Ulama dulu baru bisa diakui jadi ulama dengan salah satu dari dua syarat. Pertama, dia mendapat lisensi (ijâzah) dari gurunya yang juga seorang ulama. Kedua, jika dia telah diuji oleh ulama lain. Zaman dulu belum ada televisi, sehingga tak ada penahbisan ulama karena sesuai selera publik atau pandai orasi, tentu saja.
Debat antar ulama di masa klasik itu hal biasa. Ada misalnya, kisah debatnya Asy-Syafi’i versus Asyhab al-Qaisi. Dikisahkan, Asy-Syafi’i pernah berdebat semalam suntuk, dari bakda isya sampai subuh, dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah).
Diceritakan pula, Asy-Syafi’i meninggal beberapa hari setelah berdebat dengan Asyhab al-Qaisi (Faqih-nya mazhab Maliki di Mesir). Ketika perdebatan berlangsung sengit dan panas, Asyhab memukul dan melempar Asy-Syafi’i dengan kunci. Asyhab pernah berdoa, “Ya Allah, matikan asy-Syafi’i, sebab jika tidak maka ilmu Malik akan hilang” (Allahumma amit asy-Syafi’i, wa illa dzahaba ‘ilmu Malik). Asy-Syafi’i sakit karena tragedi pemukulan itu dan wafat beberapa hari setelahnya. Fakta menariknya: Asyhab dan Asy-Syafi’i lahir di tahun yang sama (150 H) dan wafat di tahun yang sama pula (204 H). Asyhab wafat 18 hari setelah wafatnya Asy-Syafi’i.
Masyhur pula diketahui, Al-Bukhari tiba di Baghdad dan diuji 10 ulama dengan 10 pertanyaan. Al-Bukhari menjalani tantangan validasi 100 hadits dengan sanad yang sengaja dibuat kacau (idhtirab). Intinya: rivalitas antara ulama dulu itu panas sekali. Debat antar ulama adalah hal biasa.
Ujian kepakaran juga terjadi pada Sibawaih (760-796). Di Baghdad ia diadu di panggung debat Harun ar-Rasyid melawan al-Kisa’i. Sibawaih orang Persia. Nama aslinya: ‘Amr ibn ‘Utsman ibn Qanbar. Julukan “Sibawaih”—dari bahasa Persia—bermakna “apel manis”. Sibawaih masih muda, cerdas, berwajah manis pula. Ia murid Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, mahaguru nahwu yang membuat “bid’ah” (kreatifitas) istilah-istilah semacam mubtada, khabar, fa’il, maf’ul, dll. Sibawaih jadi ulama garda depan nahwu Mazhab Basrah.
Kecerdasan Sibawaih terdengar hingga istana Harun ar-Rasyid. Atas usulan keluarga Barmaki (yang Mu’tazilah), saat datang ke Baghdad, Sibawaih diadu dengan ulama nahwu Mazhab Kufah. Memang, salah satu “hobi” raja-raja Abbasiyah adalah mengadu debat antar ulama. Di istana Abbasiyah ada panggung khusus untuk menonton “pertunjukan” debat itu.
Sibawaih (35 tahun) diadu melawan 3 ulama Kufah: Khalaf al-Ahmar (39 tahun), Al-Farra’(59 tahun), dan Al-Kisa’i (62 tahun). Ringkas ceritanya, Sibawaih hanya debat kusir dengan Khalaf al-Ahmar dan Al-Farra’.
“Aku tak mau bicara dengan kalian berdua hingga kau datangkan temanmu itu,” kata Sibawaih, “maka aku akan mendebatnya.” Maka majulah Al-Kisa’i, pemimpin Mazhab Kufah. “Aku yang bertanya, atau Anda yang duluan bertanya?” kata Al-Kisa’i. “Silakan situ duluan,” jawab Sibawaih.
“Bagaimana menurutmu kalimat ini,” tanya Al-Kisa’i, “dibaca marfu’ (hiya) atau manshub (iyyaha)?” Kalimat itu adalah: qad kuntu azhunnu anna al-‘aqrab asyaddu lis’atan min az-zunbûr faidza huwa hiya. Artinya: “Aku sungguh menduga bahwa kalajengking lebih gesit sengatannya daripada ‘zunbur’, maka demikianlah adanya.” (Note: ‘zunbur’ adalah hewan semacam kumbang).
Perselisihannya adalah: menurut Al-Kisai, kata “hiya” di akhir kalimat itu bisa pula dibaca manshub, “iyyaha”. Menurut Sibawaih, itu tak bisa, harus marfu’, “hiya”. Debatnya sengit dan ‘hanya’ soal itu. Tapi siapa sangka, ternyata di akhir cerita ia menyisakan luka.
Karena debat berlarut-larut, maka kemudian Wazir Abbasiyah, Yahya ibn Khalid al-Barmaki, menginterupsi di tengah perdebatan. “Kalian adalah penghulu dari mazhab masing-masing,” katanya, “kalau begitu terus, siapa yang pemutus perkara?”
“Di dekat sini ada kabilah ‘Arab,” timpal Al-Kisa’i, “datangkanlah mereka kemari.” Maka didatangkanlah kabilah Arab itu. Kabilah Al-Huthamah namanya.
Ringkas cerita, kabilah Al-Huthamah membenarkan pendapat Al-Kisa’i. Mazhab Kufah menang. “Semoga kebaikan berada di tangan Tuan Wazir,” kata Al-Kisa’i, “agar tak pulang dengan tangan hampa, berilah Sibawaih hadiah.” Maka Sibawaih pun diberi 10 ribu dirham.
Sibawaih pulang dengan kegeraman. Ia merasa dicurangi. Pertama, bagi Mazhab Basrah, kabilah al-Huthamah itu tak layak jadi rujukan bahasa. Unsur kebaduiannya telah luntur, sebab tinggal dekat Baghdad, kota metropolis. Kearabannya tak lagi murni. Mazhab Basrah memang terkenal sangat selektif memilih kabilah Arab yang jadi sumber bahasa. Mazhab Basrah cenderung preskriptif (mi’yariyyah), sedangkan Mazhab Kufah cenderung deskriptif (washfiyyah).
Kedua, menurut desas-desus, sebagaimana diceritakan Ibn Hisyam dalam Mughni al-Labib, kabilah Al-Huthamah berada dalam tekanan penguasa. Waqiila, mereka disuap untuk membela Kufah. Saat itu peta politik menunjukkan Basrah adalah salah satu basis oposisi Abbasiyah.
Sibawaih kembali dengan perasaan terluka. Ia merasa dipermalukan. Ia tak merasa salah. Maka ia pulang ke desanya, di kampung Syiraz. Sejak debat itu, Sibawaih tak lagi muncul di Basrah dan Baghdad.
Di kampung Syiraz, Sibawaih sakit. Tak lama kemudian ia meninggal. Sibawaih wafat muda, 36 tahun. Kitab monumental warisannya adalah catatan pelajarannya dari mahaguru nahwu, Khalil ibn Ahmad. Kitab itu 4 jilid, tapi belum selesai, belum ada muqaddimah-nya, dan tak punya judul. Maka kitab itu cuma diberi judul “Al-Kitab”.
Kata Al-Jahizh, pakar bahasa dari sekte Mu’tazilah, “Al-Kitab”-nya Sibawaih adalah “Qur’an”-nya Nahwu. Tidak ada kitab-kitab nahwu setelahnya kecuali pasti merujuk dan menggunakan istilah-istilah yang termaktub di “Al-Kitab”.
Di kemudian hari, murid-murid Sibawaih menulis pembelaan bagi gurunya itu. Mereka menyatakan, argumen gurunya lebih kuat. Jelas dalam al-Qur’an dikatakan: “faidza hiya hayyatun tas’a” (Tiba-tiba tongkat Musa menjadi ular besar yang mendesis). Terang di situ, kata “hayyatun” dibaca marfu’. Ini sama dengan kasus “hiya” di kalimat “zunburiyyah” tadi.
Tak mau kalah, murid-murid Al-Kisa’i pun membuat sanggahan. Ingat, Al-Kisa’i adalah salah satu dari 7 imam Qiraat (qira’ah sab’ah). Murid-murid Al-Kisa’i pun menyanggah adanya kasus penyuapan kabilah. Menurut mereka, adanya penyuapan itu cuma iftira’ (mengada-ada).
Kisah ini banyak ternukil di kitab-kitab nahwu. Di buku sejarah, kisah ini juga termaktub di kitab “Tarikh Baghdad”, karya Al-Khathib al-Baghdadi. “Tarikh Baghdad” adalah buku sejarah yang ditulis dengan model ‘tahdits’, memiliki sanad dengan gaya “haddatsana…”
Demikianlah, kisah debat Sibawaih-Al-Kisa’i ini masyhur disebut “Mas’alah Zunburiyyah”. Debatnya soal bahasa, tapi mengandung unsur politis. Saya pun heran, wong cuma soal marfu’-manshub kok sampai segitunya. Mungkin, analisis tentang sengitnya rivalitas antar ulama dan adanya kompetisi yang bernuansa politis itu benar adanya.