Ketika Sufi Menjawab Radikalisme (Bag.2-Habis)

Ketika Sufi Menjawab Radikalisme (Bag.2-Habis)

Ketika Sufi Menjawab Radikalisme (Bag.2-Habis)

Gerakan radikal di sepanjang masa dalam perjalanan peradaban Islam klasik, yaitu pada masa sahabat, pada masa Ibnu al-Miskawaih, al-Ghazali dan masa al-Sya’rani mempunyai satu ciri yang sama yaitu mereka memahami agama secara harfiyah (literalis) dan meyakini kebenaran hanya ada pada makna lieralis teks-teks agama, karenanya mereka mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan. [baca bagian pertama: Ketika Sufi Menjawab Radikalisme]

Bagaimana para sufi menyikapi radikalisme pada masanya? Rabi’ah dan Ibnu Miskawaih dengan cara mengingatkan umat agar menyadari bahwa tujuan yang sesungguhnya adalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, bukan surga, dan mencegah umat agar jangan menghalalkan segala cara untuk meraih surga.

Al-Ghazali mencoba mengkritisi kedua golongan yang pada masanya sama-sama ekstrimnya, yaitu golongan kanan yang meyakini bahwa kebenaran hanya ada pada makna harfiyah dan lahiriyah teks, dan golongan kiri yang meyakini bahwa kebenaran hanya ada pada makna bathiniyah teks. Kritik al-Ghazali bahwa kedua golongan tersebut seperti orang yang salah satu matanya buta, sehingga hanya satu mata saja yang bisa berfungsi, dan karenanya tidak bisa maksimal dalam mengakses apa yang dilihatnya. Dan al-Ghazali menempuh jalan menggunakan penggalian dua makna sekaligus, lahir dan bathin, seperti menggunakan kedua matanya sekaligus.

Sementara al-Sya’rani menyikapi fenomena radikalisme pada masanya dengan cara menyeleksi segenap pendapat dalam segenap permasalahan keagamaan dengan menggunakan kategorisasi qaul al-tansydid (pendapat yang keras) dan qaul al-takhfif (pendapat yang ringan). Sehingga umat mengetahui mana pendapat yang termasuk dalam kategori radikal (mutasyaddid) dan mana pendapat yang termasuk dalam kategori ringan.

Jauh-jauh hari, pada masa sahabat, ketika Khawarij, dedengkot radikalisme muncul dengan jargonnya “la hukma illa lillah” (Tiada ada hukum kecuali milik Allah). Sayyidina Ali bin Aby Thalib menghadapinya dengan berkata bahwa, “Al-Quran adalah kata-kata yang mati. Dan para penafsirlah yang menghidupkannya”.

Khawarij hendak mengatakan bahwa kebenaran hanya ada dalam makna literalis al-Quran. Sedangkan Sayyidina Ali bin Aby Thalib mengkritisnya dan menyatakan bahwa al-Quran hanya bisa dibunyikan oleh para penafsir. Karenanya al-Quran meniscayakan multi tafsir dan yang ingin ditunjukkan oleh sahabat Ali bahwa al-Quran mengandung kekayaan makna.

Kalau kita baca sejarah, gerakan radikalisme di tubuh Islam selalu ada di setiap masa dan mereka selalu sebagai golongan pinggiran yang tidak bisa masuk ke tengah dan menjadi maenstream. Dan radikalisme, kata Karen Armstrong, tidak hanya ada di Islam, akan tetapi ada juga di Kristen, Yahudi, dan agama-agama yang lain. Dan di agama-agama selain Islam, gerakan radikal juga sebagai golongan pinggiran.

Nurani umat manusia pada dasarnya cenderung pada apa yang membuatnya tenteram dan nyaman. Sementara gerakan radikal mengkampanyekan kekerasan yang bertentangan dengan nurani. Kata Nabi Muhammad SAW, bahwa “kebenaran adalah sesuatu yang membuat hatimu tenteram dan damai”.[]

Mukti Ali  intelektual muslim, aktif di Rumah Kitab.