Ketika Ulama Menjadi Legitimasi Ego Politik dan Kebencian Kita

Ketika Ulama Menjadi Legitimasi Ego Politik dan Kebencian Kita

Umat kadang keterlaluan menyelewengkan sikap baik ulama untuk dijadikan dalil perlawanan politik.

Ketika Ulama Menjadi Legitimasi Ego Politik dan Kebencian Kita
Jokowi bersama Habib Luthfi dan Prabowo bersama UAS

Di akhir masa tenang ini manuver (bertemu) tokoh-tokoh agama cukup menjadi sajian menarik, di awali pertemuan Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Ustaz Adi Hidayat bersama Prabowo, ingin menegaskan Prabowo didukung kelompok umat Islam, apalagi pasangan Prabowo-Sandi adalah hasil dari keputusan Ijtima Ulama.

Walaupun UAS menolak dikatakan mendukung, tapi pertemuan itu menyiratkan ada titip pesan dukungan. Tafsir tersebut muncul dari setiap pesan yang disampaikan UAS kepada Prabowo, dan tidak ada yang salah ketika terlahir banyak penafsiran.

Begitupun Jokowi, sebelum kampanye Konser Putih Bersatu, Jokowi bertemu dengan KH. Maimun Zubair dan Habib Luthfi bin Yahya, kedua ulama kharismatik itu memberikan hadiah berupa sorban dan tasbih.

Apalagi cawapres Jokowi adalah KH. Ma’ruf Amin mantan Rais Amm PBNU dan Ketua MUI. Secara tidak langsung, pencalonan Jokowi telah direstui Nahdlatul Ulama sebagai organisasi agama terbesar di Indonesia.

Kalau boleh saya katakan, aktifitas bertemu ulama dari kedua pasangan calon tersebut seperti ada saling jawab, mereka satu sama lain ingin menegaskan antara Jokowi dan Prabowo telah mendapatkan dukungan dari basis umat Islam Indonesia. Apakah ada yang salah? Tidak.

Dalam aktivitas politik, saling mendukung, wajar, apalagi dukungan para tokoh—cukup mempengaruhi psikologis pemilih. Kenapa itu dilakukan pada saat akhir-akhir kampanye? Untuk memperkuat basis massa pendukung, meyakinkan pendukung, menarik minat swing voter, dan mempertebal ingatan para pendukung.

Pertemuan dengan para ulama tersebut, di satu sisi “adem” dan menyejukkan bagi para capres, tapi ada efek yang berputar khususnya di area bawah, para pendukung menjadikan ulama dan tokoh sebagai lingkaran pertarungan.

Mereka membanding-bandingkan dengan membuat meme, video, dan gambar yang diadukan antara ulama pendukung Jokowi dan ulama pendukung Prabowo.

Pantaskah? Tidak, kita sama saja mempermainkan tokoh-tokoh yang kita hormati. Cara tersebut terlalu sadis, menjadikan ulama sebagai “legitimasi” kebencian Anda terhadap kelompok lain.

Apakah ini salah ulama yang memihak dan mendukung salah satu calon? Tidak. Ulama bagian dari warga negara mempunyai hak pilih, tidak salah, yang salah ialah yang memanfaatkan kondisi ini untuk menarik kepentingan ego pribadi dan kelompoknya. Seperti kejadian seorang pemuda yang mengedit video KH. Mustofa Bisri dan KH. Ma’ruf Amin, berujung permintaan maaf.

Ini bukti, kita terlalu gegabah memandang sesuatu yang tidak sesuai dengan kita. Bukankah dalam Alqur’an Surat Al-Maidah ayat 8 menegaskan, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”

Sikap tidak pantas di atas berlaku bagi kedua kubu pendukung, dan harus diingat selain ulama adalah warga negara yang mempunyai hak pilih, ulama juga memliki pertimbangan lain sehingga memihak kepada salah satu calon.

Ada ulama yang mempunyai kecenderungan aktif dalam politik praktis, dan ada juga ulama yang sengaja menyuarakan suara politiknya bukan karena kecenderungan politik, melainkan semata-mata ingin mengayomi umat yang ada di dalamnya supaya ada saluran komunikasi searah dan bisa menyampaikan pesan-pesan kebaikan.

Permasalahannya, umat kadang keterlaluan menyelewengkan sikap baik ulama untuk dijadikan dalil perlawanan.

Saya khawatir, pascapemilu ini ada arus besar, khususnya di medsos, gerakan mengolok-olok ulama, gara-gara capres yang didukungnya kalah. Menurut saya, mungkin saja terjadi, apalagi kotak pemikiran Islam di Indonesia sedikit banyak memiliki perbedaan warna, khususnya golongan moderat dan kelompok radikal. Kedua arus tersebut “katanya” masuk dalam gelanggang Pilpres.

Apakah mata rantai ini bisa diputus? Antara iya dan tidak, tergantung kesadaran kita masing-masing. Kita bisa mengusulkan ide Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan atau kembali kepada kesatuan umat (ummatan wahidatan), karena sekali lagi, Tuhan kita sama. Tapi ini mudah diucapakan, susah diwujudkan.

Wallahu A’lam.