid Muhammadiyah di sebuah desa Sendang Ayu, Lampung—yang dulunya tenang-tenang saja—sontak menjadi gaduh karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam Masjid, gemar mengkafirkan orang lain, menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri.

Sejurus kemudian Prof. Munir Mulkhan memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan orang PKS mendapat panggung untuk khotbah di masjid mereka. Itu satu.

Kedua, selain ke Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis tehadap NU. Realitas fungsi setrategis masjid, mendorong kelompok-kelompok garis keras terus berusaha merebut dan menguasai masjid dengan segala cara.

Salah satunya adalah pura-pura memberikan cleaning service gratis. Demikian berulang-ulang. Tertarik dengan kesungguhan mereka, takmir setempat akhirnya memberinya kesempatan mengumandangkan azan. Kemudian melibatkannya dalam jajaran anggota takmir masjid.

Setelah posisinya semakin kuat, mereka mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur takmir, dan alhasil menentukan siapa-siapa yang menjadi imam, khatib, dan mengisi pengajian.

Bahkan, sampai-sampai tanpa ampun menentukan secara sepihak apa-apa yang boleh dan tidak untuk disampaikan. Yang kedua ini terjadi di Pati sebagaimana diceritakan oleh KH. Abdurrahman Wahid dalam Musuh dalam Selimut perihal kisah KH. Muadz Thahir, PCNU Pati, Jawa Tengah.

Ketiga, belum lama ini saya dituduh ndak paham Islam oleh seorang kawan yang baru kenal, karena selembar kain batik dan sebuah songkok hitam. Kata dia yang menduh saya, Islam saya tidak kaffah, karena yang benar adalah menggunakan kopiah putih dan jubah. Ok fine, dalam hal ini saya masih mungkin bisa mentolerir karena menyangkut pribadi.

Tapi belum sempat senyum pahit itu saya telan, dia melebarkan radius serangan dengan mengatakan jika Gus Mus itu liberal. What!? Jujur untuk yang satu ini saya tidak bisa diam

Bagaimana bisa, Mbah Kiai Musthofa Bisri, seorang ulama yang sangat di-ta’dzimi oleh Kiai tempat saya belajar ngaji dan mungkin kebanyakan Muslim Indonesia juga, secara tiba-tiba dituduh liberal oleh seorang yang (mungkin) baru belajar Islam.

Alih-alih sadar diri, mereka justru menganggap pola dakwahnya sebagai bagian dari kebebasan berbicara, bahkan bagian dari jihad. Karenanya, sejumlah upaya pembungkaman akhirnya disamakan dengan melarang orang untuk berbicara yang telah dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia.

Bukan bermaksud menyejajarkan Tuhan dengan sebuah sistem pemerintahan bikinan manusia. Tetapi pada titik inilah sekiranya ada semacam kemiripan watak antara kelakuan para jahiliyah pra-Islam dengan fenomena jahili milenial, seolah-olah menolak demokrasi dengan segala perangkatnya tapi justru bersembunyi bahkan mempecundangi dibalik “ketiaknya”.

Sungguh keterlaluan, kelompok garis keras itu mengukur kebenaran pemahaman agama dengan secara ideologis dan politis. Sementara para ulama dan kiai kita yang jelas-jelas otoritatif dan dapat dipertanggungjawabkan mata rantai keilmuannya, mengajarkan pemahaman keagamaan lebih pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka. Bukan membangun batas dan serba formalitas. Apalagi demi selembar kertas.

Wallahu A’lam.