Khasogghi dan Al-Barmaki: Tetang Tubuh yang Dimutilasi Untuk Sebuah Ambisi

Khasogghi dan Al-Barmaki: Tetang Tubuh yang Dimutilasi Untuk Sebuah Ambisi

Khasogghi dan Al-Barmaki: Tetang Tubuh yang Dimutilasi Untuk Sebuah Ambisi

Saya membaca baris demi baris, kalimat demi kalimat dalam tuturan Al-Tabari itu dengan dada sesak dan perasaan galau. Tidak percaya. Saya ulangi lagi halaman itu untuk memastikan bahwa saya tidak keliru.

Selama ini kita mengenal dan mengetahui sejarah begitu sedikit: apa yang kita tahu tak lebih dari sisa-sisa ingatan dari apa yang diberikan ustad di madrasah saat pesantren kilat atau pengajian sehabis magrib di mushala kampung. Apa yang mereka sampaikan juga mungkin tak lebih dari apa yang mereka dengar. Dan sebagian kita mewarisi kesadaran sejarah yang sebagian besar kurang lengkap atau bahkan tercampur dengan fiksi dan imajinasi. Atau sebagian besar bahkan sama sekali tidak mewarisinya.

Harun Al-Rashid, dalam bayangan saya dan sebagian besar anda yang pernah mesantren kilat, adalah manusia setengah dewa: Khalifah paling sukses dalam sejarah Islam. Ia adalah Khalifah yang membawa Baghdag dan imperium Abbasiah pada puncak kejayaan sejarah. Ilmu pengetahuan, sains dan dunia kesenian digjaya, berada di atas puncak pencapaian semua umat manusia pada masanya. Sisa ingatan kita tak lebih dari apa yang selalu baik dan positif tentangnya. Begitu juga saya, setidaknya sampai beberapa jam lalu ketika sisi kelamnya tersingkap.

Berawal dari kegiatan rutin mendaras Kitāb al-Maghāzi karya Al-Waqidi setiap pagi, penelusuran itu dimulai. Al-Waqidi adalah sarjana dan sejarawan awal Islam yang paling dihormati pada masanya. Ia lahir pada 130 H dan mengarang kurang lebih 32 buku, sebagian terkait sejarah. Sayang, hampir semua bukunya lenyap ditelan sejarah—sebagian besar dibakar ketika Baghdad ditaklukan Mongol. Beruntung salah satu bukunya, Kitāb al-Maghāzi, ditemukan di Damaskus pada 1851 dan sekarang tersedia untuk kita baca setelah melewati beberapa tahap editing.

***

Dihikayatkan ketika Harun Al-Rashid dan Perdana mentrinya, Yahya Ibn Khalid al-Barmaki berhaji, Al-Wakidilah yang mengantar Khalifah, orang paling berkuasa saat itu, berziarah ke makam para syuhada dan para Sahabat di Mekah. Waqidi yang menunjukan, tanpa satupun yang terlewat, makam-makam itu. Waqidi juga mempunyai hubungan baik dengan Sang Perdana Mentri, Yahya Ibn Khalid Al-Barmaki. Darinya Al-Waqidi mendapatkan uang bulanan dan bonus. Hubungan Al-Waqidi dengan Harun Al-Rashid dan Yahya Al Barmaki (Sang Perdana Menteri) terputus ketika terjadi apa yang oleh para sejarawan disebut ‘Nakbah al-Barmakī’ atau Tragedi Al-Barmaki

Samar-samar saya mengingat dari bacaan sebelumnya Tragedi al-Barmaki itu. Namun karena harus membaca dengan hati-hati dan bertanggungjawab, saya putuskan untuk menghentikan sementara bacaan karya Al-Waqidi pagi tadi dan penelusuran dilanjutkan untuk mengingat kembali apa itu Nakbah al-Barmaki. Saya ingat, cerita itu pernah sekilas saya baca di buku Tārikh al-Rusul wa al-Muluk, atau Buku Hikayat Para Rasul dan Para Raja karya pengarang paling ternama, Al-Tabari. Tak lama menelisik, saya menemukan apa yang dicari: peristiwa itu dituturkan Al-Tabari di volume 8 ketika ia merinci peristiwa yang terjadi pada Tahun 187 H. Al-Tabari memang menyusun bukunya berdasarkan tahun secara berurutan, sehingga kita mudah melacak dimana dia akan memaparkan satu peristiwa meski bukunya berjilid-jilid.

Tragedi Al-Barmaki adalah tragedi yang diawali persahabatan, kongsi politik dan aliansi kekuasaan. Tapi semua itu berakhir tragis: pembantaian dan pemusnahan seluruh keluarga. Keluarga Barmaki sejak awal berkoalisi dengan Abbasiyah untuk melancarkan pemberontakan dan revolusi terhadap Umayyah. Setelah Umayyah tumbang dan Abu Abbas Al-Saffah menjadi khalifah pertama, keluarga Al-Barmaki yang asal-usulnya bisa dilacak pada keluarga pembesar biksu Budha Nava Vihara di Persia, langsung menduduki posisi penting. Khalid Al-Barmaki menjadi perdana menteri semasa Al-Saffa dan Al-Mansur. Yahya Ibn Khalid, anak Khalid Al-Barmaki, menjadi gubernur di Armenia dan diminta menjadi mentor Harun Al-Rashid. Ia juga menempati posisi perdana menteri ketika Harun naik tahta sebelum kemudian digantikan Ja’far Ibn Yahya Al-Barmaki, anak Yahya dan cucu Khalid Al-Barmaki. Dalam sejarah Islam, keluarga Al-Barmaki cukup dikenal karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Makanya pula ia dijadikan mentor Harun. Al-Barmaki banyak memperkenalkan ilmu pengetahuan Persia dan India ke dunia islam. Konon ia juga yang memperkenalkan pembuatan kertas di Baghdad setelah ia secara diam-diam mencuri ilmu pembuatan kertas dari pasukan Dinasti Tang yang ditawan dalam perang Talas di daerah yang sekarang menjadi wilayah Kirgistan.

Ja’far yang masih muda juga cukup berambisi. Dan mungkin dari sanalah tragedi itu dimulai. Meskipun begitu, tidak ada laporan yang mengatakan bahwa ia tidak loyal kepada Khalifah Harun.

Ja’far yang muda sering diajak untuk ‘minum-minum’ dan ‘nongkrong’ dengan Harun Al-Rashid. Al-Tabari secara detail menggambarkan mereka mengkonsumsi anggur sampai mabuk dan lupa diri. Harun tidak bisa ‘nongkrong’ dan berpesta tanpa ditemani Ja’far. Bersama mereka sering ikut adik perempuan Harun, satu ayah beda ibu, Abbasah binti Al-Mahdi. Perjumpaan mereka, campuran konsumsi alkohol dengan kesenangan lain, sering menjuruskan mereka pada perbuatan asusila. Karena khawatir, Khalifah Harun menawarkan adiknya Abbassah untuk dikawini sahabat karib dan orang kepercayaannya, Ja’far. Akhirnya mereka menikah agar pertemuan dan pesta pora itu tidak lebih jauh terjerumus pada dosa.

Tapi mereka menikah dengan satu syarat: tak boleh mempunyai keturunan! Tentu alasannya sederhana: keturunan Abbasah dengan Ja’far bisa mengganggu kelanjutan tahta. Tapi apa salah bunda mengandung: Abbasah hamil dan melahirkan anak Ja’far dengan diam-diam. Semuanya berjalan mulus pada awalnya. Anaknya secara rahasia dikirim ke Mekah dan diurus oleh beberapa orang perawat dan hamba sahaya Abbasah. Pada suatu ketika, karena alasan yang secara historis tidak disebutkan, terjadi sengketa dan cekcok antara Abbasah dengan salah satu hamba sahaya perempuan yang merawat bayi itu. Karena kesal, Sang Hamba Sahaya membocorkan perihal bayi itu kepada Khalifah. Harun Al-Rashid merasa dikhianati orang kepercayaannya. Ketika berhaji ke Mekah, ia cari bayi itu dan hampir saja membunuhnya. 

Al-Tabari, dengan bersandar pada beberapa riwayat, juga menceritakan bahwa Keluarga Barmaki dianggap lupa diri dan bergelimangan harta oleh Khalifah. Setiap kali Khalifah pergi ke kota-kota di Iraq, ia selalu menemui rumah-rumah mewah dan istana keluarga Barmaki. Al-Tabari menulis bahwa salah satu istana keluarga Barmaki dibangun dengan harga dua puluh juta dirham. Konon orang lebih kenal keluarga Al-Barmaki ketimbang Khalifah. Matahari lain mulai bersinar. Khalifah mulai merasa tersaingi. Sahabat dekat dan orang kepercayaanya dianggap merongrong kekuasaan!

Soal lain yang disebutkan Al-Tabari adalah karena Ja’far dan keluarga Barmaki dianggap berkhianat dengan melepaskan satu musuh politik yang ditangkap dan dipenjara di bawah otoritas Ja’far. Orang itu bernama Yahya Bin Abdullah Bin Hasan. Tidak terlalu jelas siapa ia. Tapi sepertinya salah satu keluarga keturunan Ali dari jalur Hasan. Ia ditangkap karena dianggap memberontak. Tapi lantas Ja’far melepaskannya dan menyuruhnya pergi dari Baghdad tanpa sepengetahuan Harun. Alasan Ja’far melepaskannya adalah karena berdasarkan penyelidikannya, Yahya Bin Abdullah tidaklah berdosa dan tidak berbahaya bagi kekuasaan. Berita itu bocor kepada Harun yang lantas marah besar. Pada sebuah jamuan, setelah Harun bertanya dan Ja’far berusaha berbohong pada awalnya, akhirnya Ja’far berterus terang. Harun, di hadapannya menyetujui tindakan Ja’far. Tapi setelah Ja’far pergi, menurut Al-Tabari, Harun Al-Rasid bertekad untuk menghabisi orang kepercayaannya itu.

***

Peristiwa penangkapan, pemenggalan dan mutilasi Ja’far itu terjadi setelah Harun melaksanakan ibadah haji pada 186-187 H.  Dalam perjalanan pulang, ketika ia sampai di kota Usfan, tak jauh dari kota Mekah, Khalifah diundang Ja’far untuk sebuah jamuan. Keluarga Barmaki biasa menjamu Khalifah selepas berhaji di salah satu villa keluarga di kota itu. Tapi undangan itu ditolak Khalifah. Sebelumnya Ja’far juga sudah merasa hubungannya dengan Khalifah Harun menjauh. Sudah beberapa lama para pengawalnya dilarang berdiri untuk penghormatan ketika Ja’far Sang Wazir datang menghadapnya. Ja’far juga tidak diperkenankan menghadap Harun tanpa izin, padahal biasanya ia bisa bertemu kapanpun tanpa perlu izin. Tapi Ja’far sampai saat itu tak menaruh curiga. 

Tanpa sepengetahunnya, Masrur, pengawal Harun, beserta Abu Ismah Hammad bin Salim dan pasukannya datang ke vila tempatnya berencana menjamu Khalifah. Menurut Al-Tabari, Masrur sempat kembali menghadap Khalifah karena diyakinkan Ja’far bahwa perintah Harun untuk menangkapnya mungkin diucapkan ketika Khalifah mabuk. Ia meminta keputusan itu ditunda sampai esok hari. Khalifah murka dan mengancam akan memenggal Masrur jika ia tak menjalankan perintahnya. Masrur akhirnya menangkap Ja’far. Pada malam itu juga Khalifah memerintahkan pasukannya di seluruh penjuru imperium untuk menangkapi semua orang dari keluarga Al-Barmaki dan orang-orang kepercayaannya, termasuk membunuh Al-Fadl bin Yahya Al-Barmaki, saudara Ja’far yang juga mempunyai posisi penting. Semua harta dan asetnya disita. Anak-anak dan juga tidak lepas dari hukuman.

Setelah berhasil menangkapnya, Masrur kembali kepada Khalifah dan melaporkan bahwa ia sudah melakukan perintahnya. Khalifah Harun, sambil bersantai di kasurnya, memerintahkan Masrur untuk memenggal leher Ja’far dan membawa kepalanya ke hadapannya. Keesokan harinya, Khalifah memerintahkan Al-Sindi Bin Shahik untuk memutilasi jasad Ja’far: tubuhnya dipotong tiga! Kepala dan tiga potongan tubuhnya lantas digantung di jembatan sungai Tigris! Setelah itu seluruh keluarga Barmaki kecuali Muhammad bin Khalid Al-Barmaki dan keluarganya, dibantai habis. Seperti tubuh Ja’far, mayat-mayat dari keluarga Al-Barmaki juga dipotong-potong dan dipertontonkan kepada khalayak.

***

Ketika membaca baris demi bari tindakan keji Khalifah itu, dada saya sesak. Saya teringat nasib Jamal Khasogghi: tubuhnya baru saja dipotong-potong atas perintah Putra Mahkota. Lantas tubuhnya dileburkan dalam cairan asam. Biadab. Durjana.

Tapi apa yang baru saja saya baca mengingatkan saya satu hal: untuk kekuasaan, orang bisa melakukan apa saja. Jika orang sekelas Khalifah Harun Al-Rashid yang dianggap sebagai khalifah paling sukses dan relatif saleh saja bisa melakukan itu, apalagi raja-raja yang kekuasaannya absolut saat ini.

Pada cerita Khasogghi dan Ja’far Al-Barmaki saya bisa mengambil pelajaran: kekuasaan yang tak terbatas selalu lebih kelam dari apa yang bisa kita bayangkan. Kita tidak pernah secara langsung menelisik baris demi baris apa yang tersedia dihadapn kita untuk mencari tahu, meneliti dan menyinari ‘fiksi’ dengan catatan sejarah. 

Pelajaran lain yang penting: itulah kenapa dalam tradisi hukum islam, ulama dan para ahli hukum, bukan khalifah, yang membentuk tradisi hukum. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya jika hukum para khalifah itu menjadi tradisi yang harus kita ikuti.[]

*) Zezen Zaenal Mutaqin, mahasiswa program doktoral UCLA, USA.