Imam Fakhruddin al-Razi menyatakan dalam kitab Lawami’ al-Bayyinat Syarh Asma’ Allah Ta’ala wa al-Shifat, begini: “banyak dalil yang menyebutkan keutamaan berzikir dengan menyebut asma Allah dan sifat-sifatnya, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun secara akal. Banyak ayat Al-Qur’an menjadi dalilnya, yang pertama adalah firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 180:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Dan bagi Allah al-asma’ al-husna maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama tersebut serta tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya kelak mereka akan mendapatkan balasan akan apa yang mereka kerjakan
Yang kedua adalah firman Allah di akhir QS. Al-Isra’: 110,
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah (Muhammad) berdoalah kepada Allah atau berdoalah kalian kepada al-Rahman, dengan nama saja kamu dapat menyeru, karena Dia memiliki nama-nama terbaik (al-asma’ al-husna)
Ketiga adalah firman-Nya dalam QS. Thaha: 9,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Allah, tiada Tuhan selain Dia. Bagi-Nya al-asma al-husna
Adapun ayat keempat adalah firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr: 24,
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Dialah Allah Maha Pencipta, Maha Mengadakan, Maha Pembentuk rupa, bagi-Nya al-asma’ al-husna
Perlu diketahui bahwa kata al-husna merupakan bentuk ta’nits (untuk merujuk perempuan) dari kata al-ahsan, seperti halnya kata al-kubra dan al-sughra. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa nama-nama Allah disifati dengan al-husna.
Pertama, karena ia menunjuk pada makna keindahan. Karena sifat paling sempurna, luhur dan tinggi hanyalah sifat Allah SWT. Kedua, maksud dari al-asma’ di sini adalah penyifatan-penyifatan keindahan yang tertuju pada keesaan, keagungan, kemuliaan, serta ketakserupaan dengan makhluk.
Sementara yang perlu dihindari perihal penyebutan nama-nama Allah yakni kesesatan dalam iktikad. Demikian Allah memerintahkan untuk menjauhi kaum yang menyalahi nama-nama-Nya, yang dalam ayat di atas mereka disebut yulhidun atau ilhad(an) dalam bentuk mashdarnya. Al-ilhad sendiri secara bahasa berarti kecenderungan, penyelewengan, menyimpang dari kebiasaan yang benar. Seorang mulhid tiada lain adalah ia yang menyingkir dari jalan kebenaran.
Al-ilhad dalam asma Allah SWT dapat diartikan dalam beberapa wajah. Pertama, menyifatkan pada-Nya dengan sifat yang tidak diperbolehkan. Seperti penyataan sementara orang Nasrani bahwasanya Dia adalah permata dan bapak al-Masih; pernyataan kaum Karramiyah bahwasanya Dia berjisim; pernyataan Mu’tazilah bahwasanya tiada ilmu, kuasa dan hidup bagi Allah.
Padahal jelas-jelas Allah telah menetapkan dalam firman-Nya, al-Nisa’: 166
لكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِه
Fusshilat: 47
وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِ
Luqman: 34
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ
Al-ilhad yang kedua perihal asma Allah yakni semisal penamaan berhala dengan sebutan tuhan. Masyarakat Jahiliyah, misalnya, menyebut al-Lat dari akar kata Allah, al-Uzza dari kata al-Aziz. Demikian ini penyimpangan atas al-asma’ al-husna, melampaui batas yang telah digariskan di dalam Al-Qur’an.
Kembali kepada ayat-ayat yang menjadi dalil atas keutamaan berzikir adalah firman-Nya QS. Al-Baqarah: 152.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُون
Dari ayat ini kita diperintah untuk melaksanakan dua hal yakni berzikir dan bersyukur. Bahwa perintah berzikir diletakkan lebih mula daripada syukur tidak lain karena berzikir berarti menyibukkan diri dengan mengingat-Nya sementara bersyukur berarti mengingat nikmat-Nya.
Terdapat tiga mode zikir yakni berzikir dengan lisan, hati, serta anggota badan. Berzikir dengan lisan yakni melafalkan tahmid, tasbih, dan sebagainya.
Adapun berzikir dengan hati terbagi dalam tiga cara bagi kita. Pertama, memikirkan dalil-dalil akan Dzat dan sifat. Kedua, memikirkan penanda perihal taklif, baik berupa perintah, larangan, peringatan, serta janji dan berusaha sedapat mungkin mencapai hikmah dan rahasia di baliknya. Sehingga menjadi mudah bagi kita untuk menjalankan ketaatan dan meninggalkan hal-hal terlarang. Ketiga, memikirkan rahasia makhluk-makhluk Allah sampai pada setiap zarrah terlihat seperti cermin yang menampakkan kedekatan pada alam gaib. Ketika seorang hamba melihat dengan mata akalnya pada hal tersebut muncullah darinya sinar pandangan rohani atas alam mulia. Titik ini adalah maqam tiada ujung serta lautan tak bertepi baginya.
Sementara berzikir dengan anggota badan yakni menggelamkan tubuh pada ketaatan serta menyepikannya dari segala larangan. Tafsiran ini juga selaras dengan firman Allah yang menyebut bahwa salat adalah zikir. Jika para pembaca sekalian mengerti apa yang kami katakan maka sepatutnya juga mengetahui bahwa firman Allah, fadzkuruni, mengandung perintah untuk menjalankan segala ketaatan.
Sementara firman-Nya, adzkurkum, tiada lain adalah bentuk keluhuran-Nya atas pemberian tingkatan karomah dan kebaikan. Pertama adalah al-tsawab (pahala) yang merupakan titik mula dalam pencarian puncak syari’ah. Kemudian al-ta’dzim (pengagungan) yang merupakan titik mula dalam pencarian puncak tarekat. Selanjutnya adalah al-ridhwan (kerelaan) yang merupakan titik mula dalam pencarian puncak hakikat.
Isyarat akan tingkatan ini yakni firman-Nya di akhir surat al-Baqarah,
وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا
Pun juga firman-Nya di akhir surat al-Waqi’ah merupakan pertanda dari adanya tingkatan-tingkatan tersebut.” Demikian tulis Imam al-Razi dalam kitab Lawami’ al-Bayyinat. Wallahu a’lam.