Ketika pertama kali membaca aforisma dalam Al-Hikam Syaikh Ibn ‘Athaillah Sakandariy, “Wuruwdul faqaadi a’yaadul muriydiyn” (Saat-saat dalam keterbatasan adalah hari raya mereka yang mengharapkan ridha-Nya), yang terbayang dalam benak saya adalah sosok Rabi’ah Al-‘Adawiyah. Dia adalah sufi pertama yang mengenalkan ajaran mahabbatullah. Yaitu konsep mencintai Allah yang bersendikan pada segala sesuatu yang halal dan baik (halalan thayyiban), menghindari segala yang Dia haramkan, dan fokus pada keridhaan-Nya semata.
Kisah hidup sufi wanita kelahiran Bashrah tahun 95 H yang wafat pada usia 90 tahun itu telah diabadikan oleh para penulis biografi dan penutur kearifan seperti Ibnu Al-Jauzi, Ibnu Khalikan, Yafi’i Asy-syafi’i, Al Jaahidh, Shafyan Tsawri, Hasan Al-Bashri, hingga Al-Ghazali. Biografinya yang termaktub dalam Tadzkirat ul ‘Awliyaa (Memoar Para Kekasih Allah) karya Fariduddin Aththar adalah yang terpopuler.
Saat Rabi’ah beranjak dewasa, dimana ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Kota Bashrah dilanda kesulitan pangan yang serius. Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya yang lebih tua terpaksa harus berpisah, sehingga si bungsu ini pun harus menanggung beban hidupnya sendiri.
Dalam perjalanannya, Rabi’ah berjumpa dengan lelaki jahat yang kemudian menjualnya sebagai budak dan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh tuannya. Bahkan sekedar helaian kain yang dapat digunakannya sebagai jilbab pun tak ia dapatkan. Suatu hari, ketika seorang lelaki mendekat kepadanya, ia terpeleset saat berupaya menghindar.
Rabi’ah terjerembab dan kepalanya yang tanpa pelindung nyungsep di pasir panas, hingga kulit wajahnya terbakar. Spontan ia bermunajat, “Ya Allah, aku adalah musafir yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, namun aku tak bersedih. Semoga Engkau mengampuniku karena aku ingin tahu apakah Engkau ridha kepadaku atas segala yang terjadi dan telah aku perbuat?”
Aththar mengisahkan bahwa Rabi’ah kemudian mendapatkan jawaban, “Jangan bersedih, sebab setelah yaumul hisab nanti derajatmu akan sama dengan para kekasih Allah di surga.” Setelah itu, ia pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah sehari-hari termasuk berpuasa sambil melaksanakan seluruh pekerjaannya hingga ia dibebaskan.
Pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji adalah keinginan Rabia’ah yang segera dilaksanakannya setelah menjadi orang bebas. Namun, keledai yang mengangkut perbekalannya mati sebelum sampai tujuan. Ia kemudian berjumpa dengan kafilah yang menawarkan untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya secara halus karena ia tak mau meminta bantuan kepada selain Allah.
Spirit Rabi’ah di masa kini
Bukannya tak mungkin, namun konsisten mengikuti jejak Rabi’ah di abad kiwari memang tidak mudah. Karena itu sangatlah bijak saat Syaikh Ibn ‘Athaillah memberikan panduan, “Saat-saat dalam keterbatasan adalah hari raya mereka yang mengharapkan ridha-Nya.”
Dari penuturan Hasan Al-Bashri misalnya, “Aku melewati siang dan malam hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang laku penempuhan dan kebenaran, dimana tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia adalah sosok wanita. Akhirnya, aku melihat ke dalam diriku sendiri, dan aku tersadar bahwa diriku bukanlah apa-apa. Ya, secara spiritual aku tak berharga, Rabi’ah-lah yang memiliki kesejatian.”
Rabi’ah juga pernah melewati lorong rumah Hasan Al-Bashri. Hasan terenyuh berurai airmata oleh kondisi sahabatnya yang ia perhatikan melalui jendela. Tanpa sadar, airmatanya jatuh tepat pada jubah Rabi’ah yang berada di bawahnya. Si empunya jubah pun mendongak ke atas untuk memastikan air apakah yang menetesinya dan berkata, “Wahai guruku, air ini hanyalah airmata kesombongan diri saja. Bukan akibat dari melihat ke kedalaman batinmu, dimana air ini akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi dirimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan yang Mahakuasa.”
Dikisahkan pula bahwa suatu hari seseorang meminta agar Rabi’ah mendoakannya. Dan, dengan rendah hati ia berkata, “Wahai, siapakah diriku ini? Laksanakan saja perintah Allah dan jauhilah larangan-Nya. Berdoalah, Dia pasti akan menjawab semua doa bila engkau memohon hanya kepada-Nya.”
Terakhir adalah munajat Rabi’ah yang sangat masyhur, “Ya Allah, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut akan siksa neraka, biarkanlah neraka itu bersamaku. Dan jika aku beribadah karena mengharap surga, maka jauhkan saja surga itu dariku. Namun, tatkala aku beribadah hanya karena cinta pada Engkau, maka limpahkanlah keindahan-Mu selalu.”
Jelas sekali, akan sangat sombong jika kita memohon kepada Allah agar mengalami penderitaan sebagaimana Rabi’ah Al-‘Adawiyah saat meneguhi mahabbatullah-nya. Karena itu Syaikh Ibn ‘Athaillah memberikan wejangan yang sangat bijak sebagaimana di atas. Yaitu saat kita berada dalam keterbatasan, sesungguhnya ia adalah sebuah ladang yang berpotensi mendekatkan kita kepada Allah justru.
Dengan cara apa? Tentu saja menapaki jejak Rabi’ah dalam kekinian dengan ikhtiar berlandaskan atas segala sesuatu yang halal dan baik, menghindari segala yang Dia haramkan, dan fokus pada upaya untuk mendapatkan ridha-Nya atas semua yang kita perbuat. Betapapun terbatasnya. Wallahu a’lam bishshawwab.