Khalwat Dar Anjuman, Menjadi Sufi di Tengah Keramaian

Khalwat Dar Anjuman, Menjadi Sufi di Tengah Keramaian

Sufi biasanya cenderung menyepi dari keramaian. Tapi dalam tariqah Naqsyabandiyah sufi juga bisa bergabung dengan keramaian.

Khalwat Dar Anjuman, Menjadi Sufi di Tengah Keramaian

Tradisi amaliyah dalam ajaran tasawuf mayoritas bersifat personal antara seorang hamba dengan Allah. Hal ini menimbulkan kesan bahwa orang yang bertasawuf (sufi) akan menjaga jarak dengan kehidupan dunia yang profan menuju akhirat yang sakral.

Hal ini dapat dilihat di beberapa praktik tasawuf seperti khalwat, yaitu menyendirinya seseorang dari keramaian dan hiruk pikuk dunia untuk mendekat kepada Allah SWT dengan berdzikir dan bertafakkur. Praktik ini hampir terjadi di semua aliran tarekat.

Para pengikut aliran tarekat yang mentradisikan khalwat lahiriah ini, biasanya mengalami perubahan secara lahir, seperti tata cara berpakaian, makan, minum, pekerjaan, hubungan sosial, dan kehidupan sehari-hari lainnya yang cenderung berbeda dengan masyarakat di lingkungan pada umumnya.

Menurut tarekat Naqsabandiyah, tradisi khalwat lahiriah yang sangat personal ini justru menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk sosial, melupakan hak atas diri sendiri, hak orang lain atas dirinya, berpotensi menimbulkan sifat takabbur karena merasa dirinya lebih baik dari orang lain, bahkan kesyirikan dan bidah.

Naqsabandiyah memiliki konsep menarik tentang khalwat, yaitu khalwat Dar Anjuman yang merupakan salah satu ajaran dalam tarekat ini yang berlawanan dari khalwat pada umumnya.

Khalwat Dar Anjuman atau khalwat di tengah keramaian menghendaki seorang manusia beraktivitas seperti biasa layaknya manusia pada umumnya di dunia, namun hatinya tetap tersambung dan mengingat Allah SWT.

Singkatnya, prinsip khalwat ini adalah sebagaimana yang diucapkan oleh Bahauddin an-Naqsabandi, “Seorang hamba secara lahir bersama makhluk namun secara batin bersama al-Haqq.”

Para tokoh Naqsabandiyah berpendapat bahwa khalwat yang benar adalah khalwat di tengah keramaian. Mereka berlandasan kepada firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 37, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Dengan demikian, praktik khalwat memungkinkan dilakukan oleh siapapun, apapun latar belakangnya dan tanpa meninggalkan kehidupan duniawi. Bahkan, kehidupan dan aktivitas duniawi bisa membawa pelakunya pada kenaikan tingkat spiritual yang lebih tinggi setiap saat.

Namun demikian, bukan berarti tarekat Naqsabandiyah melarang seluruh praktik khalwat lahiriah sebagaimana tarekat lainnya. Menurutnya, khalwat lahiriah sangat bisa dilakukan secara individu dengan tetap memerhatikan hak-hak tubuh, seperti makan, minum, bersosial, olahraga, dan lain-lain.

Khalwat lahiriah yang diperbolehkan menurut Naqsabandiyah adalah seperti bermunajat di sepertiga malam dengan shalat tahajjud sebagaimana disyariatkan dalam Al-Quran.

Pada dasarnya, akar perbedaan antara khalwat lahiriah dan khalwat Dar Anjuman adalah cara pandang terhadap konsep dunia-akhirat, ibadah, dan amal saleh. Naqsabandiyah berusaha tidak melakukan dikotomi antara amalan (yang terlihat) duniawi seperti muamalah horisontal sesama manusia dengan amalan ukhrawi yaitu hubungan vertikal dengan Allah. Karena, sangat mungkin amalan horisontal bisa memuluskan jalan di akhirat kelak, dan bahkan sebaliknya, sangat mungkin amalan vertikal menjadi penghambat menuju surga.

Konsep Khalwat Dar Anjuman ini nampaknya menarik untuk dipraktikkan pada masa kini, dimana tidak ada lagi sekat-sekat yang mampu membuat orang merasa sendiri untuk berkhalwat karena perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Dengan konsep khalwat ini, masyarakat tetap bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa sekaligus mendekatkan diri kepada Allah.

Wallahu a’lam bi showab.