Khilafah Bukan Syariat Islam (1)

Khilafah Bukan Syariat Islam (1)

Khilafah Bukan Syariat Islam (1)

Kelompok pengusung ide khilafah mengklaim bahwa penegakkan khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan merupakan kewajiban agama yang paling agung (min a’dzam wajibah al-din), sedangkan penolakan terhadapnya dianggap sebagai salah satu bentuk kemaksiatan paling besar (min akbar al-ma’ashi).

Pandangan demikian, pada gilirannya hendak mengatakan bahwa semua sistem pemerintahan—selain  khilafah Islamiyah—adalah sistem kufur, tak terkecuali demokrasi di Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers).

Mereka juga dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa penegakkan khilafah Islamiyyah merupakan solusi tunggal yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dialami dunia Islam saat ini. Dari sini, pertanyaan yang muncul ialah, benarkah khilafah Islamiyah merupakan bagian dari syariat Islam?

Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, dalam kitabnya al-Imamah al-Udzma Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah  berkata:

          إن الإمامة وسيلة لا غاية ، وسيلة إلى إقامة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر بمفهومه الواسع – كما مرّ في مقاصد الإمامة – وهذا واجب على جميع أفراد الأمة الإسلامية ، وحيث إنه لا يمكن القيام به على وجهه الأكمل إلا بعد تنصيب إمام للمسلمين يقودهم وينظم لهم طريق الوصول إلى القيام بهذا الواجب العام

“Sesungguhnya kepemimpinan politik (imamah) merupakan instrumen,bukan tujuan utama. Ia merupakan instrumen dalam menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Dengan pengertian yang lebih luas,—sebagaimana dijelaskan dalam tujuan-tujuan kepemimpinan—. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap individu umat Islam, karena (menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar) tidak mungkin dapat dilakukan secara sempurna, kecuali setelah mengangkat pemimpin bagi umat Islam yang dapat menuntun dan mengatur mereka tentang cara menegakkan kewajiban yang utama.”

Apa yang ditegaskan al-Damiji di atas, menunjukkan bahwa secara fungsional, eksistensi kepemimpinan politik (imamah)—apapun bentuknya, baik khilafah Islamiyah dan lain sebagainya—hanyalah sebuah instrumen (wasilah) dalam menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ia bukanlah tujuan utama (ghayah) yang ingin dicapai oleh syariat. Oleh karenanya, sebagai sebuah intrumen, tentu potensial mengalami perubahan.

Perubahan tersebut sangat mungkin terjadi sejauh dapat melaksanakan dan memenuhi tuntutan atau tujuan yang ingin dicapai melalui intrumen tersebut, yakni menegakkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Selain itu, karena ia sebagai instrumen, maka berarti umat Islam mendapat ruang kebebasan untuk berijtihad dan berkreasi dalam menentukkan bentuk kepemimpinan politik atau sistem pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana mereka hidup.

Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, bab al-Imamah, pada paragraf pertama menegaskan bahwa persoalan imamah masuk pada wilayah fiqh. Dengan demikian,—sebagaimana watak fiqh yang cendrung elastis, fleksibel dan dinamis,—maka keberadaan imamah sebagai instrumen itupun dapat berubah bentuknya seiring dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.

Sehingga, penegakkan amar ma’ruf nahyi munkar tidak harus dilakukan melalui sistem pemerintahan tertentu semisal khilafah Islamiyah, melainkan juga dapat dilakukan melalui sistem pemerintahan lainnya termasuk juga demokrasi sebagaimana halnya di Indonesia. Karena—sebagaimana ditegaskan di atas—bahwa tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariat ialah tegaknya amar ma’ruf nahyi munkar.