Ketika Ulama Berbeda Pendapat, Apa yang Mereka Lakukan?

Ketika Ulama Berbeda Pendapat, Apa yang Mereka Lakukan?

Ketika ulama berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan tabayun. Tapi, politik terkadang merusak hubungan itu

Ketika Ulama Berbeda Pendapat, Apa yang Mereka Lakukan?

Saya sangat beruntung berguru dan mengenal sosok-sosok yang punya cita rasa tinggi akan keragaman. Di kampus al-Azhar, saya dikenalkan dengan Profesor Abdul Mu’thi al-Bayyoumi, sosok Azhari yang Rusydian di tengah kentalnya Asy’arian di kampus. Ia mengajar mata kuliah filsafat Islam kepada kami.

Pada pertemuan awal, dia bercerita kepada kami tentang Abu Hanifah. Abu Hanifah, katanya, adalah guru yang pedagang sukses. Dia banyak membiayai murid-muridnya. Dalam satu masalah fiqhiyah dia biasa memberi sejumlah jawaban yang berbeda lengkap dengan dalil-dalilnya. Dengan ini, dia mengajak kepada murid-muridnya agar berpikiran terbuka.

“Saya mengajari kalian, juga membiayai pendidikan kalian! Saya baru merasa berhasil jika kalian sudah mampu berpikir yang mandiri dari saya. Jika kalian masih mengikuti saya, saya merasa gagal!” demikian Bayyoumi menirukan Abu Hanifah.

Saya tidak tahu persis rujukan Bayyoumi dalam hikayah ini, tapi itu sungguh sangat mengesankan.

Semasa sekolah di Mesir, dua kali saya sowan kepada Prof. Ramadhan al-Bouthi di Damaskus Syria. Dia menyelesaikan S1, S2, dan S3 di kampus yang sama denganku, al-Azhar. Dia adalah seniornya Gus Mus (KH Mustofa Bisir, Mustasyar PBNU) dan Quraish Shihab (penulis Tafsir Al-Misbah). Sejak kecil diajarkan kepadanya dasar-dasar tasawuf dan akidah Asy’ariyah sehinga tidak mengherankan jika dia kemudian menjadi tokoh sufi kenamaan. Namun begitu, dia tetap memberi ruang kepada mereka yang tak sejalan keislamannya dengan keislaman sufistik dirinya.

Pada suatu kesempatan khutbah Jum’ah, dia menjelaskan mengenai perayaan Maulid Nabi. Bagi dia, maulid adalah sebentuk ungkapan rasa cinta kepada Baginda Nabi. Dalam khutbah itu, dia menjelaskan sejumlah argumentasi pemberlakuannya sehingga keabsahannya tak perlu diragukan. Namun begitu, jika ada kelompok yang tak menyetujui, dia tak mempersoalkannya sama sekali.

“Keduanya,” kata dia, “adalah hasil dari ijtihad! Anggaplah merayakan maulid yang saya lakukan adalah salah, dan kalian berada di pihak yang benar dengan tidak merayakannya; bukankah itu berarti saya memperolah satu pahala dan kalian memperoleh dua pahala seperti janji Nabi kita? Kenapa kita terus-menerus meributkannya?”

Al-Bouthi hendak mengajarkan kepada kita semua bahwa umat Islam tidak mungkin dipersatukan dalam kesamaan, tapi justru oleh sikap menghormati terhadap perbedaan-perbedaan. Dia bahkan tidak mengatakan,“Andaikan dia benar dan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab salah”, dia justru mengatakan sebaliknya, “Andaikan dia salah dan mereka benar”. Sikap seorang Azhari yang inspiratif! Sangat menyedihkan, dia justru menjadi korban dari bom yang dirancang untuk membunuh spirit penghormatan itu sendiri.

***

Saya tidak mengenal secara langsung dengan Syaikhul Azhar ke 40, Prof. Syekh Abdul Halim Mahmud. Ia wafat pada tahun 1978, tapi buku-bukunya tersebar di trotoar dan emperan oleh penjaja buku, di perpustakaan-perpustakaan, dan di toko-toko buku besar.

Ia telah menulis lebih dari enam puluh judul buku yang salah satu tema besarnya adalah tasawuf. Ada sekitar tiga puluh lima judul buku tentang tasawuf. Dia adalah sufi kenamaan pengagum Syadziliyah -di lain kesempatan saya ingin menuliskan satu pengalaman sepiritualnya dengan tokoh Syadziliyah. Bercerita tentang munculnya kecenderungan kehidupan sufistik tokoh besar sufi, Harits al-Muhasiby, Abdul Halim berbicara tentang situasi keagamaan abad II Hijriyah yang melingkupi kehidupan Sang Sufi.

Ada dua aliran besar yang saling bertikai tidak saja di ruang-ruang intelektual, tapi juga pada panggung politik yang secara natural berhasrat menjatuhkan lawan.

Al-Ma’mun, Sang Khalifah, di ruang intelektual ikut membangun argumentasi-argumentasi untuk menguatkan pondasi teologi Mu’tazilah, namun di ruang politik dia menjebloskan lawan-lawannya ke dalam penjara. Menurut Abdul Halim, munculnya dua kelompok ini adalah natural.

Perbedaan antara keduanya mengikuti perbedaan karakter para pengikutnya. Mereka yang memiliki kecenderungan falsafi dan kerumitan berpikir dalam menjalani kehidupannya secara natural akan mengasosiasikan diri pada Mu’tazilah, dan mereka yang konservatif dan teramat menghormati nash akan mudah mengelompokkan diri dalam Ahlul Hadis.

Abdul Halim seperti memberi pesan bahwa selama karakter-karakter ini ada dalam kehidupan, maka pengelompokan-pengelompokan dan asosiasi-asosiasi tak akan pernah absen. Menariknya pada panggung politik, sangat berbahaya. []

KH Abdul Ghofur Maimoen, Katib Syuriyah PBNU