Ketika Tuhan Diajak Berpolitik di Masjid

Ketika Tuhan Diajak Berpolitik di Masjid

Masjid adalah tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Namun, tidak jarang seseorang menggunakan masjid sebagai ajang kampanye dan menebar benci.

Ketika Tuhan Diajak Berpolitik di Masjid

Masjid merupakan tempat peribadatan bagi umat Islam. Masjid pada zaman Nabi Muhammad tidak hanya digunakan untuk sholat, melainkan juga digunakan untuk menyalurkan ilmu. Pada saat itu bangunan masjid tidak semegah dan sebagus sekarang, akan tetai hanya dihalangi oleh satir sebagai pembatas luas masjid.

Fungsi masjid di Indonesia juga sebagaimana di zaman Nabi yakni sebagai tempat sholat dan menyalurkan ilmu. Dalam konteks ini, ilmu yang diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam artian tidak ada dikotomi suatu ilmu, yang ada adalah semua ilmu memiliki derajat yang sama karena itu semua datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah (lillahi raji’un).

Akan tetapi, fungsi masjid saat ini maknanya sudah tereduksi. Masjid menjadi sebuah ruang publik untuk menyuaraan aspirasi politik. Tidak jarang orang yang memanfaatkan masjid untuk menyuarakan kepentingannya.

Reduksi makna masjid ini menyebabkan adanya perbedaan antar masjid. Masjid yang pada mulanya bebas dari hal-hal politis akan tetapi saat ini banyak masjid yang dijadikan untuk menguraikan gagasannya di atas mimbar. Maka tak heran jika masjid di Indonesia sangat beragam.

Saat ini masjid tidak lagi menjadi kepemilikan umat, akan  tetapi masjid sudah dikotak-kotakkan oleh sekolompok umat. Masjid sudah dikapitalisasi oleh mereka yang memiliki kepentingan. Maka tidak heran jika ada sebuah masjid yang digunakan sebagai tempat untuk berkampanye dan sebagainya sesuai dengan kepentingan kelompoknya.

Sangat disayangkan ketika masjid dijadikan sebagai tempat berpolitik. Masjid akan dijadikan tempat rasan-rasan, menjelek-jelekkan nama lawan politik, belum lagi isi dari pesan politiknya justru menyulut api permusuhan yang bisa menyebabkan konflik vertikal maupun horizontal.

Belum lagi ketika penceramah juga memelintir beberapa nash al-Qur’an untuk melegitimasi argumennya. Jadi seolah-olah politik identitas yang diusung disetujui oleh Tuhan. Padahal pesan-pesan al-Qur’an penuh dengan nilai-nilai kedamaian, tetapi oleh sebagian kalangan pesan itu dijadikan sebagai penyulut permusuhan.

Sikap politik semacam ini justru menyalahgunakan fungsi masjid. Menjadikan masjid sebagai mimbar politik dan dilegitimasi oleh ayat-ayat seakan-akan ingin mengajak Tuhan berpolitik. Tuhan yang jauh dari realitas mikrokosmis diturunkan derajatnya oleh arogansi manusia.

Tuhan cukup memberikan pesan-pesannya dalam kitab suci. Dalam konteks ini, sesungguhnya masjid dan tempat peribadatan yang lainnya seharusnya digunakan untuk mempelajari pesan Tuhan yang telah dibukukan menjadi kitab. Dan juga digunakan untuk mempelajari ilmu yang ada di bumi dengan tujuan untuk meningkatkan keimanan pemeluk agama.

Mereka yang mengajak Tuhan berpolitik menggunakan logika terbalik. Berkampanye di masjid dan mengajak Tuhan berpolitik menjadi tahap pertama sebelum akhirnya mengembalikan Tuhan ke tempat semula.

Padahal mereka mengatakan kalau Tuhan tidak bertempat, awal dari segalanya, namun mengajak untuk mengurusi manusia seakan-akan Tuhan ada disekitarnya. Masjid bukanlah rumah Tuhan. Masjid adalah sebuah tempat peribadatan umat muslim untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Apa yang diinginkan Tuhan adalah ketika umat muslim telah menjalankan ibadahnya dalam masjid, setelah itu aktualisasikan pada kehidupan bermasyarakat. Cerminkan kedamaian sebagaimana pesan dari agama Tuhan. Jangan menyulut api peperangan kepada manusia lainnya.

Maka menggunakan masjid sebagai instrumen politik sangat tidak dianjurkan oleh Tuhan, karena politik penuh syarat akan hate speech, menyudutkan orang lain, dan sebagainya. Ketika umat muslim setelah mendatangi masjid yang seperti itu, maka yang diaktualisasikan bukan menebarkan kedamaian sesuai pesan Tuhan namun justru menyulut api peperangan kepada mereka yang berbeda pandangan politik.

Masjid harus merumuskan kembali perannya sebagai tempat untuk menumbuhkan kedamaian. Karena saat ini banyak masjid yang sudah dikapitalisasi untuk mewujudkan ide dan cita-cita politiknya guna merebut takhta kekuasaan. Maka jangan sampai lebih meluas lagi masjid-masjid yang dijadikan sebagai alat politik.

Kita sebagai umat muslim yang hidup di Indonesia harus mengaktualisasikan keberimanan untuk kedamaian sesama dengan menjadikan masjid sebagai tempat yang menebarkan kedamaian, egalitarian, keterbukaan, dan pesan-pesan lainnya.

Sebagaimana yang sudah diberikan contoh oleh Rasulullah bahwa beliau menggunakan masjid tidak hanya untuk beribadah, namun juga untuk pendidikan, mengajarkan nilai-nilai toleransi, menyampaikan pesan-pesan kedamaian, untuk mencerdaskan umat manusia.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.