Ketika Ustadz Tidak Lagi Menjadi Solusi

Ketika Ustadz Tidak Lagi Menjadi Solusi

Ketika Ustadz Tidak Lagi Menjadi Solusi

Sebut saja namanya Andi. Ia adalah pekerja kantoran yang masih jomblo meski usianya sudah tiga tahun melewati usia ketika Nabi Muhammad menikah. Ingin mapan dulu, ia berkilah. Untuk menuju kemapanan tersebut, ia rajin masuk kantor pukul 8 tepat dan baru beranjak keluar ruangan tempat ia bekerja pada pukul 4 sore. Karena ia tinggal di kota besar yang rawan macet, maka ia membiasakan diri keluar rumah di pagi hari selepas salat shubuh dan baru sampai di rumah pada saat matahari sudah tenggelam.

Untuk terlihat bahwa ia mulai menuju kemapanan, ia membeli rumah dan kendaraan pribadi berupa mobil. Tentu saja dengan jalan kredit. Untuk memperbaiki intelektualitasnya, ia mengambil kuliah magister kelas karyawan di jumat malam dan sabtu pagi hingga sore. Minggu adalah satu-satunya hari di mana ia bisa berlibur. Kadang waktu libur itu ia habiskan dengan tidur full seharian. Semacam balas dendam dari rutinitasnya.

Lambat laun ia merasa ada yang salah dengan hidupnya. Ia mengalami kecemasan yang tak dapat ia deskripsikan. Awalnya ia merasa karena tuntutan pekerjaan dan tugas di kampus. Lambat laun kecemasan itu tidak juga menghilang. Mulailah ia mencari solusi. Setelah mendapatkan rekomendasi dari kawan, ia datang ke seorang ustadz. Ustadz bilang ia kemasukan jin. Ia harus diruqyah. Maka diruqyahlah dia. Pertama ia merasa kecemasannya hilang.

Tapi kemudian datang lagi. Diruqyah lagi, cemas reda, datang lagi, diruqyah lagi. Begitu terus. Kecemasan itu lambat laun kian menguat. Rukyah sudah tak lagi mempan bagi jiwanya. Malah semakin membebaninya, karena diruqyah berarti dia harus mengeluarkan uang ekstra. Ruqyah tidak gratis bukan? Ya meskipun seikhlasnya, tetapi kita tahu di dunia ini tidak ada yang benar-benar seikhlasnya bukan?

Karena selalu merasa cemas. Akhirnya kerjaannya menjadi kacau. Ia pun diberhentikan dari kantor. Demikian pula di kampus. Memang di belum di-DO, tetapi tesisnya tak kunjung selesai. Karena kini ia tak punya pekerjaan pasti, ia tak mampu lagi mencicil rumah dan mobilnya. Stresnya kian menjadi. Satu yang tersisa, ia tak lagi percaya dengan ustadz yang semula meruqyahnya.

Lain lagi dengan Anton. Sebut saja namanya demikian. Ia adalah lelaki mapan, yang bekerja di perusahaan bonafid. Istrinya cantik, anaknya dua, sedang lucu-lucunya. Bagi Anton, hidup sedang berfihak padanya. Sampai pada sebuah moment ia merasa ada yang salah dengan dirinya. Ada sebuah ruang dalam hatinya yang tidak terpenuhi. Ruang spiritualitas. Mulailah ia rajin melihat video youtube kajian keislaman dari berbagai ustadz. Kemudian ia mulai menyukai seorang ustadz.

Anton berpendapat ustadz ini memuaskan hati dan fikirannya karena selalu berpegangan hanya kepada Al-Qur’an dan hadis. Ketika sang ustadz melakukan kajian offline, ia pun sering menghadirinya. Pada suatu kesempatan yang ditunggu-tunggu, ia bisa berkonsultasi secara langsung dengan ustadz tersebut. Ia ceritakan semua keresahan di hatinya yang terasa kering. Ustadz berpendapat bahwa semua keresahan itu berawal dari pekerjaannya yang tidak halal, karena Anton bekerja di perusahaan yang kata ustadz ada banyak unsur riba di dalamnya. Ustadz menyarankan hijrah.

Maka mulailah Anton berhijrah. Ia resign dari perusahaannya. Ia perintahkan istrinya untuk berhijab dan bercadar ketika keluar rumah atau ada tamu. Anak bungsunya yang baru berumur 3 tahun pun ia mulai biasakan untuk berhijab. Anton memulai bisnis baru yang sesuai dengan syariah. Jualan pasta gigi yang mengandung siwak. Dia punya slogan iklan yang sangat bagus: “Saatnya hijrah ke pasta gigi halal”, seolah yang bukan pasta gigi punya dia adalah haram. Bukan hanya pasta gigi, ia pun berjualan gamis, hijab dan cadar, celana syar’i yang tidak isbal, dan lainnya.

Sayang, usahanya gagal. Maklumlah, jiwanya bukan pedagang. Bukan hanya gagal, namun juga menyisakan hutang yang besar. Rumah dan mobil terpaksa ia jual. Kini ia bersama istri dan anaknya tinggal di sebuah kontrakan sempit.

Ia pun mencoba profesi lainnya. Yakni menjadi seorang ustadz. Ia rasa hijrahnya yang lumayan lama cukup menjadi bekal bagi dirinya untuk memberikan dakwah kepada orang lain. lagi-lagi sayang, ia tak pandai beretorika. Akhirnya undangan mengisi kajian pun tidak berdatangan. Dia lelah. Saat dia lelah, dia lihat ustadz yang dulu mengajaknya untuk hijrah berlalu dihadapannya dengan menaiki Moge keluaran terbaru yang berharga ratusan juta. Ia tahu belaka bahwa moge itu adalah koleksi kesekian sang ustadz yang menemani deretan mobil mewah yang tersimpan dalam garasi di rumah besar sang ustadz. Kecewakah, Anton? Wallahu a’lam.

Dari dua cerita di atas, sebenarnya ending buruk bisa diminimalisir apabila Andi datang ke psikiater atau Anton belajar agama pada seorang ulama yang benar, bukannya ustadz yang selebritas. Tetapi kenyataan yang sering terjadi tidaklah demikian. Logika dan agama tidak selalu berjalan beriringan. Ada satu daya kuat dari sisi spiritualitas yang susah ditolak, yakni daya magis. Khususnya di Indonesia, daya magis agama adalah hal yang sangat diminati.

Berabad yang lalu Emile Durkheim dalam studi agama menjelaskan bahwa agama dan daya magis adalah dua hal yang mesti dipisah. Namun, alih-alih beragama secara rasional, orang biasanya memilih untuk beragama secara irasional. Fakta ini dipertajam dengan adanya beberapa pemuka agama (ustadz) yang memanfaatkan fenomena ini. Ada ustadz yang menawarkan pengobatan islami yang katanya akan secara ajaib menghilangkan penyakit seseorang entah secara jasmani maupun rohani. Tapi yang biasanya terlihat kemudian ya tidak jauh berbeda dengan metode pengobatan Ponari.

Bahwa pada beberapa kesempatan daya magis tersebut terbukti efektif, memang benar adanya. Tetapi penggunaan narasi agama khususnya Islam dalam hal demikian apakah bukan berarti mereduksi peran agama itu sendiri. Terlebih bila alternatif itu ternyata kemudian gagal.

Setidaknya ini pun menjelaskan fenomena kenapa salat istisqo yang kita lakukan tidak kunjung membuahkan turunnya hujan. Karena apalah artinya istisqo tanpa komitmen kita untuk menjaga lingkungan agar tetap hijau, merawat pepohonan agar bisa menjadi media pengikat air di hutan, dan sederet upaya rasional lainnya untuk menjaga alam kita. Tanpa itu semua, sholat istisqo yang kita lakukan ibarat seseorang yang meminta rizqi tanpa mau bekerja.

Terakhir, penulis ingin mengingatkan bahwa dulu, Nabi keluar untuk berperang. Beliau siapkan pasukan. Beliau tempuh kecamuk perang yang berdarah-darah itu. Saya tidak bisa membayangkan apabila yang Nabi lakukan hanya berdiam di dalam rumah dan berdoa meminta kepada Allah agar mengusir kaum kafir harbi. Jika itu yang dilakukan Nabi, mungkin saat ini Kakbah masih diisi berhala-berhala.