Dalam hadis dinyatakan bahwa puasa adalah milik-Nya, maka pada hakikatnya ibadah puasa adalah ”tanpa-laku.” Ini bukan dalam makna lahir atau fisik, namun mengacu pada makna ruhani dari ”tanpa laku” – yakni diam, hening. Yaitu, mengheningkan batin dengan cara menahan keinginan lahiriah bahkan termasuk yang halal dan menahan keinginan batiniah terutama yang buruk-buruk, seperti keinginan berdusta, mengeluh, ghibah, bertikai, memusuhi dan yang semacam itu.
Puasa dalam makna ini hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang, golongan elit menurut Imam al-Ghazali, yakni puasanya ”orang khusus dari yang khusus.” Ketika ”haal” (keadaan ruhani) seseorang telah menyatukan ”laku” dengan ”tanpa laku”, yang berarti sudah menisbahkan semua tindakannya kepada Allah, menyatukan tanzih (transendensi) dan tasybih (imanensi), maka Allah sendirilah yang akan mengekspresikan atau mengejawantahkan Diri-Nya melalui orang yang berpuasa secara khusus ini: ”… Aku menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, penglihatannya yang dengannya dia melihat ..” dan seterusnya seperti tertera dalam Hadis Qudsi yang masyhur di kalangan sufi.
Jika demikian keadaannya, maka seseorang berarti telah kembali kepada keadaannya yang semula, fitrah – atau dalam ungkapan umum ”aidil fitri,” kembali ke keadaan sebenarnya melalui puasa. Manusia kembali kepada keadaan bahwa dirinya bukan apa-apa karena, sebagaimana puasa, manusia adalah milik-Nya. Karenanya, kewajiban dalam berpuasa secara syariat adalah menahan diri melakukan tindakan-tindakan yang haram maupun halal selama ia berpuasa, dan melakukan tindakan-tindakan ibadah wajib dan sunnah sesuai perintah-Nya, agar terbit kesadaran hakiki tentang ”la haula wa quwwata illa billah,” tidak ada daya dan kekuatan apapun kecuali dari Allah, yaitu kesadaran bahwa meski orang makan, namun sesungguhnya orang kenyang bukan karena makan melainkan karena Allah, bahwa orang beribadah bukan karena dirinya sendiri mampu beribadah melainkan karena diizinkan dan diberi kekuatan oleh Allah, dan seterusnya. Karena itu dalam pengertian ini seseorang melalui ibadah puasa yang adalah ”milik-Nya” itu kembali kepada-Nya bukan melalui dirinya sendiri tetapi melalui sesuatu yang merupakan milik Allah.
Pada gilirannya, karena ia secara ruhani menyerahkan hakikat ibadahnya kembali kepada Sang Pemilik, maka dirinya ridho untuk dikendalikan oleh Sang Pemilik sehingga ia berhak menyandang amanah sebagai ”khalifah Allah di muka bumi.”
Ini dilambangkan dengan Idul Fitri, kembali kepada kesuciannya, yakni mensucikan segala sesuatu yang dinisbahkan secara semu kepada klaim dirinya sendiri, sebab segala sesuatu adalah milik Allah. Karenanya, pada malam idul fitri disunnahkan bertakbir, mengagungkan Allah, bukan dalam arti membesarkan Allah dibandingkan dengan yang lain, sebab Allah jelas tiada bandingan, tetapi dalam arti bahwa Allah memang Maha Besar tiada bandingan sehingga tak sepatutnya orang yang sudah kembali kepada-Nya melihat kebesaran semu dalam dirinya sendiri, karena dirinya pada hakikatnya tidak punya apa-apa, bahkan nyawanya sendiri pun bukan miliknya. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, wa lillahilhamd, Maha Besar Allah dan Segala Puji adalah Kepada-Nya, karena kebagusan akhlak dan kebeningan ruhani setelah berpuasa sesungguhnya adalah anugerah-Nya juga.
Karena itu sepatutnya manusia pada hari raya Idul Fitri justru lebih banyak bersyukur dan meminta maaf kepada manusia, sebab tindakan meminta maaf secara kolektif berarti semua orang yang terlibat dalam puasa melakukan ”pengakuan massal” bahwa mereka telah punya salah kepada sesama manusia, yang semuanya sama-sama makhluk Allah yang tidak punya apa-apa. Sekiranya kita belum sampai pada kondisi puasa amat khusus itu, maka permintaan maaf kita adalah menutupi kekurangan adab ruhani kita.
Meminta maaf kepada sesama berarti menyambung kembali tali silaturahim ruhani yang ternoda oleh gesekan-gesekan ego/nafsu dan dosa pada manusia dan pada Tuhan. Ketika orang bersalah kepada manusia, misalnya melakukan fitnah dan dusta, maka pada saat yang sama ia bersalah kepada Tuhannya karena melanggar larangan-Nya. Karena Kasih-Sayang-Nya, dan Dia Maha Tahu bahwa tak semua orang mampu berpuasa sebagaimana seharusnya, maka Allah memberi jalan pengampunan melalui tali silaturahim dan permintaan maaf kolektif, paling tidak membuat kita sadar bahwa kita sesama Muslim adalah saudara, dan sama-sama hamba Allah yang punya salah, sehingga diharapkan bisa mengikis salah satu dosa terbesar, yakni kesombongan, merasa paling benar sendiri, dan merasa lebih baik dari orang lain.
Maka dari itu, para arifbillah menunjukkan melalui simbol-simbol, bahwa puasa dan perayaan Idul Fitri pada hakikatnya adalah bentuk pendidikan ruhani juga; yang masyhur adalah simbol ketupat (aslinya adalah dari kata kupat) yang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijogo. [bersambung]