Syahdan pada suatu doanya, Umar bin Khattab RA berucap, “Allah, masukkanlah aku ke dalam golongan yang lebih sedikit.” Ini doa yang agak aneh memang. Orang kebanyakan selalu ingin menjadi bagian dari kelompok besar, menjadi arus utama, tapi Umar berdoa agar dijadikan bagian dari kelompok yang sedikit.
Dalam kelompok sosial, golongan yang lebih sedikit atau paling sedikit disebut kelompok minoritas (al-aqalliyah), tapi doa Umar tidak sedang menyinggung kelompok sosial. Doa itu, dijelaskan oleh Syu’bah Asa dalam “Tafsir Ayat-ayat Sosial”, sebetulnya menekankan pentingnya mutu, kualitas.
Dan kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar, dalam konteks apa pun, jelas adalah kelompok bermutu, sehingga golongan kecil yang diinginkan oleh ‘Umar dalam doanya tentulah adalah golongan paling bermutu.
Jauh sebelum ‘Umar berdoa semacam itu, Surat al-Baqarah sudah memberitakan agar tidak meremehkan kelompok kecil. Dalam redaksi di baris ke-249 disebutkan: “…Berkatalah mereka yang yakin akan menemui Allah ‘Berapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan perkenan Allah. Sungguh Allah bersama mereka yang tahan uji’.”
Seperti halnya doa ‘Umar, ayat itu juga tidak membicarakan pengelompokan sosial, kecuali hanya membicarakan peperangan seperti yang diceritakan di bagian awal ayat itu. Yaitu ketika sebagian tentara Thalut (Raja Saul) berseru kepada rekan-rekan mereka yang ciut nyalinya saat menghadapi kekuatan besar Jalut (Goliath) dan tentaranya di masa Nabi Syamwil (Samuel) AS menjelang kebangkitan Daud AS. Tapi makna sebuah ayat atau bagiannya, sebetulnya tidak terpaku mati, dan ayat tentang peperangan itu bisa juga mencakup bidang yang pararel.
Maka yang terlihat dari ayat itu adalah faktor mutu, yang salah satu komponennya bisa dipahami dengan ada ujian (kesabaran) dan itu ada kisahnya.
Syahdan, Raja Thalut berseru kepada tentaranya bahwa siapa saja yang mampu menahan diri tidak meminum air sungai yang akan mereka lewati, mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka yang tidak tahan, derajatnya “bukan golonganku” meskipun turut berperang.
Mereka yang tahan uji itulah yang memungkinkan berkata kepada rekan-rekan mereka, “…Berapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar…” Dan komponen mutu dalam ayat ini adalah soal disiplin, dan hal itu bersumber pada keimanan mereka: “…Yakin mereka akan menemui Allah…”
Tapi yang bisa terbayang pada doa Umar tentulah bukan soal disiplin itu melainkan bisa pula soal keluasan wawasan atau kemampuan memimpin. Umar adalah salah satu tokoh yang tercantum dalam buku popular “The 100.” Buku yang ditulis Michael Hart itu berisi tentang orang-orang yang dinilai paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah.
Di buku itu, Umar adalah hanya dua tokoh yang mewakili Islam selain Nabi Muhammad SAW. Tapi sebelumnya, berbagai riwayat sudah menceritakan kelebihan Umar yang bersumber dari kata-kata Nabi. Dalam “Manaqib”, Turmudzi meriwayatkan perkataan Nabi, “Andai saja ada nabi setelah aku, dia itulah Umar.”
Menurut Syu’bah, andaikan orang-orang dari golongan yang sedikit itu berhimpun, misalnya dalam konteks politik, dalam satu partai, maka partai minoritas ini akan menjadi paling bermutu. Mereka mungkin belum tentu menang dalam pemilihan umum sebab konteks kemenangan kelompok kecil atas kelompok besar bukan konteks demokrasi seperti yang menampakkan dirinya paling terang dalam pemilu.
Apabila strata antar golongan digambarkan sebagai kerucut dengan partai paling bermutu berada di paling puncak, demokrasi adalah sistem yang akan selalu memenangkan golongan yang paling tidak bermutu, dan yang akan menang adalah golongan yang paling bawah.
Keadaan akan berbeda jika kerucut itu adalah kerucut sebuah partai: pribadi-pribadi paling bermutu berada di posisi paling pucuk sehingga partai bisa menjadi partai bermutu. Dan itu sesuai dengan bunyi ayat tentang kelompok kecil [bermutu] yang mengalahkan, mempengaruhi, menentukan kemauan kelompok besar.
Tentu ini hanya soal tafsir tapi cerita tentang kelompok minoritas yang mengendalikan sebuah partai besar, sebuah kelompok mayoritas bukan cerita tafsir.
Antara lain bisa dilihat dari lobi-lobi Yahudi yang kuat dan cerdas (atau culas menurut ukuran lawan), yang sampai pada tingkat tertentu, turut menentukan warna pengambilan keputusan di Washington. Pemilu yang terbuka dan luber-jurdil malah tidak menguntungkan mereka sebagai satu kelompok.
Sampai pada titik ini, Syu’bah menilai, demokrasi bukanlah prasyarat kemenangan kelompok kecil atas kelompok besar seperti yang dimaksudkan oleh redaksi al-Baqarah ayat 249 setelah konteksnya diperluas dari sekadar perang. Sebaliknya, justru dalam iklim yang tidak demokratis, kelompok kecil mampu memaksakan kehendak.
Ke mana dan apa yang dilakukan oleh kelompok mayoritas? Kata Nabi, mereka menjadi buih di lautan. Tak berdaya diempas dan ditelan ombak, karena mereka tidak bermutu. Tidak berkualitas.
Wallahu ‘alam.
Rusdi Mathari adalah jurnalis. Tinggal di Jakarta