Konflik Arab Israel dan Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun, telah menghasilkan jurang dalam bagi hubungan dua umat beragama dunia, Yahudi dan Islam. Narasi-narasi mengenai kekejaman bangsa Yahudi terhadap orang-orang Arab di tanah Palestina, semakin mengukuhkan persepsi negatif masyarakat terhadap rumpun agama semitik ini.
Di Indonesia sendiri, stigma negatif terhadap bangsa Yahudi ini terekam jelas dalam sebuah lirik lagu berjudul “Merah Saga” yang muncul pada permulaan era reformasi, “ketika Yahudi-Yahudi memabantaimu…”.
Dilalahnya, penggunaan istilah Yahudi dan Zionisme seringkali dipertukarkan tanpa dipahami apa beda makna dari keduanya.Yahudi merupakan salah satu dari tiga agama rumpun semitik bersama Kristen dan Islam. Sementara, zionisme adalah sebuah gerakan politik yang bersandar pada klaim kitab suci untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang dijanjikan (zion), yang mereka yakini adalah Palestina.
Tidak semua orang Yahudi setuju dengan gagasan pendirian negara Yahudi ini. Bahkan, mereka meyakini bahwa pendirian negara Israel adalah sebuah bid’ah (penyimpangan dalam agama) pada ajaran Yahudi. Di antara kelompok Yahudi penentang ide Zionisme ini adalah Neturei Karta yang merupakan salah satu sekte ortodoks Yahudi.
Jika kita kembali berkaca pada sejarah, dapat kita temukan bahwa pemerintahan Islam pernah memberikan ruang kreasi yang amat besar bagi perkembangan bangsa Yahudi. Masa Peradaban Islam Klasik, adalah masa ketika Muslim dan Yahudi bersama berkontribusi membangun peradaban dalam naungan pemerintahan Islam.
Sebagaimana dikatakan Nurcholis Madjid dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, kaum Yahudi adalah orang-orang dari kalangan non-muslim yang paling banyak menikmati toleransi dan keterbukaan Islam. Pada masa inilah, bangsa Yahudi mencapai kegemilangan peradabannya.
Max I Dimont menyebut, bangsa Yahudi memiliki peranan yang amat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Hal ini dikarenakan, mereka memiliki banyak kemampuan bahasa asing, terutama Yunani, Arab, Suryani, dan Persia.
Meski memiliki proporsi jumlah yang kecil di kalangan non-muslim, bangsa Yahudi telah memberikan kontribusi yang amat kaya dalam pelbagai aspek ilmu. Dalam pangkuan peradaban Islam pun, bangsa yang telah berumur 2500 tahun ini, berhasil mencapai zaman keemasannya.
Dalam catatan sejarah, harmoni kehidupan Yahudi dan Muslim ini banyak terekam jelas dalam kehidupan sosial-masyarakat pada era Kekhalifahan Andalusia di Spanyol. Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jaelani Halimi dalam buku Sejarah Islam menyebut, mayoritas kaum Yahudi yang tinggal di bandar-bandar besar dan turut berkontribusi bersama tentara Islam dalam melawan bangsa Visigoth di tanah Spanyol.
Philip K. Hitti (2010) dalam History of The Arabs menggambarkan dengan gamblang bagaimana gemilangnya peradaban di Semenanjung Iberia pada periode Islam ini.
Pada saat itu, ibukota kekhalifahan, Kordoba, adalah salah satu dari tiga pusat kebudayaan dunia, bersama dengan Konstantinopel di Turki dan Baghdad di Irak. Kordoba dilengkapi dengan 130.000 rumah, 21 kota pinggiran, 73 perpustakaan, dan sejumlah toko buku, masjid dan istana.
Jalan-jalan di ibukota pun memiliki kontur yang rata dengan lampu penerangan bermil-mil panjangnya. Sebagai perbandingan, Hitti menyebut bahwa London baru memiliki satu lampu umum tujuh abad setelah masa tersebut dan Paris beberapa abad setelahnya dipenuhi dengan kubangan lumpur di jalan-jalan kota.
Kemasyhuran negeri ini tidak lepas dari kontribusi orang-orang non-muslim dalam pengembangan kehidupan intelektual di Kekhalifahan Andalusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hitti (2010), pencapaian tertinggi intelektual Peradaban Islam di Andalusia terjadi dalam ranah pemikiran filsafat.
Di antara filsuf awal-awal Kekhalifahan Andalusia, adalah seorang Yahudi bernama Solomon ben Gabirol (1021-1058) atau yang juga dikenal sebagai Avicebron atau Avencebrol. Ia merupakan guru besar pertama dari aliran neo-Platonis di Barat dan acapkali dijuluki sebagai Plato-Yahudi (Hitti, 2010).
Selain ben Gabirol, dikenal juga seorang filsuf besar dari Andalusia yang menduduki posisi penting setelah Ibnu Rusyd, yakni Abu Imran Musa ibn Maymun (1135-1204) yang dalam bahasa Ibrani bernama Mosheh ben Maimon atau Maimonides.
Ia merupakan dokter dan filsuf Yahudi paling terkenal di penjuru negeri-negeri Arab. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang teolog dan filsuf. Karya utamanya dalam filsafat berjudul Dalalat al-Ha’irin (Penuntun untuk Orang yang Bingung) yang berusaha mendamaikan iman dengan rasio dalam ajaran Yahudi.
Pada tanggal 2 Januari 1492, Kota Granada sebagai benteng pertahanan umat Islam yang terakhir di Spanyol, direbut oleh pasukan pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Kejatuhan kota Granada ini menandai akhir dari kisah gemilang Peradaban Islam di tanah Eropa.
Keruntuhan Peradaban Islam itu pun turut diratapi oleh kaum Yahudi yang menuntun mereka pada keruntuhan peradaban mereka sendiri (Madjid, 1992). Totalitas partisipasi umat Yahudi dalam peradaban Islam membawa mereka pada asimilasi dan peleburan nilai-nilai keislaman dalam identitas mereka.
Kuatnya pengaruh asimilasi tersebut oleh Abraham S. Halkin disebut sebagai “orang-orang Yahudi jenis baru” atau juga dikenal sebagai “Yahudi Islam”. Hal ini terjadi akibat dampak intelektual dan kultural berabad-abad dominasi umat Islam di tengah kehidupan orang-orang Yahudi.
Pengalaman indah yang dirasakan kaum Yahudi modern selama berabad-abad dalam naungan umat Islam, membawa kesadaran bagi mayoritas umat Yahudi mengenai petaka pendirian Israel sebagai sebuah negara. Bahkan, Marshall Hodgson menilainya sebagai irrelevansi secara historis maupun geografis terhadap realitas yang ada.
Zionisme yang menghendaki berdirinya Israel dianggap sebagai manifestasi dwi kezaliman. Yakni kezaliman terhadap sejarah mereka terkait dengan peradaban Islam dan kezaliman terhadap bangsa Arab yang telah melindungi mereka selama berabad-abad.