Khadijah, begitu namanya. Ia hadir di tengah kaum yang sangat patriarkis, dan meremehkan perempuan. Sosoknya disegani dan dihormati segala khalayak, bahkan para pria yang paling kaya dan paling berpengaruh pun menaruh hormat. Zaman itu adalah era ketika perempuan justru menjadi warga kelas dua.
Ia meneruskan bisnis perdagangan ayahnya yang merentang ke lebih dari tiga negara. Komoditas yang dipedagangkannya lebih besar ketimbang komoditas pesaingnya yang kebanyakan perusahaannya dijalankan oleh pria.
Popularitas, kekayaan, dan integritasnya tak tertandingi sehingga bahkan pria-pria kaya dan berkuasa berlomba memikat hatinya. Tetapi ia sudah pernah menikah dan bercerai, dan ia tahu benar watak pria yang mendekatinya.
Begitu banyak lamaran, dan semuanya dia tolak. Ia tak butuh harta dan kekuasaan — ia punya itu semua; lagipula ia adalah perempuan mandiri sejak muda.
Hingga akhirnya, ia jatuh hati pada seorang pemuda yang miskin. Muhammad namanya.
Jika lazimnya pria yang melamar, kali ini perempuan itulah yang mengajukan lamaran. Pemuda itu bernama Muhammad yang bergelar al-amin. Kedengarannya seperti dongeng, namun nama perempuan itu tercatat dalam sejarah, walau lebih sering diingat secara samar dari waktu ke waktu.
Dia hidup 1400-an tahun yang lalu — Khadijah Binti Khuwaylid, yang dipuji kaumnya dengan gelar Ameerat al-Quraysh al-Tahira (putri kaum Quraysh yang suci). Sesudah menjadi istri Muhammad ibn Abdullah, kesetiaannya dan kepatuhannya begitu mendalam tanpa dia harus merendahkan harkat dan martabatnya sendiri — sebab sang suami adalah pria lembut lagi penyayang.
Khadijah, nama yang menggetarkan bagi yang membaca perjuangan dan pengorbanannya mendampingi sang suami. Ketika Muhammad gemetar dan gugup pasca menerima wahyu pertama dan resmi menjadi Rasulullah, Khadijahlah yang memeluknya dan orang pertama yang mempercayainya. Khadijahlah yang menguatkan hati suaminya, mendermakan kekayaannya kepada fakir-miskin dan yatim piatu.
Ketika teror mulai berdatangan, Khadijahlah yang melindunginya dengan pengaruhnya. Ketika Bani Hasyim diboikot sehingga terusir dari kota Mekah, Khadijahlah yang menjadi ibu kaum mukminin.
Selama tiga tahun dalam pemboikotan di gurun yang gersang, Khadijah setiap hari merawat pengikut yang sakit. Ia bahkan seolah tak memikirkan kesehatannya sendiri sehingga kebugarannya turun drastis; pasca pemboikotan, Khadijah sering sakit, hingga akhirnya meninggal dunia.
Hampir seperempat abad ia mendampingi Rasulullah, dan Muhammad tak pernah menduakannya dan melupakannya, cintanya tak aus oleh arus waktu, hingga bahkan membuat Aisyah cemburu walau Khadijah sudah tiada.
Nabi pernah berkata, di dunia ini ada empat perempuan paling mulia: Maryam binti Imran, Asiya binti Muzahin (istri Firaun), Khadijah binti Khuwaylid, dan Fatima binti Muhammad (putri bungsu Rasulullah dan Khadijah).
Cinta Muhammad Salallahu alaihi wassalam kepada Sayyidatuna Khadijah radhiyallahu anha, adalah seperti yang digambarkan dalam sajak Maulana Rumi :
ketahuilah, kekasihku tersembunyi dari siapapun
ketahuilah, kasihnya melampaui semua kasih yang pernah ada
ketahuilah, di hatiku dia sebening purnama
ketahuilah, dia adalah nyawa dalam tubuh dan jiwaku
dalam cinta yang tak tertampung kata
kau akan temukan cahaya kehidupan.