Biografi Istri Tercinta Rasulullah Khadijah binti Khuwailid

Biografi Istri Tercinta Rasulullah Khadijah binti Khuwailid

Istri Nabi yang teguh dan mandiri, pendamping di masa-masa kenabian yang berat.

Biografi Istri Tercinta Rasulullah Khadijah binti Khuwailid

Prolog

Dari Ibnu Abbas r.a, berkata: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ” Para wanita penghuni surga setelah Maryam adalah Fatimah binti Muhammad, Siti Khadijah binti Khuwailid, dan Siti Asiah istri Fir’aun.” (H.R Ahmad)

Bersabda Rasulullah SAW: “Wahai Khadijah, ini malaikat Jibril telah datang dan menyuruhku untuk menyampaikan salam dari Allah SWT kepadamu, dan memberikan kabar gembira kepadamu dengan rumah yang terbuat dari kayu, tidak ada keributan dan rasa capai didalamnya.” (H.R Bukhari-Muslim)

“Sebaik-baik wanita (langit) adalah Siti Maryam binti ‘Imran, dan sebaik-baik wanita (bumi) adalah Siti Khadijah binti Khuwailid.” (Al Hadist)

Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Mekkah, tahun 68 Sebelum Hijrah atau bertepatan dengan tahun 555 Masehi adalah tahun yang istimewa bagi keluarga  Khuwailid bin Asad. Karena di tahun itu lahir seorang bayi perempuan cantik di tengah-tengah keluarga Khuwailid bin Asad. Bagi masyarakat suku Quraisy waktu itu, mempunyai anak perempuan merupakan sebuah aib. Banyak dari mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, bahkan sebelum sang bayi merasakan udara dunia. Namun tidak demikian dengan Khuwailid bin Asad. Kehadiran bayi perempuan ditengah keluarganya, disambut dengan sukacita. Khuwailid bin Asad menamai putrinya Siti Khadijah. Nama lengkap sang bayi itu adalah Siti Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al Qurasyiyah al Asadiyah.

Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang terpandang dan bergelimang harta, tidak menjadikan Siti Khadijah sebagai sosok yang sombong. Justru keistimewaan yang ada pada dirinya membuatnya rendah hati. Julukan Ath-Thahirah tersemat padanya sebagai penghargaan bahwa Siti Khadijah adalah sosok yang mampu menjaga kesucian dirinya.

Tahun 575 Masehi, ibunda Siti Khadijah meninggal dunia. 10 tahun kemudian, ayahnya meninggal dunia. Menjadi yatim-piatu beserta harta warisan yang berlimpah bagi sebagian manusia bisa menjadikan diri terlena dan berfoya-foya. Namun tidak demikian dengan Siti Khadijah. Justru kematian kedua orang tuanya membuatnya tumbuh menjadi wanita mandiri. Siti Khadijah melanjutkan tradisi keluarganya sebagai pedagang. Tangan dingin Siti Khadijah membuat bisnis keluarganya berkembang pesat.

Pernikahan-pernikahan Sebelum dengan Rasulullah

Cantik, kaya, dan dari keluarga terpandang membuat Siti Khadijah menjadi bunga di Mekkah. Banyak bangsawan dan saudagar kaya berebut ingin meminangnya. Namun yang mampu memenangkan persaingan nan ketat tersebut adalah Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pasangan ini dikarunia dua orang anak yang diberi nama Halah dan Hindun.  Namun sayang, pernikahan itu tidak panjang usianya. Abu Halah meninggal dunia dengan meninggalkan anak dan harta yang banyak untuk Siti Khadijah.

Menyandang predikat janda muda nan kaya di kota seperti Mekkah tentu bukan hal yang mudah untuk dijalani bagi seorang Siti Khadijah. Namun, kecerdasan dan kepandaiannya dalam bergaul dan memanfaatkan peluang, menjadikan seorang Siti Khadijah wanita karier yang cemerlang masa depannya.

Ternyata setangguh apapun Siti Khadijah, ia tetap saja seorang perempuan yang butuh perlindungan seorang laki-laki. Apalagi dengan bisnis yang semakin berkembang pesat, membuat Siti Khidijah merasa sudah saatnya untuk memulai lagi biduk rumah tangga. Diantara sekian banyak pinangan yang datang kepadanya, Siti Khadijah memutuskan untuk menerima pinangan Atiq bin ‘Aid Al-Makhzumi. Namun, lagi-lagi Allah menguji kekuatan mental Siti Khadijah. Suami keduanya pun meninggal dunia.

Pernikahan dengan Rasulullah

Kembali dalam kesendirian membuat Siti Khadijah tertempa menjadi wanita yang kuat. Banyak sebenarnya pinangan yang datang kepadanya. Tapi Siti Khadijah menolak semua pinangan itu dengan halus. Siti Khadijah memilih untuk berkonsentrasi pada bisnis dan mengurus putra-putrinya.

Suatu hari, Siti Khadijah mendengar kabar tentang seorang pemuda yang pandai, cerdas, dan sangat terpercaya. Dialah Muhammad bin Abdullah. Pemuda itu menjadi buah bibir warga Mekkah karena kejujurannya. Tak heran julukan Al-Amin tersemat pada pemuda itu. Penasaran dengan pemuda tersebut, Siti Khadijah mengutus asistennya, Maisarah untuk datang kepada Muhammad bin Abdullah menawarkan pekerjaan  yaitu membawa barang dagangan Siti Khadijah ke negri Syam. Muhammad menerima tawaran tersebut.

Sebelum hari keberangkatan kafilah dagang ke negri Syam, Siti Khadijah berpesan kepada Maisarah untuk melaporkan segala sesuatu yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah di Syam. Maisarah menyanggupinya. Dan bertolaklah rombongan dagang milik Siti Khadijah dengan Muhammad bin Abdullah sebagai penanggung jawabnya.

Selang beberapa lama, rombongan itu kembali ke Mekkah dengan sukses. Muhammad bin Abdullah mampu meningkatkan penjualan barang dagangan Siti Khadijah sehingga meraup keuntungan besar. Sesampai di Mekkah, Maisarah yang ditugaskan oleh Siti Khadijah untuk mengamati tingkah laku Muhammad, datang menghadap Siti Khadijah. Inilah hasil pengamatan Maisarah: Muhammad bin Abdullah terbukti sebagai orang yang memiliki budi pekerti yang agung, berakhlak mulia, dan jujur. Dia sama sekali tidak pernah berbohong dalam menjual  barang. Apabila barang itu bagus, dia katakan bagus. Apabila barang yang dijual mutunya kurang bagus, maka diapun mengatakan yang sebenarnya sehingga kosumen merasa puas. Selama perjalanan berangkat dan kembali lagi ke Mekkah, Muhammad bin Abdullah benar-benar menjaga akhlaknya. Dia selalu menundukkan pandangannya. Benar-benar sosok yang mengagumkan.

Mendengar laporan Maisarah, Siti Khadijah semakin tertarik kepada kepribadian Muhammad bin Abdullah. Siti Khadijah mempunyai harapan lebih kepada Muhammad bin Abdullah. Melalui perantara Nafisah binti Muniyah, Siti Khadijah mengungkapkan keinginannya untuk bisa mengenal lebih dekat  dengan Muhammad bin Abdullah. Nafisah binti Muniyah mafhum dengan maksud Siti Khadijah. Nafisah binti Muniyah kemudian mendatangi Muhammad bin Abdullah dan terjadilah pembicaraan antara mereka.

“Mengapa engkau belum menikah, Muhammad?” selidik Nafisah binti Muniyah.

“Aku belum mampu untuk menikah.” Jawab Muhammad bin ‘Abdullah.

“Jika ada yang memenuhi kriteria sebagai istrimu, apakah engkau bersedia?” pancing Nafisah binti Muniyah.

“Siapa wanita itu?” tanya Muhammad bin ‘Abdullah.

Kontan Nafisah binti Muniyah menjawab: “Siti Khadijah binti Khuwailid.”

“Aku bersedia jika dia bersedia.” Jawab Muhammad bin ‘Abdullah.

Tidak menunggu lama, Nafisah binti Muniyah mendatangi Siti Khadijah untuk mengabarkan berita gembira tersebut.

Begitupun dengan Muhammad bin ‘Abdullah. Beliau segera menemui pamannya, Abu Thalib untuk menyampaikan niatnya meminang Siti Khadijah. Mendengar ungkapan dari keponakannya, Abu Thalib menyetujuinya. Abu Thalib, Hamzah, dan keluarga yang lainnya kemudian pergi menuju kediaman Amr bin Asad selaku paman dan wali Siti Khadijah untuk meminang Siti Khadijah.

Dengan maskawin 20 ekor unta muda, Muhammad bin ‘Abdullah menikahi Siti Khadijah binti Khuwailid. Wali dari Siti Khadijah diwakili oleh pamannya yang bernama Amr bin Asad, sedang dari pihak Muhammad bin Abdullah oleh Abu Thalib dan Hamzah. Perbedaan usia yang cukup jauh (sekitar 15 tahun), serta kesenjangan ekonomi  yang lebar antara mereka berdua  tidak menghalangi Muhammad bin ‘Abdullah dan Siti Khadijah membangun rumah tangga yang penuh berkah.

Allah Azza wa Jalla menganugerahi pasangan sempurna ini enam orang anak, yaitu:  Qosim (itulah mengapa Rasulullah juga sering dipanggil oleh penduduk Mekkah dengan sebutan Abu Qasim), ’Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Siti Fatimah. Kedua anak lelaki meninggal ketika masih bayi.

Menjelang Kerasulan

Mekkah sebelum datang Islam, sungguh penuh dengan kejahiliyahan. Berbagai tindak kejahatan dan perbuatan keji menjadi kebiasaan penduduknya. Mabuk-mabukan, membunuh anak-anak perempuan mereka, perang antar suku, menyembah berhala menjadi trend saat itu. Hal ini membuat Rasulullah yang waktu itu belum diangkat menjadi Rasul, menjadi risau dan galau. Beliau sering pergi ke gua Hira untuk ikhtila’ atau menyendiri. Beliau melakukan ikhtila’ di gua untuk beberapa malam bahkan kadang sampai sepuluh malam. Kemudian beliau turun kembali ke keluarganya untuk mengambil bekal dan kemudian kembali lagi ke gua Hira untuk melakukan uzlah. Demikian keadaan itu berlangsung sampai Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama melalui malaikat Jibril.

Siti Khadijah menunjukkan kredibilitasnya sebagai istri tauladan. Beliau mendukung sepenuhnya apa-apa yang dilakukan oleh suaminya, Rasulullah. Disaat Rasulullah memiliki kecenderungan untuk beruzlah dan berikhtila’ di gua Hira, Siti Khadijah mendukung dengan menyediakan dan menyiapkan bekal untuk Rasulullah. Hingga pada suatu hari Rasulullah pulang dari gua Hira dengan tubuh gemetar. Rasulullah segera menemui Siti Khadijah dan berkata, “selimutilah aku. Selimutilah aku!”

Siti Khadijah kemudian menyelimuti Rasulullah. Disaat Rasulullah sudah mulai tenang, beliau berkata, “Wahai Khadijah, tahukah kau apa yang terjadi denganku tadi?”

Kemudian Rasululllah menceritakan apa yang terjadi di gua Hira, dimana pada saat itu Allah SWT mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu yang pertama. Malaikat Jibril menemui Rasulullah dan mendekap beliau sambil mengucapkan, “Bacalah….”

“Aku tidak bisa membaca..” jawab Rasulullah.

Kemudian malaikat Jibril mendekap beliau kembali dan berkata, “Bacalah….”

“Aku tidak bisa membaca.” Rasulullah kembali menjawab.

Untuk yang ketiga kalinya malaikat Jibril mendekap Rasulullah dan berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

“Sungguh aku khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin).” Berkata Rasulullah mengakhiri ceritanya.

“Tidak! Bergembiralah. Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan membuat engkau kecewa. Engkau adalah seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Siti Khadijah menghibur dan menenangkan suaminya.

Ketika Siti Khadijah mendengar kejadian yang dialami oleh Rasulullah di gua Hira, Siti Khadijah ingat dengan sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul Uzza bin Qushai. Waraqah bin Naufal telah berusia lanjut dan kehilangan penglihatannya. Dia beragama Nasrani dan mampu menulis dalam bahasa Ibrani. Bahkan pernah menulis bagian-bagian Injil dalam bahasa Ibrani.Timbul niat Siti Khadijah untuk membawa suaminya, Rasulullah untuk menemui Waraqah bin Naufal.

“Wahai keponakanku, hal apa yang membawamu kemari?” bertanya Waraqah bin Naufal kepada Siti Khadijah.

“Wahai anak pamanku, dengarlah apa yang akan diceritakan oleh kemenakanmu ini (Rasulullah).” Jawab Siti Khadijah.

Kemudian Rasulullah menceritakan kejadian yang beliau alami di gua Hira.

“Itu adalah malaikat yang pernah Allah utus kepada Musa As. Oh, alangkah bahagianya apabila aku masih muda dan perkasa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu.” Berkata Waraqah bin Naufal setelah mendengar cerita keponakannya.

“Apakah mereka akan mengusirku?” Rasulullah bertanya.

“Ya, tidak ada seorangpun yang membawa seperti apa yang kamu bawa kecuali dimusuhi dan diperangi oleh kaumnya. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu, niscaya aku akan membantumu sekuat tenaga.”

Tidak berapa lama setelah kedatangan Rasulullah, Waraqah bin Naufal meninggal dunia.

Menurut riwayat yang valid, yaitu dari Baihaqi. Bahwa setelah kejadian itu, wahyu dihentikan semantara selama enam bulan. Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia berkata :“Aku mendengar Rasulullah SAW berbicara tentang terhentinya wahyu. Beliau berkata kepadaku:“ Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Ketika kepala kuangkat , ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’“, kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan kukakatan kepadanya,“ Selimutilah aku , selimutilah aku ….selimutilah aku ….!”

Sehubungan dengan itu Allah kemudian berfirman :“ Hai orang yang berselimut. Bangunlah dan berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (QS Al Muddatsir 1-7)

Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

 

The First Poeple and Woman in Islam

Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari Siti Aisyah r.a: “Hampir Rasulullah tidak pernah keluar rumah sehingga menyebut Siti Khadijah dan memujinya. Pada suatu hari, Rasulullah menyebutnya dan timbullah kecemburuanku. Lalu aku (Siti Aisyah) berkata kepada Rasulullah: “Bukankah dia hanya seorang yang sudah tua dan Allah SWT telah mengganti untuk kakanda orang yang lebih baik darinya?”

Mendengar hal itu, Rasulullah marah dan kemudian bersabda: “Demi Allah! Allah tidak pernah menggantikan yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia membelaku dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku, dan aku dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak dari istri-istriku yang lain.” Subhanallah!

Itulah seorang Siti Khadijah!

Dari riwayat tersebut, kita tahu bahwa Siti Khadijah adalah orang yang pertama kali beriman dan mengimani apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah tanpa ada keraguan sedikitpun. Bukan karena yang menyampaikan risalah itu adalah suaminya, tapi beliau menerima risalah itu semata-mata karena iman kepada Allah SWT.

 

Menjelang Wafat

Setelah turun wahyu yang kedua, Rasulullah mulai mendakwahkan risalah Islam. Dakwah yang beliau lakukan di tiga tahun pertama adalah dakwah siriyyah atau dakwah secara sembunyi-sembunyi. Setelah itu turun lagi wahyu dari Allah SWT yang menyerukan kepada Nabi SAW untuk berdakwah secara terang-terangan.

Sungguh berat rintangan yang Rasulullah hadapi manakala beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy secara terang-terangan. Sedikit sekali masyarakat Mekkah yang percaya akan apa yang dibawa oleh Nabi SAW. Dan itupun kebanyakan dari kalangan bawah. Sementara para bangsawan Mekkah menentang keras risalah Rasulullah. Mereka mengupayakan berbagai cara untuk menghadang dakwah Rasulullah dan sahabat. Dari penyiksaan, pengusiran, pemboikotan, dan pembunuhan.

Sebagai istri yang beriman kepada kerasulan suaminya, Siti Khadijah telah mengorbankan semua yang dimilikinya untuk mensupport misi Rasulullah. Disaat Rasulullah susah hati karena penentangan kaumnya, Siti Khadijah tampil sebagai penenang hati dan pendorong semangat. Ketika Rasulullah membutuhkan dana untuk dakwah Islam, tanpa ragu Siti Khadijah memberikan seluruh harta kekayaannya untuk diinfakkan di jalan Allah SWT.

Ketika kaum musyrik Quraisy melakukan pemboikotan kepada bani Hasyim dan Bani Muthalib, Siti Khadijah rela meninggalkan rumahnya untuk bergabung dengan Rasulullah dan Sahabat di syi’ib (pemukiman) bani Muthalib. Pemboikotan berlangsung dari tahun ketujuh kenabian sampai tahun kesepuluh kenabian. Kaum muslimin dan kaum kafir dari bani Hasyim dan bani Muthalib (mereka ikut diboikot karena semata-mata fanatisme kesukuan!) dikepung di syi’ib bani Muthalib. Mereka tidak dijinkan melakukan jual-beli dan bermasyarakat dengan suku lain.

Usia yang semakin renta, tubuh yang sudah tidak sekuat diwaktu muda,ditambah dengan pemboikotan kaum kafir Quraisy, membuat kondisi Siti Khadijah semakin lemah. Tapi itu tidak membuat keimanannya berkurang. Justru itu membuat Siti Khadijah semakin yakin akan kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah.

 

Menjelang usianya yang ke 65 tahun, atau tiga tahun sebelum hijrah Nabi, Siti Khadijah menutup mata menghadap Rabbnya. Kematian Siti Khadijah membuat Rasulullah bersedih. Telah pergi teman sejatinya dalam hidup untuk menemui Rabb. Rasulullah menyebut tahun meninggalnya Siti Khadijah sebagai “tahun dukacita”.

 

Kesimpulan

Rasulullah pernah bersabda:”Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecatikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu.” (HR Muslim)

No body is perfect! Tapi Siti Khadijah adalah pengecualian. Dia mempunyai harta yang banyak sebelum menikah dengan Rasulullah. Dia juga berasal dari keluarga yang terhormat. Kecantikannya pun diakui seantero penduduk Mekkah. Dan agama? Fakta sejarah berbicara bahwa Siti Khadijah adalah orang yang pertama kali menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah. Bahkan keislamannya pun tidak ada celanya. Siti Khadijah memberikan seluruh yang dia punya untuk kejayaan Islam. Mulai dari harta, cinta, dan nyawa.

Semoga kita bisa mengikuti jejak Siti Khadijah walaupun mungkin secara kualitas tidak akan bisa sebanding dengannya. Amien.

 

*Dipublish pertama kali di http://trulyurnie.wordpress.com/