Khotbah Jumat yang Kurindukan

Khotbah Jumat yang Kurindukan

Khotbah Jumat yang Kurindukan

Sewaktu saya kecil pernah menanyakan sebuah buku lusuh, lipatan-lipatan di sisi buku pun cukup banyak dan meninggalkan bekas yang bisa dilihat di hampir separuhnya. Tampaknya buku itu kalau dilihat dari fisiknya adalah buku yg sudah dibaca berkali-kali.

Ketika saya tanyakan kepada seorang bapak bernama Ahmad Haris, beliau adalah imam di langgar kecil kami dan yang memimpin baca barzanzi, yasin dan tahlilan di kampung kami yang tak jauh dari kota.

“Paman, buku apa itu yang selalu ada di mimbar di mesjid kita itu?” Saya bertanya yang mungkin terkesan tak serius karena menanyakan hal tersebut sambil berjalan keluar langgar.

Beliau menjawab, buku itu kumpulan khutbah selama setahun, dari yang spesifik bulan-bulan sakral seperti rabiul awal, rajab hingga ramadhan sudah ada di sana. Kamu tinggal baca dan pasti khutbahmu tidak akan lebih dari 7menit. Sudah menjadi adat di sini, khutbah harus diisi dengan fadilah-fadilah bulan-bulan suci itu, misalnya jumat terakhir bulan sya’ban maka isi khutbah itu pastilah betapa mulianya bulan ramadhan. Oleh karena itu, adat di kampung kita ini khutbah kada boleh mencaci atau menghina orang lain, isinya khutbah itu mengajak kepada kebaikan dan menasehati kita agar menghindar dari perbuatan dosa, itu aja isinya tidak boleh yang lain, begitu beliau menimpali.

Kemudian beliaupun melanjutkan buku tersebut juga dimaksudkan agar bahasa khutbah tidak ada yang memakai bahasa yang tidak dimengerti oleh kebanyakan orang di sini, agar pesan khutbah tersebut bisa sampai dan dimengerti oleh masyarakat kita dan terhindar dari muatan-muatan politik dalam khutbah. Saya pun tersentak, buku itu rupanya begitu penting dan mewarnai kehidupan masyarakat di sini sejak lama. Yang bikin saya kagum itu adalah begitu sakralnya sebuah khutbah yang setiap kali sebelum jumat, kita selalu diingatkan bahwa khutbah adalah bagian dua raka’at shalat. Jadi barangsiapa berbuat sia-sia, nah kata sia-sia ini adalah bagi kami di kampung ini adalah bermakna pesan-pesan agama saja jangan bercampur dengan pesan-pesan yang lain semacam politik

Khutbah pun disampaikan dengan bahasa yang santun dan jelas karena apa yang disampaikan tidak terlalu mementingkan hal-hal teknis semisal intonasi ataupun diksi. Menurut beliau juga semua orang membawa pesan yang sama tidak ada meninggalkan sebuah penafsiran berbeda antara satu jemaah dengan jemaah yang lain. Di sini masih memakai bahasa Indonesia walau kita tahu buku itu ditulis memakai aksara melayu, di hulu sana kata beliau ada yang masih memakai bahasa arab, karena mereka menyakini bahwa khutbah harus bahasa arab karena bagian dari shalat.

Memakai bahasa selain arab saja ada yang tak membolehkan, saya tidak tahu apa hukumnya khutbah jika pakai bahasa intelek kata beliau mengambarkan khutbah yang berisi kata-kata asing yang jarang orang mengerti. Beliau juga menegaskan di sini khutbah tidak boleh lebih dari 7 menit, karena adat di sini khutbah itu harus lebih pendek dibanding dengan shalat jumatnya. Jadi biasanya di sini shalat jumatnya itu mesti lebih lama dibanding khutbahnya itu sendiri.

Beliau pun menceritakan dulu pernah seorang khatib yang diturunkan dari mimbar dan diganti dengan khatib baru hanya karena khutbahnya terlalu lama dan dikhawatirkan terlalu panjang dan berkali-kali memasukkan konten politik dalam khutbahnya waktu itu, jadi dia ditegur dengan memberikan kertas putih kepadanya saat khutbah, bukan cuma sekali namun dua kali dan terakhir sang khatib pun diminta turun, diganti dengan khatib yang baru.

Keresahan Politisasi Mesjid dan Mimbar Jumat

Inilah pengalaman soal shalat jumat dan khutbah di kampung saya di pinggir kota. Mengingat saat ini isu politisasi masjid dan khutbah Jumat, saya teringat pengalaman yang sedikit ini, karena orang-orang di kampung masih mempercayai bahwa posisi khutbah sebagai penganti dua rakaat shalat maka janganlah ada sesuatu yang bisa membatalkan shalat juga dikategorikan sebagai yang bisa membatalkan khutbah tersebut.

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Syaifuddin, mengklarifikasi sejumlah berita di media yang menyatakan pihaknya akan melakukan sertifikasi khatib karena dianggap sudah meresahkan. Kementerian Agama RI, katanya, hanya ingin membuat pedoman bersama tentang mana yang harus dilakukan saat khutbah dan mana yang harus dihindari (www.nu.or.id).

Beliau menjelaskan ada empat keluhan dalam khutbah sekarang ini, yaitu pertama, khutbah kerap kali menyinggung perdebatan khilafiyah furu‘iyah atau perbedaan pendapat soal perkara yang tidak prinsipil dan cuma menajamkan perbedaan yang ada dalam diri Islam. Kedua, khutbah sering menjadi ajang penghakiman terhadap agama lain. Tuduhan kafir dan menjelek-jelekkan bahkan dilakukan dengan secara jelas menyebut nama agama tersebut.

Ketiga, materi mimbar khutbah sudah digunakan untuk kepentingan politik praktis dengan terang-terangan mengarahkan jamaah untuk memilih pasangan calon pemimpin tertentu. Ini yang masih sering terjadi di saat pilkada atau pilpres, khatib kadang terang-terang mendukung salah satu calon, ini masih banyak terjadi di daerah-daerah yang isu agama masih dipakai dalam memilih calon pemimpin.

Sedangkan keempat, mimbar khutbah juga kadang berisi menyalah-nyalahkan ideologi negara. “Mengatakan Pancasila thaghut, menghormati bendera itu syirik. Dan itu disampaikan dalam khutbah”. Inilah keluhan seorang Menteri Agama RI dan kita semua sebagai muslim yang merindukan ibadah shalat jumatnya khusyu dan berkah.

Kasus “pengusiran” Djarot Syaiful Hidayat setelah melaksanakan shalat jumat di masjid Al-Atiq, Tebet Jakarta Selatan pada pilkada DKI yang lalu. Pekikan suara warga “Allahu Akbar, Allahu Akbar. Usir, usir, usir. Pergi, pergi,” menggema saat Djarot berjalan keluar dari masjid tersebut setelah selesai menjalankan ibadah shalat jumat.

Djarotpun menceritakan keanehan baru muncul saat takmir (penjaga masjid) menyampaikan laporan keuangan dan agenda salat Jumat sebelum azan dikumandangkan. Menurutnya, saat itu takmir juga sempat menyampaikan pesan-pesan tertentu. Djarot tak merinci pesan-pesan takmir yang dimaksud.

“Kemudian di sana takmirnya menyampaikan macam-macam lah. Kalau menurut saya bolehlah, tapi apakah baik masjid digunakan untuk hal-hal seperti itu? Apakah diperbolehkan mempolitisasi masjid dengan cara seperti itu?” kata Djarot di Gelanggang Olahraga Ciracas, Jakarta Timur. (www.cnnindonesia.com)

Melihat kejadian ini sudah seharusnya kita mulai kembali mempejuangkan khutbah yang meneduhkan dan menentramkan. Walau kejadian pada Djarot ini tidak ada dalam materi khutbah, namun khutbah yang disampaikan pada saat itulah sudah harus menyentuh sisi kedamaian dan mendinginkan atau mencairkan suasana yang mana saat pilkada saat itu mulai mengentalnya sisi primordialisme dalam masyarakat kita.

Apakah kita sudah seharusnya meniru dan membaca ulang buku “Khutbah Sepanjang Tahun” yang di dalamnya hanya menyampaikan hal-hal kebaikan yang universal dan menentramkan hati. Bukan khutbah atau ceramah yang malah memperkeruh wacana persatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Inilah khutbah yang saya rindukan dalam setiap shalat jumat. Ayo jaga kedamaian ini selamanya di negri kita Indonesia. []